Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Turun, Pasar Gelisah Menanti Dampak Tarif Trump

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 01 March 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Turun, Pasar Gelisah Menanti Dampak Tarif Trump Ilustrasi: Pengendara mobil mengisi bahan bakar di SPBU Rest Area Tol Jagorawi, Jumat, 28 November 2024. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia merosot pada Jumat waktu Amerika atau Sabtu, 1 Maret 2025, dini hari WIB. Harga minyak bersiap mencatat penurunan bulanan pertama sejak November 2024, di tengah drama politik di Gedung Oval antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Pasar juga mengantisipasi kebijakan tarif baru AS dan keputusan Irak untuk melanjutkan ekspor minyak dari wilayah Kurdistan.

Berdasarkan data Reuters yang dikutip di Jakarta, Sabtu, kontrak berjangka Brent yang berakhir Jumat, ditutup di USD73,18 (Rp1,19 juta) per barel, turun 86 sen atau 1,16 persen. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) AS berakhir di USD69,76 (Rp1,14 juta) per barel, turun 59 sen atau 0,84 persen. Kedua acuan minyak mentah ini bersiap mencatat penurunan bulanan pertama dalam tiga bulan terakhir.

WTI sempat menguat hingga sesi akhir perdagangan, sebelum argumen panas terjadi di Gedung Oval antara Trump dan Zelenskiy. Mereka berselisih soal kemungkinan perjanjian gencatan senjata dalam perang Rusia-Ukraina.

Menurut mitra di Again Capital LLC, John Kilduff, ketegangan ini bisa berdampak pada pasar minyak karena membuka peluang bagi Rusia untuk meningkatkan ekspor minyak mentahnya. Saat perdebatan berlangsung, Trump bahkan mengancam akan menarik dukungan AS untuk Ukraina yang akhirnya membuat Zelenskiy meninggalkan Gedung Putih tanpa menandatangani perjanjian kerja sama eksplorasi mineral antara kedua negara.

Di sisi lain, analis di BMI Research (bagian dari Fitch) menyoroti kesulitan pasar dalam menilai dampak dari semua kebijakan energi yang diumumkan pemerintahan Trump sepanjang bulan ini.

Trump sebelumnya telah mengumumkan bahwa tarif 25 persen untuk barang impor dari Meksiko dan Kanada akan mulai berlaku pada 4 Maret, ditambah bea masuk 10 persen untuk produk dari China.

Menurut kepala strategi komoditas di Saxo Bank, Ole Hansen, ketegangan perdagangan yang semakin meningkat ini memicu kekhawatiran besar terhadap permintaan minyak global. “Perang tarif bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, memicu inflasi, dan pada akhirnya menekan permintaan minyak mentah,” katanya.

Irak Siap Kembali Ekspor Minyak

Kapal Temporary Storage Tanker (TST) Fastron dan tanker Maersk Cayman milik PT Prima Energi Bawean saat proses lifting perdana minyak mentah dari Lapangan Camar, Wilayah Kerja Bawean, Rabu, 4 Desember 2024. Foto: Dok. PT PEB

Kementerian Perminyakan Irak sebelumnya menyatakan mereka tengah bersiap mengumumkan dimulainya kembali ekspor minyak dari wilayah semi-otonom Kurdistan melalui pipa Irak-Turki, Irak berencana mengekspor 185.000 barel per hari (bph) melalui perusahaan pemasaran minyak negara (SOMO) dengan target peningkatan volume secara bertahap.

Namun, delapan perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Kurdistan menyatakan mereka belum akan melanjutkan ekspor karena masih ada ketidakjelasan mengenai kesepakatan komersial serta jaminan pembayaran untuk ekspor sebelumnya dan yang akan datang.

Menurut Kepala Riset di Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian, keputusan Irak untuk kembali mengekspor minyak memunculkan pertanyaan soal kepatuhan negara itu terhadap kuota produksi OPEC+. Pasalnya, Irak selama ini dikenal sering melebihi batas produksi yang disepakati OPEC+.

“Jika OPEC+ menunda rencana pengembalian 120.000 bph pemotongan sukarela mulai April, maka peningkatan produksi Irak akan melampaui batasan itu,” ujar Tchilinguirian.

Saat ini, OPEC+ masih mempertimbangkan apakah akan menaikkan produksi minyak pada April seperti yang telah direncanakan, atau justru membekukannya karena ketidakpastian pasokan global, menurut delapan sumber dari kelompok tersebut.

Menurut analis senior di Price Futures Group, Phil Flynn, keputusan untuk menunda kenaikan produksi bisa mendorong harga minyak keluar dari pola pergerakan yang selama ini stagnan.

“Saat ini, harga minyak bergerak dalam kisaran yang terbatas, tapi jika keputusan produksi OPEC+ tertunda, harga bisa melonjak,” tulis Flynn dalam catatan risetnya. “Lagi pula, secara musiman harga minyak, bensin, dan solar memang cenderung bullish menjelang Paskah.”

Prediksi Harga Minyak 2025 Stabil

Harga minyak dunia diprediksi tetap stabil sepanjang 2025 dengan dampak sanksi baru AS terhadap sektor minyak Iran yang diperkirakan tidak akan terlalu mengerek harga. Survei Reuters terhadap 41 ekonom dan analis menunjukkan harga rata-rata Brent crude diperkirakan mencapai USD74,63 (Rp1,22 juta) per barel pada 2025, naik sedikit dari prediksi Januari sebesar USD74,57. Sementara itu, harga minyak mentah AS (WTI) diperkirakan rata-rata USD70,66 (Rp1,15 juta) per barel, naik dari proyeksi bulan lalu yang sebesar USD70,40.

Menurut kepala riset minyak dan gas Eropa di HSBC, Kim Fustier, harga minyak tidak akan melonjak tajam kecuali terjadi gangguan pasokan yang parah. “Lonjakan harga seharusnya tetap terbatas karena besarnya kapasitas cadangan OPEC+. Ini yang terjadi pada Oktober 2024 ketika ketegangan antara Iran dan Israel meningkat,” ujarnya.

Pekan ini, AS mengumumkan sanksi terhadap lebih dari 30 pialang minyak, operator kapal tanker, dan perusahaan pelayaran yang terkait dengan pengiriman minyak Iran. Sebelumnya, Washington juga menerapkan paket sanksi terbesar terhadap pendapatan minyak dan gas Rusia, dalam upaya memperketat tekanan terhadap Moskow.

Namun, kepala ekonom di Hamburg Commercial Bank, Cyrus De La Rubia, menilai sanksi ini mungkin tidak cukup kuat untuk mempertahankan harga minyak tetap tinggi. “Dinamika pasar secara keseluruhan menunjukkan bahwa harga bisa turun lebih lanjut karena diperkirakan akan terjadi kelebihan pasokan,” jelasnya.

Di sisi lain, pasar juga memantau perkembangan perundingan damai antara Rusia dan Ukraina. Beberapa analis memperkirakan jika kesepakatan damai tercapai, harga minyak bisa turun dalam jangka pendek, tetapi dampaknya dalam jangka panjang kemungkinan akan terbatas.

Presiden Stratas Advisors, John Paisie, menyebut berita mengenai kesepakatan damai bisa mendorong harga Brent mendekati USD70 (Rp1,14 juta) per barel. Namun, menurutnya, harga kemungkinan besar akan segera naik kembali setelah pasar menyadari bahwa dampaknya terhadap volume pasokan minyak tidak signifikan.(*)