Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BEI Beber Strateginya di Tengah Tantangan Right Issue 2025

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengungkapkan bahwa sektor keuangan masih menjadi kontributor utama dalam right issue setiap tahunnya

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 28 February 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
BEI Beber Strateginya di Tengah Tantangan Right Issue 2025 Suasana main hall Bursa Efek Indonesia (BEI) yang juga menampilkan layar utama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa, 11 Februari 2025. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Tren penghimpunan dana melalui right issue mengalami tekanan dalam dua tahun terakhir. 

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), total dana yang dihimpun dari aksi korporasi ini menurun dari Rp51,37 triliun pada 2023 menjadi Rp34,41 triliun pada 2024.  

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengungkapkan bahwa sektor keuangan masih menjadi kontributor utama dalam right issue setiap tahunnya. 

Namun, berbagai faktor seperti kebutuhan pendanaan, kondisi pasar, dan situasi ekonomi secara keseluruhan turut mempengaruhi minat emiten dalam melakukan aksi tersebut.  

"Keputusan perusahaan untuk melakukan right issue umumnya didasarkan pada strategi permodalan dengan mempertimbangkan dinamika pasar. Bursa terus berupaya mendukung Perusahaan Tercatat melalui edukasi dan sosialisasi terkait regulasi, manfaat, serta prospek aksi korporasi ini," ujar Nyoman dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 28 Februari 2025.

Nyoman menjelaskan bahwa BEI mengadakan berbagai kegiatan yang melibatkan pemangku kepentingan guna membahas prospek ekonomi Indonesia. 

Nyoman optimistis bahwa inisiatif ini dapat meningkatkan keyakinan perusahaan terhadap outlook ekonomi 2025, sehingga mendorong lebih banyak aksi penghimpunan dana melalui right issue dibandingkan tahun sebelumnya.

Di tengah kondisi pasar saham yang masih tertekan, BEI terus mendorong perusahaan untuk lebih aktif dalam aksi korporasi guna memperkuat fundamental bisnis mereka. Ke depan, keberhasilan right issue akan sangat bergantung pada stabilitas ekonomi serta sentimen investor terhadap pasar modal Indonesia.

Soal Penurunan IHSG

Sebelumnya, BEI sempat angkat bicara soal mengenai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menurun sebesar 1,83 persen ke level 6.485 pada perdagangan Kamis, 27 Februari 2025.

Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik mengatakan pergerakan IHSG dikarenakan dinamika pasar yang terjadi akibat dari permintaan dan penawaran. 

"Saya kira itu adalah keputusan investor yang kita harapkan itu (IHSG) akan segera pulih," ujarnya kepada media di gedung BEI Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025.

Dengan kondisi seperti ini, Jeffrey menegaskan BEI terus melakukan sejumlah upaya untuk investor yang pada akhirnya bisa memulihkan pergerakan IHSG. 

Salah satu upaya BEI, kata Jeffrey, adalah pendalaman pasar yang dilakukan dengan  menambah produk sebagai fasilitas untuk investor. Dia bilang, produk yang ditawarkan BEI bisa digunakan ketika pasar sedang bullish maupun bearish

"Oleh karena itu, kita sekarang sudah punya single stock futures bisa digunakan oleh investor untuk mengoptimalkan keuntungan bila pasar sedang bearish," tuturnya. 

Lebih jauh, Jeffey membeberkan, sejak awal 2025 hingga kini dana asing telah keluar sekitar Rp10 triliun di pasar saham Indonesia. Terkait hal ini, dia menyatakan BEI juga terus mendorong pertumbuhan investor domestik agar basis investor di dalam negeri menjadi jauh lebih kuat. 

"Sehingga pasar kita akan lebih stabil dalam kondisi terjadi dana asing keluar maupun masuk," jelasnya. 

Jeffrey pun berharap upaya yang dilakukan tersebut bisa menjadi katalis positif, tidak hanya untuk pasar modal, tapi juga perekonomian Indonesia secara luas. 

Terpisah, Founder Stocknow.id Hendra Wardana menyebut salah satu pelemahan IHSG ini dipengaruhi oleh tekanan jual yang didominasi investor asing yang mencatatkan net sell hingga Rp1,78 triliun. 

Adapun saham-saham big caps menjadi sasaran utama aksi jual, seperti BBRI (Rp593 miliar), BBCA (Rp526 miliar), BMRI (Rp452 miliar), dan BRIS (Rp78 miliar).

"Salah satu pemicu utama tekanan ini adalah keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat saham MSCI Indonesia dari 'equal weight' menjadi 'underweight'," ujar dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 28 Februari 2025.

Tekanan terhadap IHSG semakin diperparah oleh ketidakpastian pasar terhadap keberadaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Menurutnya, masih terdapat banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas dan transparansi pengelolaan Danantara. 

Di sisi lain diberitakan sebelumnya, saham Eropa mundur dari level tertinggi rekor pada Kamis, 27 Februari 2025, dengan produsen mobil memimpin penurunan saat investor mengevaluasi dampak potensi tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Uni Eropa.

Seperti dikutip dari Reuters, indeks pan-Eropa STOXX 600 turun 0,5 persen setelah mencapai level tertinggi rekor pada hari Rabu, 26 Februari 2025.

Indeks saham otomotif Eropa dan pembuat komponen turun lebih dari 3,7 persen. Stellantis turun 5,2 persen, BMW kehilangan 3,8 persen, dan Porsche turun 3,3 persen.

Ferrari mencatatkan penurunan terbesar, turun 7,9 persen, setelah Exor menjual sekitar 4 persen sahamnya di produsen mobil mewah tersebut seharga EUR3 miliar (USD3,14 miliar). (*)