KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia terjun bebas pada perdagangan Selasa waktu Amerika atau Rabu, 26 Februari 2025, dini hari WIB, akibat kabar buruk dari perekonomian AS dan Jerman yang memicu kekhawatiran tentang melambatnya permintaan energi. Ditambah lagi, sejumlah negara mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan produksi minyak.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, harga minyak Brent turun USD1,99 (Rp32.437) atau 2,7 persen ke level USD72,79 (Rp1,18 juta) per barel pada. Sementara itu, minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun USD1,92 (Rp31.296) atau 2,7 persen ke level USD68,78 (Rp1,12 juta) per barel.
Harga Brent diproyeksikan mencetak penutupan terendah sejak 23 Desember, sedangkan WTI mencatat level terendah sejak 10 Desember.
Data dari AS menunjukkan kepercayaan konsumen pada Februari merosot tajam dalam 3,5 tahun terakhir, sementara ekspektasi inflasi 12 bulan melonjak. Analis menyebut rencana Presiden Donald Trump untuk meningkatkan tarif telah meningkatkan kekhawatiran inflasi di kalangan Federal Reserve (The Fed). Akibatnya, bank sentral AS mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih tinggi yang pada akhirnya bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Trump juga menegaskan tarif terhadap impor dari Kanada dan Meksiko yang dijadwalkan mulai 4 Maret tetap berjalan sesuai jadwal. Kebijakan ini berpotensi mendongkrak harga minyak dengan mengurangi pasokan dari kedua negara tersebut.
Namun, firma konsultan energi Ritterbusch and Associates menilai tarif justru semakin dipandang sebagai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global. Hal ini bisa memaksa revisi penurunan permintaan minyak dunia.
Faktor Lain Penekan Harga Minyak
Selain itu, pemerintahan Trump juga berencana memperketat pembatasan semikonduktor terhadap China, memperluas upaya mantan Presiden Joe Biden dalam membatasi kekuatan teknologi Beijing.
Kesepakatan Damai Rusia-Ukraina Jadi Penyebab
Harga minyak kembali tertekan seiring munculnya spekulasi mengenai potensi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina. Kesepakatan ini, menurut Tamas Varga dari broker minyak PVM, bisa membuka jalan bagi pencabutan sanksi terhadap Rusia. Jika ini terjadi, pasokan minyak Rusia yang selama ini dibatasi dapat kembali masuk ke pasar global secara bebas.
Rusia sendiri merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi. Selain itu, Rusia juga menjadi anggota OPEC+, yang merupakan aliansi antara negara-negara pengekspor minyak dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan beberapa negara mitra lainnya.
Di Irak, negara yang menjadi produsen minyak terbesar kedua di OPEC, perusahaan energi asal Inggris BP telah menandatangani kesepakatan untuk mengembangkan empat ladang minyak dan gas di Kirkuk. Irak juga sedang menunggu persetujuan dari Turki untuk segera memulai kembali aliran minyak dari wilayah Kurdistan Irak.
Sementara itu, di Nigeria, yang juga merupakan anggota OPEC, produksi minyak meningkat menjadi 1,8 juta barel per hari (bpd), naik signifikan dari hanya satu juta bpd setahun yang lalu.
Dari sisi Amerika Serikat, Presiden Donald Trump menyatakan keinginannya untuk membangun proyek pipa Keystone XL yang akan memindahkan minyak mentah dari Kanada ke AS. Trump juga berjanji untuk mempermudah perizinan regulasi proyek tersebut.
Data Inventaris Minyak AS Dinanti
Dalam pekan ini, data inventaris minyak AS dari American Petroleum Institute (API) akan dirilis pada Selasa, sementara data dari Energy Information Administration (EIA) menyusul pada Rabu.
Para analis memproyeksikan perusahaan energi di AS menambahkan sekitar 2,6 juta barel minyak ke dalam persediaan selama pekan yang berakhir pada 21 Februari. Jika prediksi ini benar, ini akan menjadi pertama kalinya perusahaan energi menambah stok minyak selama lima pekan berturut-turut sejak Maret 2024.
Sebagai perbandingan, stok minyak naik 4,2 juta barel dalam pekan yang sama tahun lalu, sementara rata-rata kenaikan stok selama lima tahun terakhir (2020-2024) mencapai 2,3 juta barel.
Sempat Menguat
Sehari sebelumnya, perdagangan minyak ditutup dengan harga lebih tinggi karena sanksi baru AS terhadap Iran serta komitmen Irak untuk mengimbangi kelebihan produksi menambah kekhawatiran terhadap ketatnya pasokan dalam jangka pendek, membantu pasar pulih dari kerugian tajam pada Jumat.
Futures minyak mentah Brent naik 35 sen, atau 0,5 persen, menjadi USD 74,78 per barel. Sementara itu, futures minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 30 sen, atau 0,4 persen, menjadi USD 70,70.
Pada Senin lalu, Departemen Keuangan AS memberlakukan putaran baru sanksi yang menargetkan industri minyak Iran, seperti perantara, operator kapal tanker, dan pengirim yang menjual serta mengangkut minyak Iran.
Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan sanksi ini mungkin memiliki dampak kecil pada harga minyak, bersama dengan pernyataan kembali dari Kementerian Perminyakan Irak tentang komitmennya terhadap kesepakatan pasokan kelompok OPEC+. Namun, ia memperingatkan ekspor minyak mentah Iran tetap tinggi. “Waktu yang akan menentukan apakah sanksi ini berdampak pada ekspor,” ujarnya.
Irak menyatakan akan menyampaikan rencana terbaru untuk mengimbangi kelebihan produksinya atas kuota OPEC+ dalam beberapa bulan terakhir. Pada Minggu, Irak mengumumkan akan mengekspor 185.000 barel per hari dari ladang minyak Kurdistan melalui pipa minyak Irak-Turki setelah pengiriman minyak dilanjutkan.(*)