Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wall Street Tersandung Lagi, Investor Kian Pesimistis

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 26 February 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Wall Street Tersandung Lagi, Investor Kian Pesimistis Aktifitas depan Papan Pantau Saham di Main Hal Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (11/2/2025). Hari ini Papan Pantau terlihat Panah Merah. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Wall Street kembali merah pada Selasa waktu setempat atau Rabu, 26 Februari 2025, dini hari WIB seiring dengan meningkatnya pesimisme rumah tangga Amerika terhadap ekonomi. Inflasi, tarif impor, dan kebijakan dari Washington bikin banyak orang mulai waswas.

Dilansir dari Associated Press di Jakarta, Rabu, Indeks S&P 500 melemah 0,8 persen di sesi tengah hariyang melanjutkan tren negatif setelah mencetak rekor tertinggi pekan lalu. Nasdaq Composite lebih dalam, anjlok 1,7 persen, sementara Dow Jones Industrial Average justru jadi anomali dengan naik tipis 25 poin atau 0,1 persen.

Wall Street sudah melemah sejak pekan lalu setelah serangkaian laporan ekonomi yang di bawah ekspektasi menghantam pasar. Terbaru, laporan dari The Conference Board menyebutkan kepercayaan konsumen AS anjlok lebih tajam dari yang diperkirakan.

Sebenarnya, secara garis besar, ekonomi AS masih bertahan dengan pertumbuhan yang solid. Tapi, untuk pertama kalinya sejak Juni tahun lalu, indikator ekspektasi ekonomi jangka pendek jatuh ke level yang biasanya jadi sinyal bakal ada resesi. Yang menarik, pesimisme ini merata, baik di kalangan berpenghasilan tinggi maupun rendah, tua maupun muda.

“Ada lonjakan tajam dalam kekhawatiran soal perdagangan dan tarif, kembali ke level yang terakhir terlihat pada 2019,” kata ekonom senior di The Conference Board, Stephanie Guichard. Ia juga menyoroti sebagian besar komentar publik lebih banyak menyinggung kebijakan pemerintah saat ini.

Saham Big Tech Berguguran, Bitcoin Jatuh

Wall Street memang sensitif dengan data kepercayaan konsumen karena pengeluaran rumah tangga adalah mesin utama ekonomi AS. Laporan terbaru ini juga senada dengan survei University of Michigan yang menunjukkan masyarakat masih cukup nyaman dengan situasi saat ini, tetapi lebih khawatir dengan masa depan.

Di dalam S&P 500, saham-saham teknologi yang sebelumnya jadi bintang malah jadi beban terberat. Nvidia merosot 3,2 persen, sementara Tesla lebih tragis, anjlok 8,5 persen.

Dari sektor kripto, Bitcoin juga terjungkal, turun ke bawah USD87.000 (sekitar Rp1,33 miliar) dan menyeret saham perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan aset digital. MicroStrategy, yang selama ini dikenal sebagai kolektor Bitcoin, ambles 11,1 persen.

Nasib serupa dialami Zoom Communications yang anjlok 9 persen meski laporan keuangan terbarunya melampaui ekspektasi. Analis UBS menyebut proyeksi pertumbuhan pendapatan Zoom tahun ini masih di bawah ekspektasi mereka. Hal ini membuat investor kehilangan kepercayaan.

Di sisi lain, Home Depot justru mencatat kenaikan 3,5 persen setelah membukukan laba lebih tinggi dari perkiraan. Meski begitu, CEO Ted Decker tetap memperingatkan ketidakpastian ekonomi dan suku bunga yang tinggi masih membebani daya beli masyarakat untuk renovasi rumah.

Kinerja Home Depot inilah yang membuat Dow Jones bertahan lebih baik dibanding S&P 500 dan Nasdaq karena indeks tersebut hanya berisi 30 saham unggulan dengan bobot masing-masing yang lebih besar.

Secara keseluruhan, lebih banyak saham di Wall Street yang naik daripada yang turun, tetapi banyak di antara saham-saham yang menguat adalah perusahaan berkapitalisasi kecil. Efeknya terhadap indeks masih kalah dibanding raksasa teknologi seperti Nvidia dan saham Big Tech lainnya.

Semua Mata ke Nvidia

Gedung Endeavor milik Nvidia di Santa Clara, California. Foto: nvidia.com.
Saham Keurig Dr Pepper, produsen Snapple, Canada Dry, dan kopi K-Cup, naik 4,5 persen setelah melaporkan kinerja keuangan yang lebih baik dari prediksi analis. Bisnisnya di AS tumbuh lebih cepat dibanding pasar internasional yang terbebani oleh fluktuasi mata uang asing.

Namun, perhatian investor kini tertuju pada laporan keuangan Nvidia yang akan keluar Rabu ini. Perusahaan yang menjadi pemain kunci dalam industri chip AI ini menghadapi tantangan besar setelah DeepSeek, startup asal China, mengklaim berhasil mengembangkan model kecerdasan buatan yang mampu bersaing dengan raksasa AS tanpa perlu menggunakan chip premium dan mahal.

Wall Street Mulai Ragu dengan Ledakan AI

Kejatuhan saham Nvidia bukan cuma bikin khawatir investor chip, tapi juga mengguncang seluruh ekosistem industri AI. Pasalnya, ledakan AI yang diperkirakan bakal menyerap miliaran dolar investasi kini dipertanyakan, mulai dari infrastruktur server hingga kebutuhan listrik untuk pusat data raksasa.

Di pasar obligasi, investor mulai berbondong-bondong masuk ke aset yang dianggap lebih aman, seperti surat utang negara. Hal ini membuat yield Treasury AS bertenor 10 tahun turun ke 4,30 persen dari 4,40 persen, sebuah pergerakan yang cukup signifikan. Pergolakan ini terjadi seiring dengan ketidakpastian pasar terhadap arah kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump yang kembali memainkan kartu tarif perdagangan, kebijakan pajak, hingga imigrasi.

Situasi makin panas setelah AS mengambil sikap berbeda dari sekutu Eropa di PBB dengan menolak menyalahkan Rusia atas invasi ke Ukraina dalam tiga resolusi yang diajukan Senin lalu. Sikap ini mempertegas bahwa kebijakan luar negeri AS di bawah Trump telah berubah drastis.

Di sisi perdagangan, Trump kembali mengancam mitra dagang AS dengan kenaikan tarif impor. Kali ini, targetnya adalah Kanada dan Meksiko, di mana kenaikan tarif akan tetap dilanjutkan setelah sempat ditunda selama sebulan. Ancaman tarif ini memicu reaksi pasar yang khawatir akan adanya aksi balasan dari negara-negara tersebut yang bisa makin memperburuk rantai pasokan global.(*)