Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BEI Pasrah soal Bursa Karbon Kurang Diminati

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 25 February 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Redaksi
BEI Pasrah soal Bursa Karbon Kurang Diminati Aktifitas depan Papan Pantau Saham di Main Hal Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (17/2/2025). terlihat di Papan Pantau Pana Hijau. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik tanggapi isu bursa karbon kurang diminati, Dia menegaskan BEI telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan minat pasar, baik dari dalam maupun luar negeri.

BEI terus mendorong pengembangan pasar bursa karbon di Indonesia meskipun muncul anggapan bahwa instrumen ini masih kurang diminati oleh investor.

"Kami akan terus melakukan kegiatan promosi yang sifatnya business-to-business (B2B) untuk menggali potensi pembeli kredit karbon, baik dari dalam negeri maupun internasional. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menarik minat lebih luas dari investor global dan meningkatkan transaksi di bursa karbon Indonesia," kata Jeffrey di Gedung BEI pada Senin, 24 Februari 2025 sore.

Menurut dia, sejak diluncurkannya perdagangan karbon internasional pada 20 Januari 2025, BEI telah membuka komunikasi dengan berbagai calon pembeli dari luar negeri. Jeffrey menyampaikan bahwa pada awal Maret mendatang, tim Bursa Efek Indonesia bersama Indonesia Carbon Exchange (IDXCarbon) akan mengadakan diskusi di Singapura dengan calon pembeli dan komunitas perdagangan karbon di kawasan tersebut.

"Kami juga sudah memiliki rencana bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan roadshow ke beberapa negara. Ini sesuai dengan arahan Menteri Lingkungan Hidup pada saat peluncuran perdagangan internasional bursa karbon kemarin," ujar dia.

Selain itu, Jeffrey menyebutkan bahwa pemerintah juga terus membangun komunikasi bilateral melalui mekanisme Government-to-Government (G2G) untuk memastikan adanya pengakuan transaksi karbon secara internasional. "Dari sisi kami sebagai penyelenggara pasar, pendekatan yang lebih banyak kami lakukan adalah B2B, yakni menjalin kerja sama dengan calon pembeli karbon dari luar negeri," tambahnya.

Jeffrey tidak menjawab pasti apakah sudah ada perusahaan luar negeri yang menggunakan jasa bursa karbon Indonesia.Tapi menurut dia, para pembeli internasional masih menggunakan afiliasi mereka yang berbasis di Indonesia, seperti perbankan global yang bertransaksi melalui entitas lokal mereka. Ia juga mengatakan data daftar perusahaan yang berkontribusi dalam perdagangan karbon ini sifatnya rahasia. " Nah itu transaksi atas efek itu kan sifatnya rahasia. Kalau transaksi domestik sudah tembus 1 juta ton, sekarang mungkin ada sekitar 107 perusahaan yang berkontribusi," katanya.

Angka 107 mengalami peningkatan tipis sejak peluncuran bursa karbon Internasional dengan 104 partisipan.

Menanggapi anggapan bahwa bursa karbon kurang diminati, Jeffrey menegaskan bahwa BEI akan terus melakukan evaluasi dan peningkatan strategi untuk mendorong partisipasi lebih luas. "Seperti yang kami sampaikan sebelumnya, kami akan terus melakukan pendekatan dengan calon pembeli potensial. Ini bukan sekadar transaksi jangka pendek, tetapi pengembangan ekosistem yang membutuhkan waktu dan edukasi pasar yang berkelanjutan," ujarnya.

Selain itu, BEI juga bakal memastikan bahwa evaluasi terhadap kinerja perusahaan yang berpartisipasi di bursa karbon akan dilakukan secara berkala. Hal ini untuk memastikan bahwa pasar karbon tetap sehat dan memberikan dampak positif bagi industri dan lingkungan.

Perdagangan Karbon Internasional
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memberikan tanggapan terkait perdagangan karbon internasional di Indonesia yang masih kurang diminati.

Fabby menyoroti adanya masalah fundamental terkait kualitas sertifikat penurunan emisi yang dijual. Ia mengungkapkan bahwa banyak sertifikat yang berasal dari proyek-proyek yang sudah berjalan, seperti pembangkit energi yang sudah lama beroperasi, atau proyek-proyek yang lebih berkaitan dengan efisiensi energi, bukan energi terbarukan.

“Ini hanya upaya untuk rebranding saja. Nah terutama kalau untuk pembeli dari luar negeri tentunya mereka mempertimbangkan aspek transparansi dan kualitas dari sertifikat penurunan emisi yang dijual,”kata Fabby kepada Kabarbursa.com pada Kamis, 6 Februari 2025.

Menurutnya, meskipun perdagangan karbon ini telah diluncurkan dengan harapan dapat menarik perhatian pasar internasional, implementasinya belum memenuhi ekspektasi.

“Sertifikat yang dijual di pasar karbon ini sebagian besar berasal dari proyek yang sudah ada, seperti penggantian teknologi di pembangkit listrik, yang lebih ke efisiensi energi, bukan energi terbarukan,” ucap dia.

Dia menilai sertifikat penurunan emisi yang dijual problematik, lantaran berasal dari proyek-proyek yang sudah ada. “Misal pada proyek PLTGU (pembangkit listrik tenaga gas dan uap) yang diklaim menurunkan emisinya. Tapi itu adalah penghematan dari penggantian teknologi,” tutur dia.

Pembangkit energi terbarukan yang dijual di Bursa Karbon salah satunya adalah panas bumi, yang bukan pembangkit baru. Namun, sudah lama beroperasi. “Kalau dengan kualitas sertifikat penurunan emisi seperti itu yang dijual akan sulit menarik minat dari pembeli asing. Yang mereka mencari kualitas karbon penurunan emisi yang tinggi. Itu persoalan fundamentalnya,” ujar dia.

Dia mengklaim hal itu menurunkan kualitas dari produk karbon yang dijual, akhirnya menyulitkan Indonesia untuk menarik pembeli internasional yang menginginkan sertifikat penurunan emisi dengan kualitas tinggi.

Tidak jelasnya integrasi pasar karbon dengan target penurunan emisi Indonesia juga menjadi perhatian. “Pasar karbon ini tidak terintegrasi dengan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Banyak perusahaan yang justru membeli untuk offset emisi mereka, bukan untuk tujuan mitigasi yang lebih besar,” sambung dia.

Dia menyinggung contoh proyek yang diiklankan dalam perdagangan karbon yakni PLN. Padahal, PLN menjadi salah satu produsen penghasil emisi terbesar di Indonesia. “Nah harusnya kalau ada aksi mitigasi perubahan iklim itu untuk menurunkan emisinya PLN, menurunkan emisinya Indonesia. Bukan untuk dijual di pasar, di Bursa,”ungkap dia.

Faby mengaku heran entitas penghasil emisi terbesar di Indonesia, yang harus menurunkan emisi gas rumah kaca. Malah berjualan sertifikat penurunan emisi lewat bursa karbon. Poin-poin ini dinilai yang diperhatikan perusahaan internasional.

Ia menduga sejak IDX Carbon diluncurkan untuk wadah perdagangan karbon internasional, belum ada perusahaan asing yang tertarik untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon Indonesia.

Menurutnya, evaluasi menyeluruh terhadap pasar karbon ini perlu dilakukan, dengan fokus pada perbaikan aspek-aspek fundamental yang saat ini lemah.Sementara itu, Fabby menyarankan agar pemerintah melakukan review terhadap kebijakan ini, dengan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Kebijakan ini perlu dibenahi, karena perdagangan karbon yang tidak terstruktur dengan baik akan sulit menarik minat pembeli, baik domestik maupun internasional,” ucap dia.

Pada perdagangan kemarin, Selasa, 24 Februari 2025. Idx Carbon mencatat volume unit karbon tersertifikasi yang telah ditransaksikan mencapai 442.572 ton CO₂ ekuivalen.

Aktivitas transaksi yang stabil dengan total 107 partisipan yang terdaftar dalam sistem.

Berdasarkan data harian yang dirilis IDXCarbon, total unit karbon yang tersedia di bursa tercatat sebesar 2.242.453 ton CO₂ ekuivalen, yang berasal dari tujuh proyek terdaftar. Perdagangan di pasar reguler mencatatkan transaksi pada beberapa produk kredit karbon, dengan produk Indonesia Technology Based Solution (IDTBS) dan Indonesia Technology Based Solution Authorized atau IDTBSA yang menjadi instrumen utama.

Dalam perdagangan reguler, produk Indonesia Technology Based Solution Renewable Energy (IDTBS-RE) mencatat volume transaksi sebesar 58.800 ton CO₂ ekuivalen dengan harga rata-rata Rp60.000 per unit. Sementara itu, produk IDTBSA-RE mencatat volume sebesar 144.000 ton CO₂ ekuivalen dengan harga Rp96.000 per unit.

Adapun pasar lainnya, seperti auction, marketplace, dan negosiasi, tidak mencatatkan adanya transaksi pada hari tersebut.(*)