KABARBURSA.COM - Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anggawira menegaskan pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) harus dikelola secara independen, tanpa intervensi politik maupun kepentingan bisnis tertentu.
Ia juga menilai bahwa Danantara dapat menjadi instrumen penting dalam pengelolaan aset negara secara profesional dan transparan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
"Pengurus Danantara harus bebas dari intervensi politik maupun kepentingan bisnis tertentu. Independensi ini penting untuk memastikan bahwa keputusan investasi dan pengelolaan aset dilakukan semata-mata untuk kepentingan nasional,tentu kita tidak ingin kejadian seperti 1MDB di malaysia atau Jiwasraya terjadi kembali" ujarnya dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu 22 Febuari 2025.
Anggawira yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO) , menegaskan bahwa pengelolaan dana investasi negara harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi guna mencegah penyalahgunaan wewenang.
"Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, ada risiko besar yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Kita butuh sistem yang jelas dan transparan agar kepercayaan publik tetap terjaga,untuk itu perlu ada keterlibatan publik yang jelas" tegasnya.
Ia juga menyatakan bahwa pengelolaan aset dalam skala besar seperti ini memerlukan pengurus yang memiliki keahlian luas di bidang investasi dan manajemen aset.
"Mengelola aset sebesar ini bukan hal yang mudah. Kita butuh orang-orang yang sudah terbukti mampu di tingkat internasional agar Danantara dapat bersaing secara global dan memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian nasional," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kepemimpinan Danantara harus dipegang oleh individu yang memiliki rekam jejak bersih dan profesionalisme tinggi.
"Kita ingin melihat pengurus yang memiliki rekam jejak kuat, tidak memiliki konflik kepentingan, dan benar-benar mendedikasikan diri untuk kepentingan nasional. Jangan sampai ada kepentingan pribadi yang bermain dalam badan ini," tambahnya.
Menurut Anggawira, kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ekonomi global juga menjadi faktor kunci.
"Ekonomi dunia terus berubah, dan kita harus siap menghadapi berbagai tantangan serta memanfaatkan peluang yang ada. Danantara harus dikelola dengan fleksibilitas dan inovasi agar tetap relevan dalam berbagai kondisi ekonomi," ungkapnya.
Ia berharap dengan memperhatikan aspek independensi, transparansi, serta pemilihan pengurus yang tepat, Danantara dapat menjadi badan pengelola investasi yang benar-benar berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Rawan Konflik Kepentingan
Sebelumnya, Direktur Next Indonesia, Herry Gunawan, menyoroti rencana Presiden Prabowo Subianto yang mengajak para mantan presiden dan organisasi masyarakat (ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk turut mengawasi BPI Danantara.
Menurutnya, langkah tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan bertentangan dengan regulasi yang ada. “Ya, itu yang buruk. Kalau buat saya, itu awal informasi yang buruk,” ujar Herry Gunawan kepada kabarbursa.com di Jakarta.
Herry menyoroti fakta bahwa sebagian besar mantan presiden memiliki afiliasi dengan partai politik.
“Jangan lupa, mantan presiden kita itu hanya satu, Pak Jokowi, yang tidak berpartai. Pak SBY itu aktif di Partai Demokrat, Ibu Mega aktif di PDI Perjuangan. Mereka ini disuruh mengawasi Danantara? Itu artinya pemerintah mengabaikan regulasi yang mereka buat sendiri, bahwa pengurus BUMN itu tidak boleh berasal dari partai politik,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan potensi bahaya ketika unsur politik masuk ke dalam struktur pengawasan.
“Mereka menelan ludah sendiri. Hati-hati. Jadi, menurut saya, nggak perlu itu. Kalau mau diawasi, boleh, tapi jangan masuk ke dalam struktur. Awasi dari jauh saja. Begitu juga dengan ormas,” jelasnya.
Herry mengusulkan agar ormas tetap melakukan pengawasan, tetapi tidak berada dalam struktur pemerintahan maupun BUMN.
“Kerahkan saja seluruh anggotanya. Awasi, ya, tetapi dari luar struktur. Jangan masuk ke dalam. Kalau masuk, ya, itulah awal kerusakan dan antara,” tambahnya.
Selain itu, ia menyoroti risiko penyalahgunaan danantara jika kebijakan ini diterapkan. “Duit sebesar itu nanti banyak yang nge-mail, yang minta jatah. Sekaya apapun seseorang, ketika masuk ke dalam dan antara, bisa saja terjadi intervensi. Tolong dong PSR-nya Pertamina dikirim ke organisasi saya, misalnya. Ini bisa merusak sistem,” paparnya.
Sebagai solusi, Herry menekankan pentingnya profesionalisme dalam pengawasan pemerintah dan BUMN.
“Janganlah, kasih saja ke profesional. Kita ini banyak orang pintar. Biarkan mereka yang mengawasi secara independen,” tutupnya.(*)