KABARBURSA.COM – Upaya pemerintah memaksimalkan elektifikasi kendaraan disebut-sebut bakal terkendala oleh pelemahan ekonomi nasional. Pasca pandemi, penjualan kendaraan terus merosot akibat penurunan daya beli masyarakat.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai, elektrifikasi di Indonesia berpotensi menghadapi berbagai hambatan jika kondisi perekonomian masih buruk yang berpotensi membuat penurunan penjualan kendaraan terus terjadi setiap tahunnya.
“Daya beli masyarakat yang menurun akibat pelemahan ekonomi, inflasi, dan potensi pengangguran menjadi faktor utama, membuat harga EV yang relatif lebih tinggi menjadi kendala,” kata Yannes ketika dihubungi kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025.
Faktor lain yang menjadi kendala dalam elektrifikasi, kata Yannes, adalah suku bunga BI-Rate masih tinggi yang berpotensi terhadap naiknya Non Performing Loan (NPL) di perusahaan pembiayaan kendaraan atau leasing.
Menurutnya, tingginya angka NPL akan membuat leasing melakukan pengetatan kredit sehingga mempersulit masyarakat yang hendak membeli kendaraan dengan cara kredit. Di sisi lain, selama ini pembelian kendaraan didominasi menggunakan skema kredit ketimbang beli secara tunai.
Pembangunan Infrastruktur Terkendala
Pelemahan ekonomi Indonesia akibat inflasi dan kenaikan dolar juga berdampak terhadap investasi pembangunan infrastruktur kendaraan listrik.
Yannes menilai, saat ini infrastruktur kendaraan listrik seperti SPKLU dan titik pengisian daya lebih banyak di kota ketimbang di daerah-daerah terpencil. Sementara pemerintah menargetkan elektrifikasi kendaraan tidak hanya terjadi di kota, tapi merata di seluruh Indonesia.
“Investasi untuk infrastruktur pengisian daya pun terancam tertunda karena perlambatan ekonomi. Selain itu, fokus pemerintah pusat dan daerah bukan tidak mungkin teralihkan ke isu-isu mendesak lain, seperti inflasi pangan dan stabilitas ekonomi lokal dan nasional,” jelasnya.
Faktor lain yang juga menghambat elektrifikasi di Indonesia adalah ketidakpastian politik dan ekonomi global yang berdampak terhadap kelangkaan semikonduktor. Kelangkaan ini, kata dia, dapat meningkatkan harga kendaraan listrik karena proses distribusi dan waktu inden yang lama.
“Ketidakpastian politik dan ekonomi global yang diperumit kebijakan USA mundur dari program EV dunia juga membuat produsen otomotif berhati-hati dalam berinvestasi di teknologi elektrifikasi, memperlambat adopsi EV,” tuturnya.
Tantangan Menghadirkan Mobil Listrik Murah
Agar elektrifikasi dapat terus berjalan tanpa hambatan, pabrikan kendaraan menghadapi tantangan untuk menghadirkan mobil listrik murah seharga mobil low cost green car (LCGC).
Head of Public Relation PT Toyota Astra Motor (TAM) Philardi Sobari mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi mobil Toyota bakal mengarah ke hybrid. Hal ini dilakukan untuk menjembatani konsumen mobil Internal Combustion Engine (ICE) atau mobil konvensional menuju listrik.
Philardi menuturkan, upaya menghadirkan mobil listrik dengan harga low cost green car (LCGC) butuh upaya lebih. Menurutnya, Toyota belum ada upaya menuju ke LCGC karena harga unitnya harus di bawah Rp200 jutaan.
“Kami yakin semua akan hybrid pada waktunya. Semakin banyak yang menggunakan mobil hybrid, biaya produksinya dapat ditekan. Kami berharap industri otomotif akan mengarah ke sana (hybrid),” kata Philardi dalam ‘Dialog Industri Otomotif Nasional’ di IIMS, pada Selasa, 18 Februari 2025.
Menurutnya, seiring waktu, harga mobil hybrid akan semakin terjangkau. Ia mengungkapkan bahwa, Toyota pertama kali memperkenalkan mobil hybrid pada tahun 2007 dan saat ini pabrikan otomotif asal Jepang ini hadir dengan mobil hybrid seperti Kijang Innova Zenix dan Yaris Cross.
Kedua mobil ini telah mendapat insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Ia berharap insentif ini dapat membuat harga mobil hybrid lebih terjangkau dan pada akhirnya ada mobil hybrid dengan harga LCGC.
Sementara itu Luther Panjaitan selaku Head of Goverment and Public Relations dari PT BYD Motor Indonesia menyatakan sejumlah kemungkinan kehadiran mobil listrik dengan harga LCGC di Indonesia.
“Kalau ditanya kepada hampir semua brand untuk bisa masuk ke market BEV (Battery Electric Vehicle) di bawah Rp200 juta, siapa yang tidak mau? Karena market Indonesia di situ. Namun, musti kita lihat, pertama adalah aspek pendukung untuk mencapai level tersebut, khususnya di segi harganya,” jelas Luther.
Luther memaparkan, produsen perlu mencapai berbagai hal untuk bisa menghadirkan mobil listrik dengan harga LCGC, khususnya dalam segi produksi atau manufaktur kendaraan.
“Yang pertama mungkin adalah localization point of view. Kita perlu sampai ke titik lokalisasi yang cukup tinggi. Sehingga bisa mencapai harga yang kompetitif atau competitive pricing. Kemudian volume skala ekonomi yang besar untuk mendapatkan suatu competitive economic of scale,” terangnya.
Selain itu, produsen kendaraan juga perlu memiliki inovasi atau teknologi dalam riset untuk membuat harga kendaraan listrik terjangkau bagi masyarakat.
“Ketiga menurut saya adalah satu hal yang mungkin kita ketahui bersama bahwa biaya R&D (Research and Development) itu enggak murah dan kami selaku produsen perlu memberikan satu skala ekonomi juga kepada mitra dan partner kami di bawah. Artinya untuk mencapai level itu, kita memang perlu satu waktu dan volume yang tepat,” kata Luther.
Menurut Luther, biaya R&D yang terjangkau menjadi tugas utama bagi produsen kendaraan saat ini di tengah kondisi passr otomotif Tanah Air yang menghadapi tantangan berupa penurunan daya beli yang berdampak penjualan kendaraan.
“Ini jadi PR dari berbagai pihak. Sebenarnya kalau kita sudah sampai di level itu, apakah marketnya juga akan bisa langsung masuk dengan kondisi yang ada saat ini? Secara infrastruktur, preferensi, lokasi rumah, tinggal dan segala macam. Banyak hal yang mungkin jadi PR yang harus diselesaikan secara bersama-sama,” terangnya.
Meski begitu, BYD optimis mampu menjawab tantangan industri otomotif di Indonesia khususnya dalam ketersediaan mobil listrik murah seharga LCGC.
“Apakah BYD punya? Pasti ada dan sedikit lagi, selama enam bulan BYD mempelajari dari customer-customer kami yang mempunyai potensi-potensi dan kebiasaan mereka serta koneksi mereka yang baik. Mudah-mudahan seluruh kemungkinan dan kompetensi yang tadi disebut memberikan kita sebuah keputusan untuk produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia,” tutup Luther. (*)