Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Target Energi Terbarukan Meleset, Iklim Investasi Masih Jadi Biang Kerok

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 18 February 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Target Energi Terbarukan Meleset, Iklim Investasi Masih Jadi Biang Kerok

KABARBURSA.COM - Pemerintah tampaknya harus menerima kenyataan bahwa target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun ini sulit tercapai. Berdasarkan laporan Capaian Sektor ESDM 2024, realisasinya masih jauh dari harapan. Salah satu indikasinya adalah investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) yang hanya mencapai USD 1,8 miliar (Rp29,16 triliun) dari target USD 2,6 miliar (Rp42,12 triliun).

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa hambatan utama datang dari buruknya iklim investasi di sektor energi terbarukan. Faktor-faktor seperti regulasi yang kurang mendukung, dominasi industri kelistrikan oleh PLN, risiko negara, hingga ketergantungan pada batu bara lewat skema domestic market obligation (DMO) disebut sebagai penghalang utama.

Menurut IESR, jika pemerintah benar-benar ingin mempercepat transisi energi, ada beberapa langkah konkret yang harus dilakukan. Di antaranya, meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi, mereformasi kebijakan DMO batu bara dan subsidi energi, serta menyederhanakan perizinan agar proyek energi terbarukan lebih menarik bagi investor. Selain itu, insentif fiskal juga perlu diperkuat untuk memastikan proyek-proyek energi ini memiliki nilai keekonomian yang lebih baik.

Dari segi pencapaian bauran energi terbarukan, data Kementerian ESDM menunjukkan kenaikan kecil dari 13,9 persen di 2023 menjadi 14,1 persen di 2024. Namun, angka ini masih jauh dari target 19,5 persen yang seharusnya dicapai tahun ini. IESR menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam untuk memahami penyebab stagnasi ini dan menyiapkan strategi yang lebih agresif ke depan.

JETP Masih Jalan di Tempat

[caption id="attachment_121134" align="aligncenter" width="700"] Eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif (tengah) bersama perwakilan dari International Partners Group (IPG) dan pemangku kepentingan lainnya berfoto bersama dalam peluncuran Sekretariat Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, 16 Februari 2023. Foto: Dok. US Embassy.[/caption]

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyoroti bahwa pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan skema pendanaan Internasional Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mempercepat transisi energi. Namun, pencairan dana dari negara-negara donor seperti IPG dan GFANZ berjalan lambat karena pemerintah belum menyiapkan proyek yang bankable dan masih berkutat pada kebijakan yang kurang kondusif.

“Walaupun target bauran energi terbarukan 23 persen direncanakan digeser ke 2030, pemerintah harus berupaya sebesarnya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di tahun ini. Di tengah pemotongan anggaran tahun ini, pemerintah harus mengoptimalkan investasi swasta dan publik untuk energi terbarukan,” ujar Fabby, dikutip dari laman IESR, Selasa, 18 Februari 2025.

Ia menambahkan, investasi swasta bisa dilakukan melalui PLN untuk proyek-proyek PLTS skala utilitas, serta investasi PLTS atap oleh konsumen industri, bisnis, dan rumah tangga. Fabby mengatakan proyek-proyek ini tidak memerlukan subsidi pemerintah, tetapi membutuhkan kemudahan perizinan serta kuota PLTS yang lebih besar dari PLN.

Fabby juga mengapresiasi rencana pemerintah untuk melakukan pensiun dini PLTU Cirebon dan menggantinya dengan kapasitas energi terbarukan, seperti 700 MW PLTS dengan penyimpanan baterai, 346 MW PLTS, 1.000 MW PLTB, serta 12 PLTSa. Namun, ia menyoroti keputusan final soal pensiun PLTU Cirebon ini masih menggantung sejak 2022.

“Proses pensiun dini PLTU Cirebon I menjadi referensi dan pembelajaran penting untuk upaya pensiun dini sejumlah PLTU lainnya yang secara teknis-ekonomis lebih menguntungkan bagi PLN daripada dioperasikan lebih lanjut,” kata Fabby.

Berdasarkan kajian IESR, ada 4,6 GW PLTU yang berpotensi dihentikan operasinya hingga 2025, tetapi hingga kini belum ada kejelasan bagaimana pemerintah akan mengeksekusi rencana ini. Sementara itu, produksi batu bara nasional malah terus meroket. Tahun ini, produksi mencapai 836 juta ton, jauh melampaui target 710 juta ton. Menurut Fabby, tren ini justru mengirim sinyal negatif bagi transisi energi Indonesia.

“Pemerintah perlu menghitung manfaat dan biaya untuk pengakhiran operasi PLTU secara bertahap hingga 2050, terutama dampaknya terhadap biaya produksi listrik dan subsidi listrik dalam jangka panjang,” katanya.

Target yang Bergeser dan Klaim Capaian

[caption id="attachment_117802" align="aligncenter" width="700"] Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Foto: Dok. esdm.go.id.[/caption]

Setelah menelaah laporan IESR yang menyoroti keterlambatan pencapaian target energi terbarukan, pemerintah melalui Kementerian ESDM justru menegaskan adanya peningkatan investasi dan progres yang diklaim sebagai langkah maju dalam transisi energi. Namun, data yang ada menunjukkan upaya akselerasi ini masih berhadapan dengan tantangan besar, salah satunya perihal dominasi energi fosil dan revisi target yang justru lebih rendah dari komitmen awal.

Revisi Target

Pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) resmi merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT) 2025 dari 23 persen menjadi 17-19 persen. Revisi ini merupakan bagian dari pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan disebut sebagai langkah adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis serta kondisi ekonomi Indonesia.

“Target awalnya 23 persen, tapi dengan pembaruan KEN nanti setelah disahkan Presiden, targetnya turun menjadi 17-19 persen,” ujar Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan DEN, Yunus Saefulhak dalam konferensi pers capaian sektor ESDM 2023 dan Program Kerja 2024 di Jakarta, Rabu, 17 Januari 2024, lalu.

Perubahan ini diklaim agar target tetap masuk akal dan tidak terlalu jauh dari realisasi yang ada. Namun, bagi IESR, revisi target ini lebih mencerminkan lambannya transisi energi yang selama ini dicanangkan. IESR menilai revisi tersebut bukan sekadar koreksi teknis, melainkan bukti bahwa pemerintah sendiri pesimistis terhadap percepatan energi hijau.

Realisasi Investasi Masih di Bawah Target

Salah satu indikator utama ketertinggalan target bauran energi adalah realisasi investasi di sektor energi baru terbarukan. Menurut data Kementerian ESDM, realisasi investasi subsektor EBTKE sepanjang 2024 mencapai USD1,49 miliar (Rp24,03 triliun), meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, angka ini tetap di bawah target awal USD2,6 miliar yang dipatok pemerintah.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengklaim adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 telah mempercepat beberapa proyek EBT, terutama untuk PLTP dan PLTS. Menurutnya, regulasi ini menghilangkan kendala tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang selama ini disebut-sebut menghambat investasi.

“Permen 11/2024 dalam beberapa minggu ini mendobrak proyek PLTP dan PLTS. Investasi langsung meningkat hingga USD609 juta (Rp9,87 triliun),” kata Eniya.

Namun, IESR tetap menilai investasi ini masih jauh dari cukup. Mereka menyoroti investasi besar masih didominasi oleh sektor migas dan batu bara. Hal ini juga diakui oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang mengungkapkan bahwa dari total investasi sektor ESDM sebesar USD32,3 miliar, bagian terbesar tetap didominasi oleh migas (USD17,5 miliar) dan minerba (USD7,7 miliar), sedangkan EBTKE hanya menyumbang USD1,8 miliar. Data investasi sektor energi terbarukan yang diungkapkan Bahlil ini pun berbeda dengan angka yang disebutkan Eniya sebesar USD1,49 miliar.

“Akumulasi total investasi sektor ESDM tahun 2024 sebesar USD32,3 miliar, atau sekitar Rp515 triliun. Di migas sedikit naik dari USD14,9 miliar ke USD17,5 miliar, kurang lebih USD2,6 miliar lebih besar ketimbang 2023 atau hampir kurang lebih Rp40 triliun,” kata Bahlil dalam konferensi pers berkaitan dengan capaian kinerja tahun 2024 sektor ESDM, Senin, 3 Februari 2025.

Angka ini menegaskan meskipun pemerintah terus menggaungkan transisi energi, investasi besar masih mengalir ke sektor energi fosil, bukan energi hijau.

Di tengah target transisi energi yang dicanangkan, pemerintah justru mencatat peningkatan signifikan dalam produksi batu bara. Data Kementerian ESDM menunjukkan produksi batu bara nasional mencapai 836 juta ton pada 2024, jauh melebihi target 710 juta ton. Realita ini yang mendorong IESR meminta pemerintah agar segera membatasi produksi batu bara. Pasalnya, kata Fabby, “Jika terus naik seperti tren 10 tahun terakhir, maka ini menjadi sinyal melemahnya komitmen transisi energi Indonesia.(*)