KABARBURSA.COM – Biasanya, butuh bertahun-tahun bagi seorang presiden untuk benar-benar meninggalkan jejaknya di ekonomi. Tapi Donald Trump, cukup beberapa minggu saja untuk bikin pasar dan dunia usaha deg-degan.
Rencananya buat menaikkan tarif impor dari Kanada, Meksiko, dan China langsung bikin banyak pebisnis kelabakan. Belum lagi, isu deportasi mulai bikin perusahaan cemas soal tenaga kerja mereka. Kalau itu belum cukup, lebih dari 40.000 pegawai federal siap angkat kaki dari pemerintahan, sementara yang lain mulai berpikir ulang soal masa depan mereka di tengah tekanan dari Elon Musk dan Departemen Efisiensi Pemerintah yang dipimpinnya.
Garis besarnya, Trump ingin ekonomi AS lebih sedikit bergantung pada impor, tenaga kerja imigran, dan intervensi pemerintah federal, sementara sektor swasta bakal lebih dominan. Tapi, cara eksekusinya justru malah bikin ketidakpastian besar—baik di kalangan pengusaha, pekerja, maupun mitra dagang—yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Padahal, Trump mewarisi ekonomi yang cukup sehat. Produk domestik bruto (PDB) tumbuh 2,5 persen pada kuartal terakhir dibanding tahun sebelumnya. Data ketenagakerjaan yang dirilis Departemen Tenaga Kerja menunjukkan ekonomi AS menambah 143.000 pekerjaan di Januari, sementara tingkat pengangguran turun ke 4 persen. Inflasi juga sudah jauh turun dari puncaknya yang mencapai 9 persen di 2022, meskipun masih bertahan di sekitar 3 persen, lebih tinggi dari target The Fed yang 2 persen.
Di awal masa kepresidenannya, banyak pengusaha yang cukup optimistis. Survei terhadap CEO, CFO, dan pemilik usaha kecil menunjukkan peningkatan kepercayaan setelah pemilu. Bahkan, laporan dari Institute for Supply Management mencatat pesanan baru di sektor manufaktur naik ke level tertinggi dalam hampir tiga tahun.
Tapi begitu Trump mulai benar-benar bergerak, optimisme itu mulai terkikis. S&P 500 yang naik 5 persen dalam lima hari pertama setelah pemilu sekarang malah bergerak datar. Indeks kepercayaan konsumen dari Universitas Michigan juga turun di Februari. Survei bisnis kecil yang dilakukan Vistage Worldwide bersama The Wall Street Journal menunjukkan lonjakan optimisme pasca-pemilu mulai luntur. Bahkan, Januari lalu jadi bulan paling sepi dalam satu dekade terakhir untuk pengumuman merger dan akuisisi di Wall Street.
Ethan Karp, CEO Magnet—organisasi nirlaba di Cleveland yang bekerja sama dengan produsen lokal—bilang kalau suasana bisnis saat ini penuh ketidakpastian. “Banyak kekacauan. Orang-orang tidak tahu kebijakan mana yang bakal benar-benar dijalankan. Memang, dalam jangka panjang tarif impor bisa membantu produksi dalam negeri, tapi dalam waktu dekat ini, yang terjadi cuma kekacauan,” ujarnya, dikutip dari Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 11 Februari 2025.
Trump memang berkampanye dengan janji menaikkan tarif impor, tapi tetap saja banyak yang terkejut ketika pada 1 Februari dia tiba-tiba mengumumkan bea masuk 25 persen untuk Kanada dan Meksiko, serta 10 persen untuk energi asal Kanada dan barang dari China.
Sehari setelah pengumuman itu, warga New England mulai menerima pemberitahuan dari Irving Energy—perusahaan berbasis di Kanada—yang isinya menjelaskan bahwa tarif baru dari pemerintah AS akan membuat harga minyak pemanas dan propana naik.
Dua hari kemudian, Trump sempat menunda tarif 25 persen untuk Kanada dan Meksiko selama 30 hari, tapi tetap memberlakukan tarif untuk China.
Jumat lalu, Trump bilang dia ingin tarif “resiprokal”—artinya tarif impor AS bakal dicocokkan dengan tarif yang dikenakan negara lain. Lalu, pada Senin, dia kembali mengumumkan tarif 25 persen untuk baja dan aluminium impor.
Dari perusahaan kecil sampai korporasi besar semuanya berusaha beradaptasi, tapi kebijakan yang berubah-ubah bikin mereka kesulitan membuat keputusan jangka panjang.
Alicia Chong, pemilik Blu Monaco—perusahaan ritel alat tulis berbasis di Pennsylvania—bilang kalau dia sudah meminta pemasoknya di China untuk memberikan diskon 10 persen supaya bisa mengimbangi kenaikan tarif. “Kalau tak berhasil, saya akan naikin harga 5 persen buat semua produk,” katanya.
Pemasok pertama yang merespons bilang mereka bisa menurunkan harga, tapi dengan syarat Blu Monaco harus menambah jumlah pesanan. Tapi Chong tak mau ambil risiko. “Kalau stok kebanyakan, kas perusahaan jadi ketat,” jelasnya.
Dia juga mulai mempertimbangkan mencari pemasok di Vietnam, tapi itu butuh waktu enam sampai sembilan bulan. “Pabrik yang sekarang sudah paham semua desain saya,” kata Chong. “Cari pabrik baru itu kayak memulai hubungan baru dari nol.”
Chong juga khawatir Trump nantinya bakal memberlakukan tarif impor untuk Vietnam. “Makanya saya tak mau buru-buru. Bisa saja enam bulan lagi, Trump tiba-tiba lihat Vietnam dan mulai mengenakan tarif di sana juga,” ujarnya.
Di pekan pertama Februari saja, menurut data FactSet,kata “tarif” muncul di 172 transkrip panggilan pendapatan dari 1.500 perusahaan publik AS, dibandingkan hanya 32 kali dalam seluruh bulan Februari tahun lalu.
Sementara itu, indeks ketidakpastian kebijakan yang dikembangkan ekonom Stanford, Nick Bloom, mencapai level tertinggi sejak pandemi COVID-19 dan krisis keuangan 2008. Bloom menilai ketidakpastian ini bisa menghambat investasi jangka panjang, seperti riset dan pembangunan infrastruktur.
Di sebuah konferensi industri penerbangan pekan lalu, konsultan Richard Aboulafia dari AeroDynamic Advisory sampai bercanda, “Syukurlah kita punya lingkungan politik dan regulasi yang stabil buat membantu kita melewati masa sulit ini,” yang langsung disambut tawa.
Menurutnya, industri memang sudah mengantisipasi perang dagang dengan China, tapi tarif yang tiba-tiba dikenakan ke Kanada dan Meksiko? “Benar-benar aneh,” katanya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.