KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG kembali mencatatkan pelemahan sepanjang pekan ini. Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan IHSG mengalami koreksi sebesar 5,16 persen ke level 6.752, dibandingkan posisi pekan lalu yang masih bertengger di 7.109,196.
Sekretaris Perusahaan BEI, I Gusti Alit Nityaryana, mengatakan penurunan IHSG juga berdampak pada kapitalisasi pasar bursa. “Kapitalisasi pasar Bursa pekan ini mengalami perubahan sebesar 5,87 persen menjadi Rp11.595 triliun dari Rp12.319 triliun pada sepekan sebelumnya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu, 8 Februari 2025.
Tak hanya itu, aksi jual investor asing turut menekan pasar saham. Gusti mencatat, pada perdagangan Jumat, 7 Februari 2025, investor asing mencatatkan jual bersih sebesar Rp513,87 miliar. Sementara, secara year-to-date, nilai jual bersih investor asing telah mencapai Rp7,52 triliun.
Namun, di tengah koreksi IHSG, beberapa indikator perdagangan justru mengalami kenaikan. Gusti menyebutkan rata-rata volume transaksi harian bursa pekan ini meningkat 26,60 persen, dari sebelumnya 16,39 miliar lembar saham menjadi 20,75 miliar lembar saham.
Kenaikan juga terjadi pada rata-rata frekuensi transaksi harian, yang naik 13,06 persen menjadi 1,31 juta kali transaksi, dari 1,16 juta kali transaksi di pekan sebelumnya.
“Selama sepekan, rata-rata nilai transaksi harian Bursa mengalami kenaikan sebesar 7,22 persen menjadi Rp12,08 triliun dari Rp11,27 triliun pada pekan sebelumnya,” kata Gusti.
[caption id="attachment_116821" align="alignnone" width="680"] Aktifitas pengunjung di Main Hal Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (30/1/2025). Hari ini Papan Pantau Saham terlihat merah. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.[/caption]
IHSG ditutup melemah sebesar 132 poin atau turun 1,93 persen ke level 6.742 pada perdagangan Jumat, 7 Februari 2025. Merujuk data perdagangan RTI Business, IHSG pada hari ini bergerak fluktuatif dengan level tertinggi di 6.875 dan level terendah di angka 6.656. Sebanyak 191 saham menguat, 417 saham melemah, dan 188 saham mengalami stagnan.
Per kemarin, volume perdagangan terpantau sebesar Rp17.146 miliar dengan transaksi Rp12.903 triliun dengan frekuensi perdangan senilai 1,313,938.
Mengutip data perdagangan Stockbit, saham PPRI (34.62 persen) mampu berada di posisi teratas top gainer. Di posisi kedua ada KOPI (25.00 persen), diikuti SMDM (25.00 persen), TIRA (20.44 persen), dan KOKA (17.48 persen).
Dari sisi top loser atau saham yang terkoreksi paling dalam, PTRO (-24.61 persen) terpantau di posisi pertama, dibuntuti SONA (-20.00 persen), CUAN (-19.96 persen), BREN (-19.49 persen), dan SHIP (-19.59 persen).
Di satu sisi, indeks LQ45 terpantau menguat dengan performa 0.93 persen. Saham yang paling menguat signifikan dalam indeks ini adalah CTRA dengan performa 6.32 persen. Dari sisi sektoral, sebanyak empat sektor terpantau menguat. Sementara tujuh sektor berada di zona merah.
IHSG dua hari berturut-turut mengalami koreksi paling dalam. Pada Kamis, 6 Februari 2025, IHSG ditutup melemah hingga 148 poin atau turun -2,12 persen ke level 6.875.
Head Costumer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, menilai volatilitas pasar masih cukup tinggi dengan tekanan utama berasal dari aksi jual investor asing pada saham perbankan.
“Aksi jual asing pada saham perbankan, khususnya BMRI yang terjadi koreksi mencapai 7,7 persen dengan net sell sebesar Rp1,39 triliun seiring dengan rilis kinerja FY24,” ujar Audi kepada KabarBursa.com.
Selain itu, kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat pasca rilis data deflasi Januari 2025 turut memberikan tekanan pada pasar saham domestik. Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan beberapa negara, khususnya China, makin memperburuk sentimen di kawasan Asia.
“Pasar tengah memperhatikan pelemahan indeks USD dan dinamika tarif dagang AS masih akan mempengaruhi pasar di tengah penantian rilis data tenaga kerja AS yang diperkirakan kuat dan dapat memberikan ruang The Fed untuk lebih dovish,” kata Audi.
Wall Street Gonjang-Ganjing
Di Amerika Serikat (AS), Wall Street kembali bergejolak pada perdagangan Jumat waktu setempat atau Sabtu dini hari WIB seiring munculnya laporan yang menunjukkan konsumen di negara tersebut mulai bersiap menghadapi inflasi yang lebih tinggi. Ditambah lagi, data ketenagakerjaan AS memberi sinyal yang campur aduk, membuat investor semakin bimbang.
Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, 8 Februari 2025, Indeks S&P 500 terpantau melemah 0,5 persen pada pukul 13:31 waktu setempat, meski masih berpeluang mencetak kenaikan tipis untuk pekan ini. Dow Jones Industrial Average turun 280 poin atau 0,6 persen, sementara Nasdaq memimpin pelemahan dengan koreksi 0,9 persen. Saham Amazon ikut menyeret indeks setelah laporan keuangan terbarunya tak sepenuhnya memuaskan pasar.
Tak hanya di pasar saham, pergerakan di pasar obligasi juga menunjukkan tren serupa. Imbal hasil obligasi pemerintah AS naik setelah laporan dari University of Michigan menyebutkan konsumen AS memperkirakan inflasi tahun depan mencapai 4,3 persen, tertinggi sejak 2023. Ini lebih tinggi satu persen dari proyeksi bulan lalu dan merupakan kenaikan besar dua bulan berturut-turut.
Sejumlah ekonom menduga lonjakan ekspektasi inflasi ini berkaitan dengan rencana Presiden Donald Trump yang ingin menerapkan tarif impor lebih luas. Jika kebijakan tersebut benar-benar diberlakukan, harga barang di AS bisa ikut melonjak.
Laporan lain dari sektor ketenagakerjaan juga tak kalah menarik perhatian. Meskipun angka perekrutan tenaga kerja pada Januari hanya separuh dari jumlah di Desember, ada beberapa hal positif bagi pekerja. Tingkat pengangguran menurun, dan kenaikan upah rata-rata lebih tinggi dari perkiraan para ekonom.
Semua data ini membuat The Fed diperkirakan akan tetap bertahan dengan kebijakan suku bunga saat ini. Sejak September lalu, bank sentral AS mulai memangkas suku bunga untuk meredakan tekanan pada ekonomi dan pasar tenaga kerja. Namun, menjelang akhir 2024, The Fed sempat mengindikasikan bakal memangkas suku bunga lebih sedikit di 2025, mengingat inflasi yang masih membandel.
Bagi investor di Wall Street, kebijakan suku bunga The Fed adalah salah satu faktor paling krusial. Suku bunga yang lebih rendah memang bisa membuat harga saham naik karena biaya pinjaman lebih murah. Tapi di sisi lain, ini juga bisa memicu inflasi yang lebih tinggi.(*)