KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup melemah sebesar 132 poin atau turun 1,93 persen ke level 6.742 pada perdagangan Jumat, 7 Februari 2025.
Merujuk data perdagangan RTI Business, IHSG pada hari ini bergerak fluktuatif dengan level tertinggi di 6.875 dan level terendah di angka 6.656. Sebanyak 191 saham menguat, 417 saham melemah, dan 188 saham mengalami stagnan.
Pada hari ini, volume perdagangan terpantau sebesar Rp17.146 miliar dengan transaksi Rp12.903 triliun dengan frekuensi perdangan senilai 1,313,938.
Mengutip Stockbit, saham PPRI (34.62 persen) mampu berada di posisi teratas top gainer. Di posisi kedua ada KOPI (25.00 persen), diikuti SMDM (25.00 persen), TIRA (20.44 persen), dan KOKA (17.48 persen).
Dari sisi top loser atau saham yang terkoreksi paling dalam, PTRO (-24.61 persen) terpantau di posisi pertama, dibuntuti SONA (-20.00 persen), CUAN (-19.96 persen), BREN (-19.49 persen), dan SHIP (-19.59 persen).
Di satu sisi, indeks LQ45 terpantau menguat dengan performa 0.93 persen. Saham yang paling menguat signifikan dalam indeks ini adalah CTRA dengan performa 6.32 persen. Dari sisi sektoral, sebanyak empat sektor terpantau menguat. Sementara tujuh sektor berada di zona merah.
Terkoreksi Dua Hari Berturut-turut
IHSG dua hari berturut-turut mengalami koreksi paling dalam. Pada Kamis, 6 Februari 2025, IHSG ditutup melemah hingga 148 poin atau turun -2,12 persen ke level 6.875.
Head Costumer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, menilai volatilitas pasar masih cukup tinggi dengan tekanan utama berasal dari aksi jual investor asing pada saham perbankan.
“Aksi jual asing pada saham perbankan, khususnya BMRI yang terjadi koreksi mencapai 7,7 persen dengan net sell sebesar Rp1,39 triliun seiring dengan rilis kinerja FY24,” ujar Audi kepada kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 6 Februari 2025.
Selain itu, kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat pasca rilis data deflasi Januari 2025 turut memberikan tekanan pada pasar saham domestik. Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan beberapa negara, khususnya China, makin memperburuk sentimen di kawasan Asia.
“Pasar tengah memperhatikan pelemahan indeks USD dan dinamika tarif dagang AS masih akan mempengaruhi pasar di tengah penantian rilis data tenaga kerja AS yang diperkirakan kuat dan dapat memberikan ruang The Fed untuk lebih dovish,” kata Audi.
Analis pasar modal sekaligus Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meleset dari target menjadi salah satu faktor pemicunya. Ekonomi hanya tumbuh 5,03 persen pada 2023, lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,2 persen.
“Memang ini sedikit di bawah target pemerintah yang mengharapkan pertumbuhan sebesar 5,2 persen. Namun, angka ini masih sedikit lebih baik dibandingkan proyeksi IMF (Dana Moneter Internasional) dan World Bank, yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen,” kata Nafan kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 7 Januari 2025.
Nafan mencatat bahwa stagnasi pertumbuhan ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain kinerja konsumsi rumah tangga yang relatif lambat dan industri manufaktur yang terus mengalami tekanan.
Ia juga menyoroti indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sempat menunjukkan kontraksi sepanjang tahun 2023, meskipun mulai membaik dan menunjukkan ekspansi pada bulan Desember 2023 dan berlanjut pada Januari 2024.
Pertumbuhan ekspor diklaim tidak optimal, yang lebih rendah dari impor, juga berkontribusi pada rendahnya kinerja ekonomi Indonesia. Di tengah dinamika Pemilu 2024 lalu, sektor pemerintah sedikit membantu dengan peningkatan belanja pemerintah, namun ini juga tidak cukup untuk mendorong ekonomi secara signifikan.
Nafan juga mengungkapkan bahwa kebijakan Tramponomics 2.0 yang diterapkan di Amerika Serikat memberikan dampak negatif terhadap pasar Indonesia, khususnya IHSG dan pasar obligasi. “Kebijakan ini, ditambah dengan aliran modal keluar (outflow), membuat rupiah terdepresiasi dan menyebabkan IHSG mengalami penurunan,” tutur dia.
Ia juga memperhatikan bahwa meskipun data makro-ekonomi dari Amerika Serikat belum menunjukkan dampak signifikan terhadap pasar, pengumuman terkait non-farm payroll yang akan datang masih menjadi perhatian utama pasar global.
“Jika data non-farm payroll AS menunjukkan hasil yang lebih baik dari ekspektasi, itu bisa memperkuat posisi dolar AS, yang pada gilirannya bisa menambah tekanan pada IHSG dan nilai tukar rupiah,” kata Nafan.
Secara keseluruhan, Nafan menilai bahwa pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen pada tahun 2024 akan menghadapi tantangan besar. “Dengan semua dinamika yang ada, mencapai target pertumbuhan 5,2 persen pun sudah cukup berat, apalagi jika diharapkan bisa tumbuh hingga 8 persen,” tutur dia.