KABARBURSA.COM - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang buruk pada dua hari terakhir merupakan imbas dari stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional. Indeks pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis, 6 Februari 2025 turun di level 7.064, sedangkan pada pembukaan perdagangan hari ini, Jumat, 7 Februari 2025 jatuh 1,84 persen (126,57 poin) di level 6.748.
Analis pasar modal sekaligus Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meleset dari target menjadi salah satu faktor pemicunya. Ekonomi hanya tumbuh 5,03 persen pada 2023, lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,2 persen.
"Memang ini sedikit di bawah target pemerintah yang mengharapkan pertumbuhan sebesar 5,2 persen. Namun, angka ini masih sedikit lebih baik dibandingkan proyeksi IMF (Dana Moneter Internasional) dan World Bank, yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen," kata Nafan kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 7 Januari 2025.
Nafan mencatat bahwa stagnasi pertumbuhan ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain kinerja konsumsi rumah tangga yang relatif lambat dan industri manufaktur yang terus mengalami tekanan.
Ia juga menyoroti indeks Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sempat menunjukkan kontraksi sepanjang tahun 2023, meskipun mulai membaik dan menunjukkan ekspansi pada bulan Desember 2023 dan berlanjut pada Januari 2024.
Pertumbuhan ekspor diklaim tidak optimal, yang lebih rendah dari impor, juga berkontribusi pada rendahnya kinerja ekonomi Indonesia. Di tengah dinamika Pemilu 2024 lalu, sektor pemerintah sedikit membantu dengan peningkatan belanja pemerintah, namun ini juga tidak cukup untuk mendorong ekonomi secara signifikan.
Nafan juga mengungkapkan bahwa kebijakan Tramponomics 2.0 yang diterapkan di Amerika Serikat memberikan dampak negatif terhadap pasar Indonesia, khususnya IHSG dan pasar obligasi. “Kebijakan ini, ditambah dengan aliran modal keluar (outflow), membuat rupiah terdepresiasi dan menyebabkan IHSG mengalami penurunan,” tutur dia.
Ia juga memperhatikan bahwa meskipun data makro-ekonomi dari Amerika Serikat belum menunjukkan dampak signifikan terhadap pasar, pengumuman terkait non-farm payroll yang akan datang masih menjadi perhatian utama pasar global.
“Jika data non-farm payroll AS menunjukkan hasil yang lebih baik dari ekspektasi, itu bisa memperkuat posisi dolar AS, yang pada gilirannya bisa menambah tekanan pada IHSG dan nilai tukar rupiah,” kata Nafan.
Secara keseluruhan, Nafan menilai bahwa pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen pada tahun 2024 akan menghadapi tantangan besar. “Dengan semua dinamika yang ada, mencapai target pertumbuhan 5,2 persen pun sudah cukup berat, apalagi jika diharapkan bisa tumbuh hingga 8 persen," tutur dia.
Senada dengan Nafan, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata menyampaikan faktor utama di balik pelemahan indeks pasar modal domestik, yakni kombinasi antara kondisi global dan regional.
“Masalah yang dihadapi market kita hari ini adalah kombinasi dari (kondisi) regional dan global,” kata Liza dalam segmen Dialog Analis pada acara Kabar Bursa Hari Ini di kanal YouTube KabarBursaCom, Kamis, 6 Februari 2025.
Ia merinci bahwa kebijakan yang dibuat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, khususnya regulasi tarif, telah berimbas pada perekonomian global, termasuk Indonesia. Tak hanya itu, kemungkinan perang dagang (trade war) antara AS dan China yang semakin meruncing mendorong bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), mempertimbangkan langkah kebijakan moneter lebih lanjut.
“Ini akan menggulung, menjadi kebijakan moneter The Fed yang semakin hari tidak bisa menjadi dovish. Karena akan adanya ancaman inflasi AS akan kembali meningkat,” ungkap Liza.
Sementara itu, Liza membeberkan sejumlah faktor dalam negeri yang turut memberatkan kinerja IHSG hari ini. Faktor pertama adalah data inflasi nasional Januari 2025, dan yang kedua angka produk domestik bruto (PDB) kuartal IV 2024.
“Inflasi Januari 2025 ada menyiratkan adanya deflasi, artinya ada pelemahan daya beli masyarakat. PDB kita pada kuartal IV, walaupun hampir saja mungkin tidak bisa bertahan di level lima persen ini, tidak sesuai target atau meleset dari asumsi makroekonomi 2024,” terangnya.
Bahkan, sambung Liza, target-target yang meleset, seperti penerimaan pajak negara, lifting minyak, serta inflasi yang berbalik menjadi deflasi, ikut memberatkan pasar modal dalam negeri.
Lebih dalam lagi, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia itu mencermati kinerja bank berkapitalisasi besar (big caps) sepanjang 2024 yang tak sesuai ekspektasi pasar. Padahal, imbuhnya, sektor perbankan masih akan menghadapi sejumlah tantangan pada 2025 karena situasi dan kondisi perekonomian nasional.
“Jadi, itulah semua yang menyebabkan IHSG harus terperosok dua persen hari ini,” tegasnya.
Dari semua kondisi tersebut, konsekuensi yang muncul adalah para investor asing terus menarik dananya keluar dari pasar modal Indonesia hingga saat ini. Mereka secara konsisten melakukan aksi jual saham di BEI dengan nilai hampir Rp5 triliun.
“Nah, yang terakhir, posisi nilai tukar rupiah juga tidak bisa ke mana-mana, masih tetap lemah di sekitar Rp16.300, bahkan pernah sampai Rp16.400,” tambah Liza.
“Oleh karena itu, kita masih belum bisa menemukan cahaya terang di tengah kegelapan market ini,” pungkasnya. (*)