KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan mengalami fluktuasi dengan kecenderungan melemah pada perdagangan Jumat, 7 Februari 2025. Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi, mengatakan rupiah berpotensi bergerak di rentang Rp16.300-an hingga Rp16.400-an per dolar AS.
“Untuk perdagangan Jumat, 7 Februari 2025, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp16.310 - Rp16.400,” ujar Ibrahim dalam analisis hariannya, Kamis, 6 Februari 2025.
Tekanan terhadap rupiah kali ini dipicu oleh kombinasi faktor eksternal dan domestik. Dari sisi global, sentimen pasar masih dipengaruhi oleh perang dagang yang kembali memanas antara AS dan China. Setelah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif tambahan 10 persen terhadap produk-produk dari China, Beijing langsung merespons dengan kebijakan tarif balasan dan pengendalian ekspor.
Langkah ini memicu kekhawatiran bahwa konflik dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut akan semakin tajam.
Selain itu, pernyataan anggota dewan Bank of Japan (BOJ), Naoki Tamura, yang mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga Jepang menjadi 1 persen pada paruh kedua tahun ini, turut memicu reli yen. Mata uang Negeri Sakura itu menguat sebagai aset safe haven, mempersempit ruang gerak mata uang di kawasan Asia, termasuk rupiah.
Di sisi lain, data tenaga kerja AS yang akan dirilis pada Jumat hari ini menjadi perhatian utama pasar. Jika laporan nonfarm payrolls menunjukkan ketahanan pasar tenaga kerja AS, maka dolar AS bisa kembali menguat dan memberikan tekanan tambahan bagi rupiah.
Dari faktor domestik, perlambatan ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir masih menjadi perhatian utama. Para ekonom menilai pertumbuhan ekonomi yang melambat sebagian besar disebabkan oleh tekanan terhadap kelas menengah yang menjadi motor utama konsumsi rumah tangga.
Pada 2024, konsumsi rumah tangga menyumbang 54,04 persen terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi kenaikannya tetap di bawah laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Selama ini, kebijakan pemerintah cenderung lebih berpihak kepada kelompok berpenghasilan rendah melalui program bantuan sosial, sementara kelas menengah justru terbebani dengan pajak dan biaya hidup yang terus meningkat. Akibatnya, daya beli masyarakat kelas menengah tergerus sehingga menahan laju pertumbuhan konsumsi.
Dalam perdagangan Kamis, 6 Februari 2025, rupiah ditutup melemah 47 poin ke level Rp16.340 per dolar AS, setelah sempat melemah hingga 55 poin ke level Rp16.292. Dengan kondisi pasar saat ini, Ibrahim memperkirakan volatilitas rupiah masih akan tinggi.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, sebelumnya menyoroti nilai tukar rupiah yang saat ini keluar dari asumsi awal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Menurutnya, nilai tukar rupiah yang telah menyentuh angka Rp16.000 per dolar AS menjadi tantangan besar bagi perekonomian nasional.
“Nilai tukar kita saat ini sudah berada di atas Rp16.000, meskipun belum menyentuh Rp16.500. Ini sangat psikologis dan mengkhawatirkan. Di satu sisi, pelemahan rupiah menguntungkan eksportir, tetapi di sisi lain meningkatkan risiko bagi impor kita yang masih besar, terutama impor BBM,” ujar Misbakhun saat menjadi pembicara dalam acara Outlook Ekonomi DPR dengan tema “Bedah APBN 2025 Membangun Kepercayaan Pasar” di The St. Regis Jakarta, Rabu, 5 Febuari 2025.
Politisi Partai Golkar ini menegaskan Indonesia masih menjadi net importer bahan bakar minyak (BBM) sehingga pelemahan rupiah berdampak signifikan terhadap beban anggaran energi nasional.
“Kita adalah salah satu negara dengan konsumsi BBM terbesar di dunia, dan saat ini produksi lifting kita masih di kisaran 605 ribu barel. Pemerintah harus segera mencari solusi agar ketergantungan impor tidak semakin membebani ekonomi,” katanya.
Selain isu nilai tukar, Misbakhun juga menyoroti pentingnya pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Ia menilai langkah pemerintah dalam merepatriasi DHE menjadi bagian dari strategi memperkuat nilai tukar rupiah dan meningkatkan ketahanan ekonomi domestik.
“Pemerintah harus memastikan bahwa devisa hasil ekspor dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memperkuat perekonomian dalam negeri. Ini juga menjadi bentuk legitimasi pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan volatilitas pasar,” katanya.
Misbakhun pun mengungkapkan penyusunan asumsi makro APBN 2025 telah melalui berbagai pertimbangan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yakni Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Ketua OJK, serta Menteri PPN/Kepala Bappenas.
“Asumsi makro ini bukan sekadar angka, tetapi merupakan hasil diskusi mendalam bersama stakeholder utama ekonomi nasional. Kita harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar dapat mengarahkan ekonomi kita ke jalur yang lebih stabil dan berkelanjutan,” kata Misbakhun.(*)