Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Dinilai Stabil, Saham Perbankan Masih Menarik Dikoleksi

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 04 February 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Redaksi
Dinilai Stabil, Saham Perbankan Masih Menarik Dikoleksi

KABARBURSA.COM - Saham-saham perbankan dinilai masih menarik dikoleksi oleh para investor. Begitu disampaikan Direktur PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk Reza Priyambada.

"Walaupun mungkin kalau kita lihat kondisi makro ekonomi kita memang belum sepenuhnya baik, tapi paling tidak sudah menuju ke arah perbaikan dan menuju ke arah pemulihan," ujar dia kepada dalam acara Bursa Pagi-Pagi Kabarbursa.com di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.

Selain itu, Reza juga melihat jika kinerja penyaluran kredit perbankan terpantau stabil. Dia pun optimistis prospek kinerja di industri ini bisa bertumbuh dibanding tahun lalu.

"Kalau pun ada peningkatan meskipun tidak terlalu signifikan, tapi paling tidak masih ada pertumbuhan dibandingkan dengan tahun sebelumnya," jelas dia.

Reza menuturkan saham perbankan kini tengah menarik untuk dikoleksi karena cenderung mengalami penurunan di beberapa periode kemarin.  Namun  begitu, dia menyarankan para investor memperhatikan beberapa hal sebelum membeli saham perbankan.

"Yang perlu diperhatikan mungkin berapa besaran dividen yang akan dibagikan. Perlu diperhatikan juga adalah cum dividen maupun ex dividen dari saham-saham perbankan tersebut," ujarnya.

Merujuk data perdagangan Stockbit, Selasa, 4 Februari 2025 pukul 14:38 WIB, saham-saham perbankan besar terpantau menurun seperti BBCA (-1,60 persen) BBRI (-0,24 persen), BMRI (-2,16 persen), dan BBNI (-0,84 persen).

Meskipun mengalami penurunan harga, namun fundamental yang dimiliki oleh saham-saham perbankan ini cukup kuat, sehingga sentimen negatif yang menyertainya tidak terlalu memberikan pengaruh bagi investor.

Adapun saham-saham yang mengalami kenaikan di antaranya BRIS (1,71 persen) dan ARTO (0,45 persen).

Kado Istimewa Sektor Perbankan

Sebelumnya diberitakan, keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin (bps) dari 6 persen menjadi 5,75 persen  disambut positif oleh pelaku industri perbankan. Pengamat Ekonomi Paul Sutaryono, menyebut langkah ini sebagai “kado istimewa” bagi sektor perbankan nasional di awal tahun 2025.

Paul menilai, penurunan suku bunga tersebut didorong oleh rendahnya inflasi yang tercatat sebesar 1,57 persen hingga akhir Desember 2024. Angka ini jauh di bawah target inflasi 2,5±1 perse  yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2024.

Menurutnya, kebijakan ini juga menjadi instrumen penting dalam menahan laju kenaikan harga kebutuhan pokok yang dipicu oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 peraen menjadi 12 persen

“Sudah barang tentu hal itu menjadi salah satu instrumen untuk mengerem harga kebutuhan pokok. Adalah tugas pemerintah untuk mengendalikan harga tersebut dengan menyediakan kecukupan barang dan kelancaran pengiriman,” ujar Paul saat dihubungi Kabarbursa.com melalui telepon, Kamis 16 Januari 2025.

Paul menambahkan, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat diharapkan, setidaknya sebesar 1 persen. Penurunan suku bunga ini diharapkan turut menurunkan suku bunga kredit perbankan karena biaya dana (cost of fund) menjadi lebih rendah. Kondisi ini berpotensi memperlonggar likuiditas perbankan, sehingga penyaluran kredit dapat lebih optimal.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Arianto Muditomo, menilai keputusan BI ini sebagai strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

Penurunan suku bunga diharapkan dapat menurunkan biaya pinjaman, meningkatkan konsumsi rumah tangga, memperbesar investasi, dan memperkuat penyaluran kredit perbankan. Ia menyebut sektor properti, otomotif, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini.

Namun, Arianto juga mengingatkan adanya risiko yang perlu diwaspadai. Penurunan suku bunga dapat mengurangi daya tarik aset berbasis rupiah, sehingga berpotensi memicu arus keluar modal asing dan menekan nilai tukar rupiah.

Apalagi, prospek penguatan dolar AS pasca-pelantikan Presiden Donald Trump, yang diiringi ekspektasi kebijakan fiskal ekspansif di Amerika Serikat, semakin memperbesar tekanan terhadap rupiah.

“Dengan nilai tukar rupiah yang sudah lemah terhadap dolar AS, risiko tekanan inflasi impor meningkat. Apalagi, prospek penguatan dolar AS pasca-pelantikan Trump, didorong ekspektasi kebijakan fiskal ekspansif di AS, dapat memperbesar tekanan terhadap rupiah,” jelas Arianto.

Dia juga menekankan bahwa dampak positif kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat tidak akan terasa secara langsung. Namun, bila biaya pinjaman turun, produktivitas meningkat, dan suplai barang di pasar bertambah, harga barang akan terkoreksi turun sesuai hukum ekonomi klasik. Saat itulah daya beli masyarakat diperkirakan akan membaik.

“Dampak pada daya beli masyarakat tidak akan terlihat secara langsung, yaitu bila biaya pinjaman menurun dan produktivitas meningkat serta suplai barang di pasar naik, maka harga turun (hukum ekonomi klasik). saat itulah daya beli masyarakat akan meningkat,” tutup Arianto.(*)