KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berencana menerapkan tarif impor 25 persen terhadap mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan China. Kebijakan ini termasuk pemberlakuan tarif 10 persen untuk produk energi dari Kanada. Langkah tersebut memicu berbagai reaksi di pasar global, termasuk dampaknya terhadap harga minyak dunia dan stabilitas ekonomi negara mitra, termasuk Indonesia.
Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), Banjaran Surya Indrastomo melihat bahwa kebijakan tarif impor ini berpotensi menciptakan volatilitas harga minyak dalam jangka pendek, meskipun dalam jangka panjang diperkirakan akan kembali stabil.
"Harga minyak global dalam jangka pendek (dampak sentimen) diprakirakan bergerak fluktuatif seiring dengan rencana penetapan tarif oleh AS. Sementara itu, dalam jangka panjang diprakirakan tetap relatif stabil," ujar Banjaran kepada Kabarbursa.com, Selasa 4 Februari 2025.
Kanada merupakan pemasok minyak mentah terbesar ke AS dengan volume sekitar 4,4 juta barel per hari pada 2023. Dengan adanya tarif 10 persen, Kanada kemungkinan akan mengalihkan ekspor minyaknya ke pasar lain seperti Asia dan Eropa. Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan pasokan global yang mendorong kenaikan harga minyak dalam jangka pendek. Bagi Indonesia, lonjakan harga minyak bisa berdampak langsung terhadap anggaran negara.
"Dampak kepada Indonesia tentu akan memengaruhi APBN karena membuka ruang terjadinya peningkatan anggaran subsidi BBM dari yang ditetapkan sebelumnya karena kenaikan harga minyak yang terjadi," jelas Banjaran.
Sejak 2013, Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, sehingga perubahan harga minyak dunia sangat memengaruhi neraca perdagangan. Meski kenaikan harga minyak dapat memperburuk defisit neraca migas, Banjaran menilai dampaknya terhadap neraca perdagangan secara keseluruhan masih bisa dikendalikan selama kinerja ekspor nonmigas tetap positif.
"Apabila kinerja ekspor lain tetap bagus, maka dampak risiko kenaikan harga minyak terhadap neraca perdagangan diprakirakan minim," katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam empat tahun terakhir, kenaikan harga minyak telah menyebabkan defisit neraca migas semakin melebar. Namun, hal ini berhasil dikompensasi dengan kinerja neraca nonmigas yang meningkat, sehingga neraca perdagangan Indonesia tetap mencatat surplus.
"Tekanan terhadap APBN dari setiap kenaikan harga minyak ICP sebesar 1 USD per barel diprakirakan dapat meningkatkan defisit APBN sebesar 6,9 triliun, melalui peningkatan belanja Pemerintah pusat, khususnya subsidi energi," ungkapnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah antisipatif, seperti percepatan transisi ke energi terbarukan serta optimalisasi produksi minyak mentah dalam negeri.
Di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan tarif AS, ada peluang bagi industri biodiesel dan minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia. Pemerintah telah mengarahkan pemanfaatan CPO untuk kebutuhan energi dalam negeri melalui program mandatori biodiesel, yang mengurangi ketergantungan pada ekspor.
"Kebijakan tersebut dinilai memberikan dampak yang minim terhadap ekspor CPO Indonesia karena saat ini pemerintah berfokus memanfaatkan CPO untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri melalui program mandatori Biodiesel," ungkap Banjaran.
Implementasi program B40 sejak awal tahun ini diproyeksikan dapat menekan alokasi CPO Indonesia untuk pasar ekspor hingga 2 juta ton. Sementara itu, perubahan harga minyak juga akan berdampak pada jumlah insentif yang diberikan oleh BPDP kepada produsen biodiesel. Kenaikan harga minyak mentah akan mengurangi nilai insentif yang harus dibayarkan BPDP, sementara penurunan harga minyak akan meningkatkan beban insentif tersebut.
“Kenaikan harga minyak mentah akan mengurangi nilai insentif, begitu juga sebaliknya,” tuturnya.
Harga minyak naik tipis dalam perdagangan yang bergejolak pada Senin, 3 Februari 2025, tetapi ditutup pada level terendah satu bulan akibat berakhirnya kontrak dengan harga lebih tinggi. Hasil ini bersamaan dengan kondisi pasar yang mencerna rencana Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan China.
Kekhawatiran atas impor dari dua pemasok utama minyak mentah ke AS mendorong harga naik lebih dari USD1 per barel di awal sesi, sebelum Trump menunda tarif baru terhadap Meksiko selama satu bulan setelah Meksiko setuju untuk memperketat perbatasan utara guna menghambat aliran obat-obatan terlarang, terutama fentanil.
Seperti dilansir dari Reuters, kontrak berjangka Brent untuk pengiriman April naik 29 sen, atau 0,4 persen, dari harga penutupan kontrak tersebut pada Jumat, 31 Januari 2025 menjadi USD75,96 per barel, sementara minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) naik 63 sen, atau 0,9 persen, menjadi USD73,16 per barel.
Itu adalah harga penutupan terendah untuk Brent sejak 2 Januari 2025 setelah kontrak April yang lebih murah menjadi kontrak utama setelah kontrak Maret yang lebih mahal berakhir pada hari Jumat.
Tarif luas yang diberlakukan Trump terhadap barang-barang dari Meksiko, Kanada, dan China pada hari Selasa berpotensi memicu perang dagang yang dapat menghambat pertumbuhan global dan meningkatkan inflasi.
Tarif yang diusulkan mencakup bea 25 persen pada sebagian besar barang dari Meksiko dan Kanada, dengan tarif 10 persen pada impor energi dari Kanada serta tarif 10 persen pada impor China.
“Tarif pada impor energi dari Kanada kemungkinan akan lebih mengganggu pasar energi domestik dibandingkan tarif pada impor dari Meksiko, dan bahkan mungkin berlawanan dengan salah satu tujuan utama presiden – menurunkan biaya energi,” kata analis Barclays, Amarpreet Singh, dalam sebuah catatan.
Kanada dan Meksiko bersama-sama menyumbang sekitar seperempat dari minyak yang diproses oleh kilang AS menjadi bahan bakar seperti bensin dan minyak pemanas, menurut Departemen Energi AS.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.