KABARBURSA.COM - Kurs rupiah tersungkur, tidak kuasa menghadapi perang dagang yang baru saja ditabuh oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pada penutupan perdagangan Senin, 3 Februari 2025, rupiah ditutup di level Rp16.448.
Mengutip data yang berhasil dihimpun Bloomberg pada hari ini, rupiah ditutup di level Rp16.448 per dolar AS, terdepresiasi sebanyak 144 poin atau 0,88 persen dibandingkan dengan penutupan pada Jumat, 31 Januari 2025 di level Rp16.304 per dolar AS.
Pelemahan ini terjadi di tengah ketegangan yang semakin meningkat akibat kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memicu perang dagang dengan China, Meksiko, dan Kanada.
Penyebab utama dari pergerakan nilai tukar ini adalah penguatan indeks dolar AS yang terjadi pada hari yang sama. Trump, yang secara resmi memberlakukan tarif 25 persen pada impor dari Kanada dan Meksiko serta 10 persen pada barang-barang asal China, membuat ketiga negara tersebut menanggapi dengan ancaman pembalasan.
Kebijakan ini merupakan bagian dari langkah proteksionis Trump yang dapat memperburuk ketegangan perdagangan internasional, mengingat ketiga negara tersebut adalah mitra dagang utama bagi Amerika Serikat.
Kanada langsung merespons dengan menetapkan tarif balasan yang setara, yakni 25 persen terhadap barang-barang impor dari AS. Sementara itu, China meskipun mengkritik kebijakan tersebut, tetap membuka pintu untuk dialog dengan AS, berusaha meredakan ketegangan yang bisa mengarah pada eskalasi lebih lanjut.
Namun, China juga menegaskan bahwa mereka akan mengambil tindakan balasan yang belum disebutkan rinciannya, yang kemungkinan akan mulai berlaku dalam waktu dekat.
Kebijakan tarif tersebut jelas memberikan dampak negatif bagi ekonomi global, khususnya bagi negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor seperti China. Dalam pernyataan resmi, Kementerian Keuangan dan Perdagangan China mengungkapkan rencana untuk mengajukan gugatan terhadap kebijakan tarif tersebut di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sementara itu, di dalam negeri, perkembangan ini memberikan tekanan tambahan terhadap rupiah yang sudah terpengaruh oleh kondisi ekonomi global. Ketidakpastian yang timbul akibat kebijakan perdagangan ini berpotensi memengaruhi sentimen pasar terhadap mata uang Indonesia.
Apalagi, dengan adanya data inflasi yang terus meningkat di AS, yang tercatat lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Desember lalu, ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga AS yang tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama semakin memperburuk situasi.
Semua faktor ini berkontribusi pada pelemahan rupiah terhadap dolar AS, yang mencerminkan ketidakpastian pasar global dan dampaknya pada ekonomi Indonesia. Jika ketegangan perdagangan terus berlanjut, nilai tukar rupiah dan pasar keuangan domestik mungkin akan terus menghadapi volatilitas, yang mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia dalam waktu dekat.
Sejak awal, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memang diprediksi akan mengalami penurunan signifikan pada. Penurunan ini terjadi setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan baru yang menaikkan tarif bea masuk impor terhadap Meksiko, Kanada, dan China.
Kurs rupiah tercatat melemah 152 poin atau 0,93 persen, diperdagangkan di level Rp16.456 per dolar AS pada pukul 12.00 WIB, dibandingkan dengan penutupan pada Jumat, 31 Januari 202 di level Rp16.304 per dolar AS.
Keputusan Trump yang menandatangani perintah untuk menaikkan tarif bea masuk sebesar 25 persen terhadap barang-barang impor dari Meksiko dan Kanada, serta bea 10 persen terhadap barang-barang dari China, menjadi pemicu utama fluktuasi ini.
Tindakan tersebut memicu respons cepat dari Kanada yang mengenakan tarif balasan sebesar 25 persen terhadap barang-barang Amerika Serikat senilai USD 155 miliar. Meksiko juga tidak tinggal diam, meskipun belum merinci tindakan balasan mereka.
Di sisi lain, China, yang menjadi target utama dalam kebijakan ini, belum melakukan eskalasi langsung, meski mereka telah mengkritik kebijakan tarif tersebut.
Menurut Rully Arya Wisnubroto, Chief Economist dan Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, dampak dari perang dagang yang semakin memanas dapat menyebabkan ketidakpastian ekonomi dan pasar global.
Potensi eskalasi yang lebih jauh dari kebijakan tarif ini dapat memperburuk pertumbuhan ekonomi global dan meningkatkan inflasi, yang pada gilirannya akan mendorong pasar untuk beralih ke aset-aset yang dianggap lebih aman seperti dolar AS dan emas.
Ketegangan yang terjadi ini tidak hanya menjadi tekanan bagi rupiah, tetapi juga memberikan tantangan besar bagi Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Pasar mata uang berisiko menghadapi lebih banyak tekanan, dan BI diperkirakan harus terus melakukan kebijakan stabilisasi untuk menghindari pelemahan lebih lanjut.
Dengan ketidakpastian yang melingkupi prospek ekonomi global, ruang untuk pemulihan rupiah dalam waktu dekat terlihat semakin sempit.
Kondisi ini mencerminkan dampak langsung dari ketegangan perdagangan internasional yang memengaruhi nilai tukar mata uang emerging markets, termasuk rupiah, yang rentan terhadap sentimen global.
Ke depan, pasar mungkin akan terus dihantui oleh potensi dampak lanjutan dari kebijakan perdagangan proteksionis ini, yang berpotensi memperburuk ketidakpastian global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.(*)