Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Naik Tipis, Dibayangi Ancaman Tarif AS

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 31 January 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Redaksi
Harga Minyak Naik Tipis, Dibayangi Ancaman Tarif AS

KABARBURSA.COM - Harga minyak naik tipis pada Kamis, 30 Januari 2025, di tengah bayang-bayang ancaman tarif Amerika Serikat (AS) terhadap impor minyak mentah dari Kanada dan Meksiko yang dapat berlaku akhir pekan ini.

Berdasarkan data Reuters, yang dikutip Jumat, 31 Januari 2024, kontrak berjangka Brent ditutup naik 29 sen, atau 0,4 persen, menjadi USD76,87 per barel. Sementara itu, kontrak berjangka minyak mentah AS berakhir di USD72,73 per barel, naik 11 sen atau 0,2 persen lebih tinggi dibandingkan hari Rabu, 29 Januari 2025 ketika harga mencapai level terendah tahun ini sejauh ini.

Sebagaimana diketahui, Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif 25 persen pada ekspor minyak dari Kanada dan Meksiko ke AS secepatnya pada Sabtu, 1 Februari 2025, kecuali kedua negara tersebut menghentikan pengiriman fentanyl melintasi perbatasan AS.

"Kita semakin mendekati tenggat waktu, dan orang-orang mulai gugup," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.

Gedung Putih pada Selasa, 29 Januari 2025, telah menegaskan kembali rencana Trump untuk menerapkan tarif tersebut. Sementara itu, calon Menteri Perdagangan AS menyatakan bahwa Kanada dan Meksiko dapat menghindari tarif jika mereka segera menutup perbatasan mereka terhadap fentanyl.

Namun, analis pasar dari IG, Tony Sycamore, mengatakan bahwa para pedagang telah memperhitungkan dampak tarif Trump: "(Ini adalah) alasan utama mengapa harga minyak mentah berada di level saat ini."

Pasokan Minyak dan OPEC

Badai musim dingin yang melanda AS pekan lalu berdampak pada permintaan, dengan stok minyak mentah AS meningkat 3,5 juta barel akibat pengurangan produksi oleh kilang. Analis sebelumnya memperkirakan peningkatan sebesar 3,2 juta barel, menurut jajak pendapat Reuters.

Di sisi pasokan, sanksi terbaru AS terhadap Moskow memperketat ekspor minyak mentah dari pelabuhan barat Rusia. Ekspor minyak dari wilayah tersebut diperkirakan turun 8 persen  pada Februari dibandingkan dengan rencana Januari, seiring dengan peningkatan aktivitas kilang di Moskow, menurut para pedagang dan perhitungan Reuters.

Investor juga menantikan pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, yang dijadwalkan pada 3 Februari.

Kelompok ini akan membahas upaya Trump untuk meningkatkan produksi minyak AS serta mengambil sikap bersama mengenai isu tersebut, kata Kazakhstan.

Trump telah menyerukan OPEC dan anggotanya yang paling berpengaruh, Arab Saudi, untuk menurunkan harga minyak, dengan alasan bahwa hal tersebut dapat mengakhiri konflik di Ukraina. Ia juga telah menetapkan agenda untuk memaksimalkan produksi minyak dan gas di AS, yang sudah menjadi produsen terbesar di dunia dan mencapai rekor tertinggi.

Namun, para analis percaya bahwa perang harga antara AS dan OPEC+ tidak mungkin terjadi karena dapat merugikan kedua belah pihak.

"Perang harga dengan AS akan membuat produsen OPEC+ memaksimalkan output mereka guna menekan harga dan menyebabkan produksi minyak serpih AS menurun," kata analis di BMI, sebuah divisi dari Fitch Group, dalam sebuah catatan.

Harga Minyak Turun Kemarin

Harga minyak turun pada Rabu, 29 Januari 2025, dengan patokan minyak AS mencapai level terendah tahun ini, setelah stok minyak mentah domestik di negara produsen dan konsumen minyak terbesar di dunia meningkat lebih dari yang diperkirakan minggu lalu.

Kontrak berjangka Brent ditutup turun 91 sen, atau 1,2 persen, menjadi USD76,58 per barel. Kontrak berjangka minyak mentah AS turun USD1,15, atau 1,6 persen, menjadi USD72,62 per barel, harga penutupan terendah sepanjang tahun ini.

Stok minyak mentah di AS naik 3,46 juta barel minggu lalu akibat penurunan konsumsi oleh kilang untuk minggu ketiga berturut-turut, menurut data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA).

Analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan kenaikan sebesar 3,19 juta barel.

Giovanni Staunovo, menulis kepada klien pada hari Rabu bahwa perdagangan minyak dalam jangka pendek kemungkinan akan tetap bergejolak karena investor masih mencerna ancaman tarif, sanksi terhadap aliran energi Rusia, dan kekhawatiran pertumbuhan ekonomi di negara-negara konsumen utama.

"Mengingat banyaknya ketidakpastian yang ada, kami pikir pendekatan yang hati-hati masih diperlukan," tulis Staunovo.

Kekhawatiran terhadap pasokan sedikit mereda setelah Perusahaan Minyak Nasional Libya (NOC) mengatakan pada hari Selasa bahwa aktivitas ekspor berjalan normal setelah mereka mengadakan pembicaraan dengan para pengunjuk rasa yang sebelumnya menuntut penghentian aktivitas bongkar muat di salah satu pelabuhan minyak utama negara itu.

"Pasokan dari Libya tetap menjadi risiko karena negara itu masih terlibat dalam perang saudara, tetapi untuk saat ini, risikonya telah diminimalkan sementara," kata analis StoneX, Alex Hodes. (*)