KABARBURSA.COM – Pengamat Pasar Modal, Ibrahim Assuabi menilai, penurunan saham-saham infrastruktur di Indonesia tidak ada kaitannya dengan masa 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang telah bergabung blok ekonomi Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS).
Menurutnya, fokus utama pemerintah saat ini adalah menjalankan program makan bergizi gratis. Penurunan saham infrastruktur, kata dia, dipengaruhi oleh faktor eksternal dan kondisi pasar global dan bukan dari dampak keanggotaan Indonesia di BRICS.
“Indonesia sebagai anggota BRICS itu tidak berpengaruh. Kalau infrastruktur itu melemah, ya karena saham-saham berbasis teknologi berguguran. Kemudian di sisi lain pun juga Bank sentral Amerika (The Fed) mempertahankan suku bunga,” kata Ibrahim kepada kabarbursa.com pada Kamis, 30 Januari 2025.
Sebelumnya ada intervensi dari Presiden Amerika Donald Trump terhadap The Fed untuk menurunkan suku bunga. Namun Ketua The Fed, Jerome Powell memilih untuk tetap mempertahankan suku bunga pada kisaran 4,25 persen sampai 4,50 persen.
Dilansir dari laporan keuangan Stockbit pada Kamis, 30 Januari 2025 pukul 13.09 WIB, beberapa saham infrastruktur mengalami penurunan hari ini. Salah satunya PT ADHI Karya Tbk atau dalam kode saham ADHI menunjukkan penurunan sebesar 1,79 persen dengan harga tercatat pada 220 per lembar saham pada perdagangan hari ini.
Pergerakan harga saham ADHI dalam jangka waktu sehari mencatatkan variasi di kisaran harga 228 hingga 218, dengan tren turun yang cukup signifikan di sesi perdagangan ini.
Begitu juga dengan saham PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) juga mencatatkan penurunan sebesar 1,76 persen atau 6 poin ke level 334.
Ada juga saham PT Wijaya Karya Persero Tbk atau dalam kode saham WIKA mencatatkan pelemahan dalam perdagangan hari ini, turun 2,56 persen atau 6 poin ke level 228.
Penyebab Pelemahan di Sektor Konstruksi
Ibrahim menjelaskan, salah satu faktor utama pelemahan ini adalah kebijakan Donald Trump di Amerika Serikat yang mendorong swasembada energi, termasuk eksplorasi besar-besaran minyak, gas, dan batu bara.
“Dengan membanjirnya suplai energi di pasar global, harga komoditas menjadi tertekan, sementara perekonomian dunia, terutama Tiongkok, masih menghadapi ketidakpastian di sektor properti dan keuangan,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat The Fed yang mempertahankan suku bunga juga mendorong penguatan indeks dolar dan kenaikan imbal hasil obligasi, sehingga investor cenderung mengalihkan dana mereka dari saham, terutama di sektor infrastruktur yang padat modal.
“Intervensi dari Trump terhadap Bank Sentral AS agar menurunkan suku bunga turut membuat pasar bergejolak. Hal ini berdampak pada melemahnya saham-saham secara global, termasuk di Indonesia,” ucap dia.
Dari sisi domestik, Ibrahim menilai bahwa dalam seratus hari pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo lebih berfokus pada program sosial dan peningkatan konsumsi masyarakat, seperti makan gratis bagi siswa sekolah.
Sementara itu, proyek infrastruktur besar, termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, masih dalam tahap peninjauan kembali dan akan dilanjutkan secara bertahap pada 2028.
“Pemerintah saat ini lebih memprioritaskan penguatan daya beli masyarakat melalui stimulus sosial, bukan percepatan proyek infrastruktur. Ini yang menyebabkan saham-saham konstruksi kurang diminati investor dalam jangka pendek," ujar dia.
Minimnya arus investasi asing yang masuk juga turut menjadi faktor yang menekan pergerakan saham infrastruktur. Meski demikian, Ibrahim menilai bahwa kondisi ini masih dalam batas wajar sebagai bagian dari dinamika pasar yang dipengaruhi oleh faktor domestik dan global.
"Bahwa pemerintah saat ini dalam 100 hari itu tidak fokus terhadap pembangunan atau infrastruktur. Fokusnya adalah bagaimana konsumsi masyarakat ini kembali berjalan. Ini dengan cara apa. Menggelontorkan stimulus, bantuan sosial, BLT (bantuan langsung tunai) dan lain-lain, serta makan sehat," katanya.
Pasar saham juga dianggap selalu berfluktuasi dan untuk sektor infrastruktur, pemulihannya diprediksi akan terlihat setelah ada kejelasan lebih lanjut terkait investasi dan kebijakan pemerintah ke depan.
Ancaman AS Terhadap Anggota BRICS
Meski penurunan saham di sektor konstruksi bukan karena BRICS, namun Ibrahim mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump diprediksi bakal ancaman bagi anggota BRICS.
“Trump kemungkinan akan melakukan proteksi terhadap ekonominya dengan cara perang dagang. Ini sebenarnya yang membuat dolar menguat cukup tajam,” jelasnya.
Ibrahim menilai, keberanian Indonesia bergabung dengan BRICS, meski harus membayar biaya keanggotaan yang signifikan, mencerminkan langkah strategis pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa ancaman sanksi dari Amerika terhadap negara-negara yang menggunakan mata uang lokal di BRICS dapat menjadi tantangan besar di masa depan.
“Prabowo Subianto berani membawa Indonesia masuk BRICS pada kondisi seperti sekarang, meskipun nantinya, jika Trump benar-benar menjadi presiden, ada ancaman sanksi 100 persen terhadap anggota BRICS yang menggunakan mata uang lokal,” tambah Ibrahim.
Meski sempat ada penguatan rupiah, Ibrahim menyoroti bahwa aliran modal asing ke Indonesia belum menunjukkan peningkatan signifikan. Sebaliknya, tekanan terhadap rupiah dan pasar saham domestik masih terjadi, terutama di sektor teknologi dan komoditas seperti minyak mentah yang harganya menurun.
“Kondisi seperti ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh, dan aliran modal asing mengalami pengeluaran. Kalau aliran dana asing keluar, pasti membuat rupiah melemah dan IHSG jatuh,” tegasnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.