KABARBURSA.COM - Saham PT Bank Central Asia Tbk atau BBCA mengalami tekanan signifikan dalam sepekan terakhir, dengan penurunan hampir 5 persen. Hingga penutupan perdagangan pada Jumat, 24 Januari 2025, harga saham BBCA turun 2,60 persen dalam sehari ke level Rp9.350 per lembar.
Koreksi ini memperpanjang tren penurunan selama seminggu terakhir hingga 5,56 persen. Penurunan ini juga membawa BBCA ke posisi terendah dalam enam bulan terakhir.
Salah satu faktor utama yang menekan harga saham BBCA adalah derasnya arus keluar dana asing. Dalam periode 20-24 Januari 2025, BBCA menjadi saham dengan net sell asing terbesar, mencapai Rp2,25 triliun.
Investor institusi global seperti Blackrock, JP Morgan, The Capital Group, dan FMR LLC tercatat mengurangi kepemilikan saham mereka di BBCA.
Blackrock, misalnya, menjual lebih dari 17 juta lembar saham, menurunkan kepemilikannya dari 1,89 miliar lembar saham pada akhir Desember 2024 menjadi 1,87 miliar per 24 Januari 2025. FMR LLC juga melakukan aksi serupa, memangkas kepemilikan sahamnya dari 3,301 miliar lembar menjadi 3,300 miliar lembar. Hal yang sama dilakukan oleh The Capital Group dan JP Morgan, yang juga mengurangi kepemilikan saham mereka di BBCA.
Namun, yang menarik adalah bahwa aksi jual besar-besaran ini terjadi meskipun BBCA baru saja merilis laporan kinerja keuangan 2024 yang solid. Bank swasta terbesar di Indonesia ini membukukan laba bersih Rp54,8 triliun, tumbuh 12,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp36,4 triliun.
Pendapatan bunga bersih tercatat Rp82,3 triliun, meningkat 9,5 persen secara tahunan, sementara pendapatan selain bunga naik 10,2 persen menjadi Rp25,2 triliun.
Penyaluran kredit juga menunjukkan pertumbuhan yang kuat, mencapai Rp922 triliun pada Desember 2024 atau meningkat 13, persen secara tahunan. Kredit korporasi mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 15,7 persen, mencapai Rp426,8 triliun.
Di sisi lain, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di level 1,8 persen, sementara loan at risk (LAR) membaik menjadi 5,3 persen dari sebelumnya 6,9 persen.
Dari sisi penghimpunan dana, BBCA mencatat total dana pihak ketiga sebesar Rp1.134 triliun, dengan pertumbuhan 2,9 persen secara tahunan. Komposisi dana murah atau CASA masih mendominasi dengan nilai Rp924 triliun, tumbuh 4,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan fundamental yang tetap solid meskipun tekanan jual asing masih kuat, banyak investor kini mempertimbangkan apakah ini adalah waktu yang tepat untuk masuk atau justru menunggu hingga sentimen negatif mereda.
Secara historis, saham BBCA selalu menjadi pilihan utama bagi investor jangka panjang karena stabilitas dan prospek pertumbuhannya yang kuat. Namun, dengan tekanan jual asing yang masih berlangsung, investor mungkin perlu mempertimbangkan strategi bertahap dalam mengakumulasi saham ini sambil mencermati perkembangan pasar lebih lanjut.
Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mengalami tekanan signifikan dalam sepekan terakhir, mencatat penurunan hampir 5 persen. Meski fundamentalnya masih kokoh dengan pertumbuhan laba yang solid, derasnya aksi jual asing membuat banyak investor bertanya-tanya, apakah ini saat yang tepat untuk membeli atau justru menunggu lebih lama?
Dari sisi valuasi, saham BBCA kini diperdagangkan dengan Price to Book Value (PBV) di level 4,39 kali, lebih rendah dari rata-rata lima tahunnya di 4,73 kali. Jika menggunakan PBV historis sebagai acuan, harga wajarnya berada di sekitar Rp10.000 per lembar, yang berarti saat ini masih ada diskon sekitar 7 persen.
Namun, diskon harga tidak selalu berarti peluang emas. Aksi jual asing yang masih deras bisa menjadi sinyal bahwa tekanan terhadap saham BBCA belum usai. Jika sentimen negatif terus berlanjut, harga saham ini bisa turun lebih dalam sebelum akhirnya menemukan titik keseimbangan.
Bagi investor yang berorientasi jangka panjang, strategi terbaik bisa berupa cicil beli secara bertahap. Dengan pendekatan ini, investor tetap bisa memperoleh saham BBCA di harga yang relatif murah tanpa terlalu khawatir dengan fluktuasi jangka pendek. Selain itu, strategi averaging down dapat diterapkan jika harga masih turun, sehingga harga beli rata-rata tetap terkendali.
Di sisi lain, menggabungkan analisis fundamental dengan teknikal bisa menjadi kunci untuk mendapatkan entry point yang lebih optimal. Mengamati level support dan resistance dapat membantu investor menghindari membeli terlalu cepat atau terlalu mahal.
Kesimpulannya, meskipun BBCA berada dalam tekanan, prospek jangka panjangnya masih menarik. Bagi yang siap dengan strategi dan manajemen risiko yang baik, momen ini bisa menjadi peluang menarik. Namun, bagi yang lebih konservatif, menunggu konfirmasi pembalikan tren mungkin menjadi pilihan yang lebih bijak.(*)
Disclaimer: Artikel ini bukan untuk mengajak membeli atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisis saham berasal dari analis dari sekuritas yang bersangkutan, sehingga KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.