KABARBURSA.COM - Rencana Presiden Donald Trump untuk mengenakan tarif impor sebesar 10 persen terhadap produk China, bisa berdampak kepada emiten sektor komoditas di Indonesia.
Head of Research Retail MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menjelaskan, kebijakan tersebut memberikan efek pada pasar keuangan global. Kondisi ini terjadi dikarenakan harga barang dan jasa berpotensi mengalami kenaikan.
Menurut dia, Indonesia tak luput dari dampak negatif kebijakan impor tersebut. Pasalnya, China merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.
"Dengan adanya tarif impor yang naik, secara langsung mempengaruhi ekspor Indonesia ke China. Karena ekspor China ke Amerika Serikat ada tarif yang cukup tinggi, berarti akan menurunkan permintaan dari China," kata Herditya acara webinar Kabarbursa.com dengan tema "Peluang Saham di Era Trump 2.0", pada Jumat, 24 Januari.
Dia membeberkan, sektor komoditas di Indonesia berpotensi besar terdampak kebijakan baru Trump. Hal ini terjadi karena ekspor batu bara China ke Indonesia terbilang cukup besar.
"Nah ini akan mempengaruhi sektor komoditas di Indonesia. Dan nanti akan mempengaruhi emiten-emiten komoditas secara kinerja ke depannya seperti apa," terangnya.
Di sisi lain, Herditya menilai kebijakan yang dicanangkan Trump itu bertujuan untuk melindungi kebijakan domestik di Negeri Paman Sam. Tak hanya itu, menurut dia, tujuan lainnya adalah guna menarik kembali dana-dana yang tersebar di luar untuk kembali ke Amerika Serikat.
"Sehingga nanti diharapkan akan menumbuhkan kembali perekonomian di Amerika Serikat" pungkasnya.
Sebelumnya, Trump mengumumkan rencana menerapkan tarif impor sebesar 25 persen untuk Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari. Meski begitu, ia bungkam soal rencana tarif untuk produk dari China.
Dalam sesi penandatanganan perintah eksekutif di Oval Office, Trump menyebut tarif impor sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi domestik. Meski dalam kampanyenya ia mengancam tarif hingga 60 persen untuk China, nada Trump tampak melunak setelah berdiskusi dengan Presiden China Xi Jinping beberapa waktu lalu.
“Kami akan mengadakan pertemuan dan panggilan telepon dengan Presiden Xi,” ujar Trump, dikutip dari AP di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025,
Namun, langkah agresif ini membawa pertanyaan besar, apakah tarif impor dan kebijakan eksekutif lainnya benar-benar mampu mengatasi inflasi dan menurunkan harga energi seperti yang dijanjikan Trump? Pasalnya, beban tarif biasanya berujung pada kenaikan harga barang bagi konsumen domestik, bukan negara eksportir.
Trump menuding inflasi yang melambung selama pemerintahan Joe Biden disebabkan oleh bantuan pandemi senilai USD1,9 triliun pada 2021 dan kebijakan pembatasan pengeboran minyak, meskipun data menunjukkan produksi minyak domestik tetap berada di level tertinggi.
“Krisis inflasi ini akibat pengeluaran besar-besaran yang tidak terkendali,” klaim Trump dalam pidato pelantikannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti dampak kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap inflasi dan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Kebijakan tarif ini diperkirakan akan mempengaruhi prospek ekonomi baik di AS maupun global.
Menurut Sri Mulyani, dampak kebijakan tarif yang dilakukan di AS diperkirakan akan menahan proses penurunan inflasi yang seharusnya terjadi. Inflasi di AS, meskipun diperkirakan tetap terkendali, akan tetap berada pada level yang cukup kuat.
“Dampak kebijakan tarif yang dilakukan di AS diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap proses penurunan inflasi menjadi tertahan. Dengan demikian, inflasi masih diperkirakan pada level kuat,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di kantor pusat Kementrian Keuangan, Jakarta, Jumat 24 Januari 2025.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan tarif ini akan mempengaruhi posisi suku bunga yang diterapkan oleh Federal Reserve (Fed). Dalam kondisi ini, ekspektasi terhadap penurunan suku bunga di AS akan semakin terbatas akibat inflasi yang masih tertahan akibat kebijakan tarif tersebut.
“Ini tentu mempengaruhi posisi dari Fed Fund Rate, kebijakan suku bunga Federal Reserve yang dalam hal ini untuk ekspektasi terjadinya penurunan lebih terbatas,” tambahnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sisi fiskal AS juga diperkirakan akan lebih ekspansif, yang berpotensi mendorong yield Treasury Amerika Serikat, baik untuk tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
“Fiskal AS juga akan lebih ekspansif, ini mendorong yield Treasury Amerika, baik jangka pendek maupun jangka panjang,” jelasnya.
Di sisi lain, ketegangan politik global yang meningkat serta preferensi investor yang masih besar terhadap aset keuangan AS diperkirakan akan menyebabkan indeks mata uang dolar AS berada pada tren yang meningkat. Hal ini akan memberikan tekanan pada mata uang dunia lainnya.
“Ketegangan politik global yang meningkat dan preferensi investor yang masih besar terhadap aset-aset keuangan AS akan menyebabkan indeks mata uang dolar AS berada pada tren yang meningkat dan ini akan memberikan tekanan pada mata uang dunia lainnya,” ungkap Sri Mulyani.(*)