Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Paradoks Trump: Menolak Transgender, tapi Angkat Pejabat LGBTQ ke Kabinet

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 29 January 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Paradoks Trump: Menolak Transgender, tapi Angkat Pejabat LGBTQ ke Kabinet

KABARBURSA.COM - Donald Trump memang selalu punya cara untuk bikin politik AS tetap seru. Belum genap dua minggu menjabat di periode keduanya, mantan presiden ke-45 yang kini kembali ke Gedung Putih ini sudah bikin heboh dengan kebijakan-kebijakan kontroversial.

Di satu sisi, Trump menandatangani serangkaian perintah eksekutif yang menargetkan komunitas transgender, menghapus perlindungan hukum, serta melarang layanan kesehatan afirmatif gender. Namun, hanya berselang seminggu dari kebijakan pertamanya yang membatasi hak transgender, Trump justru menorehkan sejarah dengan mengangkat Scott Bessent sebagai Menteri Keuangan AS—yang notabene adalah pejabat LGBTQ dengan jabatan tertinggi dalam sejarah pemerintahan Amerika.

Gender Hanya Ada Dua

Saat baru beberapa jam kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari 2025, Trump langsung tancap gas dengan menandatangani perintah eksekutif yang secara hukum hanya mengakui dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Perintah ini otomatis menghapus kategori gender X di paspor AS dan membuat banyak transgender dan nonbiner harus memilih identitas yang tidak sesuai dengan ekspresi gender mereka.

Kemudian, pada 28 Januari 2025, Trump kembali mengeluarkan kebijakan yang makin mempersempit ruang bagi komunitas transgender. Kali ini, ia menandatangani perintah eksekutif yang melarang pendanaan federal untuk layanan kesehatan afirmatif gender bagi orang di bawah usia 19 tahun. Dengan kata lain, Medicaid dan TRICARE—asuransi kesehatan bagi keluarga militer—tidak lagi menanggung biaya terapi hormon atau pengobatan transisi gender lainnya.

Trump menyebut kebijakan ini sebagai langkah untuk “melindungi anak-anak dari prosedur yang mengubah hidup mereka secara drastis.” Bahkan, dalam perintah eksekutif itu, layanan kesehatan afirmatif gender disebut dengan istilah kasar seperti “mutilasi” dan “sterilisasi”. Trump juga mendesak Departemen Kehakiman untuk menuntut rumah sakit dan dokter yang tetap memberikan layanan ini kepada remaja transgender.

Kebijakan ini langsung menuai protes dari berbagai organisasi hak sipil dan kelompok medis. Asosiasi Medis Amerika (AMA) serta Akademi Pediatri Amerika menegaskan terapi afirmatif gender berbasis bukti justru melindungi kesehatan mental dan fisik remaja transgender, serta mengurangi risiko depresi dan bunuh diri. “Sungguh tidak adil menjadikan kehidupan orang-orang sebagai alat politik dan mencabut hak transgender muda, keluarga mereka, serta dokter mereka untuk membuat keputusan medis yang penting,” kata Presiden Human Rights Campaign, Kelley Robinson.

Menteri Keuangan AS yang Gay dan Punya Suami

Tapi belum habis kejutan dari Trump. Hanya sehari sebelum menandatangani perintah eksekutif anti-transgender, Senat AS pada 27 Januari 2025 mengonfirmasi Scott Bessent sebagai Menteri Keuangan AS. Penunjukkan ini menjadikannya pejabat LGBTQ dengan posisi tertinggi dalam sejarah pemerintahan AS.

Pemungutan suara di Senat berakhir dengan hasil 68-29 yang memastikan miliarder hedge fund ini menduduki salah satu kursi kabinet terpenting di AS. Yang menarik, Bessent adalah gay yang menikah dengan seorang pria berprofesi jaksa di Kota New York, John Freeman, dan memiliki dua anak dari program ibu pengganti (surrogacy). Selama sidang konfirmasinya di Senat, Freeman dan kedua anak mereka hadir untuk memberikan dukungan.

“Kalau di tahun 1984, saat kami lulus dari Yale, ada yang bilang kalau 30 tahun ke depan saya akan menikah secara sah dan punya dua anak, saya pasti enggak akan percaya,” kata Bessent dalam sebuah wawancara di majalah alumni Yale, dikutip The Hill di Jakarta, Rabu, 29 Januari 2025.

Langkah Trump ini memunculkan pertanyaan besar. Di satu sisi, ia memimpin pemerintahan yang paling agresif dalam membatasi hak transgender. Di sisi lain, ia justru memilih seorang pria gay sebagai Menteri Keuangan. Jadi, apakah ini hanya paradoks atau ada strategi politik di baliknya?

Charles Moran, Presiden Log Cabin Republicans—kelompok konservatif pro-LGBTQ, berpendapat bahwa Trump tidak anti-LGBTQ, hanya saja ia menolak ideologi gender progresif yang dianggapnya berlebihan. “Dia hanya ingin orang-orang terbaik dan paling kompeten untuk duduk di kabinetnya, tanpa peduli jenis kelamin, gender, atau orientasi seksual mereka,” kata Moran.

Trump memang punya sejarah menarik dengan komunitas LGBTQ. Pada periode pertamanya, ia menunjuk Richard Grenell sebagai Direktur Intelijen Nasional sementara—menjadikannya pejabat Kabinet pertama yang secara terbuka gay. Selain itu, ia juga baru-baru ini mengangkat Tammy Bruce, seorang penyiar konservatif lesbian, sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri.

Di sisi lain, Human Rights Campaign dan kelompok aktivis LGBTQ lainnya tetap melihat pemerintahan Trump sebagai ancaman bagi hak-hak mereka.

“Donald Trump dan Gedung Putih-nya adalah ancaman bagi hak, kebebasan, dan kehidupan komunitas LGBTQ,” kata Kelley Robinson, seraya menyoroti kebijakan Trump yang terus menggencarkan Project 2025, yakni program konservatif yang bertujuan membentuk ulang kebijakan AS, termasuk dengan mempersempit hak-hak LGBTQ.

Dengan kebijakan yang semakin konservatif, tetapi kabinet yang semakin beragam, Trump sedang mengukir jejak yang unik dalam sejarah politik AS. Akankah ia tetap menekan hak transgender sambil tetap merangkul figur-figur LGBTQ yang sejalan dengan kebijakannya? Apakah Bessent dan pejabat LGBTQ lainnya di kabinet Trump bisa menjadi jembatan antara komunitas mereka dan pemerintahan yang konservatif ini?(*)