KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali naik di awal perdagangan, tapi tetap tertekan di tengah sentimen risk-off di pasar global dan ancaman tarif dari Presiden AS Donald Trump. Minyak mentah Brent menguat 0,6 persen ke USD76,65 per barel (sekitar Rp1,22 juta), sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 0,6 persen ke USD73,64 per barel (sekitar Rp1,18 juta). Kenaikan ini terjadi setelah keduanya anjlok lebih dari 2 persen di sesi perdagangan sebelumnya.
Analis ING dalam catatannya mengatakan pasar komoditas ikut terseret aksi jual besar-besaran di pasar saham. “Pasar komoditas tidak luput dari aksi jual besar-besaran yang melanda pasar saham, sementara ancaman tarif baru hanya semakin memperburuk sentimen investor,” katanya dikutip dari Wall Street Journal di Jakarta, Kamis 29 Januari 2025.
Ancaman perang dagang global kembali mencuat setelah Trump mengisyaratkan kebijakan tarif baru terhadap mitra dagang utama AS. Ancaman ini diyakini bisa menggerus permintaan energi global.
Tak cukup dengan itu, pada Senin lalu, Trump juga disebut-sebut berencana mengenakan tarif pada chip impor, obat-obatan, dan beberapa jenis logam, yang membuat dolar AS makin perkasa. Kondisi ini makin menambah tekanan pada harga minyak karena penguatan dolar membuat harga minyak yang diperdagangkan dalam dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli non-AS.
Sementara itu, di Libya, aksi protes lokal sempat menghambat aktivitas pengapalan minyak di pelabuhan Es Sider dan Ras Lanuf pada Selasa kemarin. Hal ini lantas mengancam ekspor sekitar 450 ribu barel per hari. Tapi, kepanikan mereda setelah perusahaan minyak negara, National Oil Corp, memastikan ekspor masih berjalan normal setelah berdialog dengan para demonstran.
“Pasar sempat mengantisipasi gangguan pasokan dari Libya, tapi setelah dikonfirmasi tidak ada gangguan, premi risiko langsung lenyap,” kata analis komoditas dari UBS, Giovanni Staunovo, dikutip dari Consumer News and Business Channel. Meski begitu, ia mengingatkan ancaman gangguan baru masih bisa muncul di masa depan.
Di China, kabar tak sedap datang dari sektor manufaktur. Data aktivitas manufaktur Januari yang dirilis Senin kemarin menunjukkan kontraksi tak terduga yang langsung menekan harga minyak. “Sentimen pasar yang sudah waspada ditambah data PMI China yang lemah makin menimbulkan keraguan soal prospek permintaan minyak China,” ujar analis dari IG, Yeap Jun Rong.
Situasi makin pelik setelah AS memberlakukan sanksi terbaru terhadap perdagangan minyak Rusia. Analis FGE memperkirakan kilang-kilang di Shandong bakal kehilangan pasokan hingga 1 juta barel per hari dalam waktu dekat, menyusul larangan dari Shandong Port Group terhadap kapal tanker yang terkena sanksi AS.
Beberapa kilang independen di China bahkan sudah menghentikan operasi atau bersiap melakukan perawatan tanpa batas waktu, akibat kebijakan tarif dan pajak baru yang makin menekan keuntungan mereka.
Sementara itu di AS, cuaca yang lebih hangat dari biasanya pekan ini mengurangi permintaan bahan bakar pemanas, setelah sebelumnya suhu ekstrem sempat memicu reli harga gas alam dan solar. Menurut analis dari Panmure Liberum, Ashley Kelty, pasar minyak masih dalam kondisi gelisah. “Butuh waktu sebelum kita benar-benar bisa melihat dampak dari kebijakan tarif dan sanksi AS,” katanya.
Harga minyak sebelumnya sempat anjlok hampir dua persen ke level terendah dalam dua pekan pada Senin, 27 Januari 2025. Penurunan ini dipicu oleh kabar bahwa startup China, DeepSeek, berhasil mengembangkan model kecerdasan buatan (AI) berbiaya rendah, yang menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya permintaan energi untuk mendukung pusat data.
Berdasarkan data Reuters, harga minyak mentah Brent terpangkas USD1,42 (Rp22.720) atau 1,8 persen ke USD77,08 (Rp1,23 juta) per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS terkoreksi USD1,49 (Rp23.840) atau 2,0 persen, menjadi USD73,17 (Rp1,17 juta) per barel. Brent kini berada di titik terendah sejak 9 Januari, sedangkan WTI mencatat harga terendah sejak 2 Januari.
Sebelum berita tentang DeepSeek muncul, harga minyak sudah diperdagangkan lebih rendah akibat data ekonomi yang lemah dari China dan kekhawatiran bahwa tarif yang diusulkan Presiden AS Donald Trump dapat semakin menekan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Asisten AI milik DeepSeek, startup asal China , melampaui pesaingnya dari AS, ChatGPT, menjadi aplikasi gratis dengan rating tertinggi di App Store milik Apple di AS. Hal ini memunculkan keraguan di antara para investor yang sebelumnya telah mengucurkan dana ke perusahaan energi AS dengan harapan bahwa AI akan mendorong permintaan energi untuk pusat data.
“Model DeepSeek dilaporkan lebih efisien dalam penggunaan energi dan modal sehingga memunculkan pertanyaan atas proyeksi permintaan listrik yang signifikan di AS,” kata analis di Jefferies, sebuah bank investasi, dalam laporannya. Mereka pun mencatat AI menyumbang sekitar 75 persen dari keseluruhan proyeksi permintaan AS melalui 2030-2035 dalam sebagian besar perkiraan.(*)