KABARBURSA.COM - Saham PT Abadi Nusantara Hijau Investama Tbk (PACK) menjadi sorotan di pasar modal Indonesia setelah mencatat kenaikan luar biasa sebesar 2.664 persen dalam tiga bulan terakhir.
Data perdagangan menunjukkan saham PACK melesat 9 persen secara rata-rata sepanjang Januari 2025, dengan lonjakan bulanan mencapai 235,71 persen. Lonjakan tersebut membuat saham ini sering masuk ke papan pemantauan khusus oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Lonjakan harga saham PACK memicu beberapa kali suspensi sepanjang 2024. Bahkan, pada Januari 2025, saham tersebut ditransaksikan dengan skema full-hybrid auction (FCA) dan akhirnya dihentikan sementara bersama waran seri I (PACK-W) pada 18 Januari 2025.
Salah satu pendorong kenaikan luar biasa ini adalah berakhirnya masa perdagangan Waran Seri I pada 7 Februari 2025. Sebelum kedaluwarsa, investor didorong untuk menebus waran tersebut menjadi saham. Hal ini meningkatkan permintaan di pasar, di mana harga PACK-W telah melonjak sebesar 13.292,86 persen sejak debutnya tiga tahun lalu. Setelah 7 Februari, waran ini tidak akan lagi diperdagangkan di BEI.
Transformasi besar pada struktur dan fokus bisnis menjadi latar belakang pergerakan saham PACK. Setelah diakuisisi oleh Deng Weiming, salah satu taipan terkaya asal China yang juga Chairman & Presiden CNGR Advanced Materials, perusahaan ini menggeser orientasi usahanya dari industri plastik ke sektor nikel.
CNGR Advanced Materials dikenal sebagai pemain besar dalam industri pengolahan nikel untuk komponen baterai lithium, menjadikan perubahan ini sebagai langkah strategis untuk memanfaatkan permintaan global yang terus meningkat akan bahan baku baterai.
Proyeksi kinerja keuangan PACK mencerminkan optimisme besar atas transformasi ini. Pendapatan perusahaan diperkirakan melonjak drastis dari Rp50 miliar menjadi Rp5,3 triliun pada 2025, sementara laba bersihnya diharapkan naik dari Rp5 miliar menjadi Rp346 miliar.
Perubahan skala bisnis yang signifikan ini menunjukkan potensi besar PACK sebagai pemain utama di sektor tambang dan pengolahan nikel.
PACK saat ini memiliki empat anak usaha yang memperkuat posisinya dalam industri. Tiga di antaranya—PT Adhi Prakasa Raya, PT Gemilang Padma Raya, dan PT Sumber Cahaya Raya—berfokus pada investasi di sektor nikel. Sementara itu, PT Awal Kemuliaan Indonesia bergerak dalam perdagangan logam dan bijih logam.
Sinergi antara unit bisnis tersebut dirancang untuk memastikan kelancaran operasional dan mendukung ambisi besar PACK di sektor ini.
Transformasi bisnis dan dukungan strategis dari pemegang saham baru menciptakan peluang besar bagi PACK di masa depan. Kombinasi antara pertumbuhan permintaan global untuk bahan baku baterai dan rencana bisnis yang ambisius memberikan harapan bahwa perusahaan ini dapat menjadi salah satu emiten terkemuka di sektor tambang dan mineral Indonesia.
Namun, lonjakan volatilitas harga saham mengingatkan para investor untuk tetap berhati-hati dan mencermati potensi risiko di tengah pertumbuhan yang luar biasa.
Tetapi, belakangan pemerintah berencana mengurangi pasokan bijih nikel pada tahun ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM mengusulkan pengurangan kuota produksi hingga 45 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pengurangan pasokan bijih nikel ini diambil lantaran telah terjadi kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan dari China. Sementara, harga nikel telah anjlok sebesar 45 persen pada 2023 dan 7 persen pada 2024.
Untuk tahun ini, rencananya pemerintah akan menetapkan kuota produksi bijih nikel sebesar 150 juta ton. Kuota tersebut jauh lebih rendah dari kuota pada 2024, yaitu sebesar 272 juta ton. Biasanya, kuota produksi bijih nikel ditentukan berdasarkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), yang saat ini masih dalam tahap evaluasi.
Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa terdapat 831 permintaan kuota untuk periode 2024-2026. Dari jumlah tersebut, 336 telah disetujui, 225 disetujui tanpa produksi, 262 ditolak, 6 masih dalam proses evaluasi, dan 2 menunggu tanggapan.
Jika rencana ini terwujud, dampaknya terhadap pasar global cukup signifikan. Berdasarkan penelitian Macquarie Group, pengurangan produksi ini berpotensi memotong sekitar 35 persen dari total pasokan global. Hal ini diharapkan dapat memicu kenaikan harga nikel secara global, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar dunia.
Namun, potensi kenaikan harga ini juga bisa membawa risiko bagi smelter nikel, karena mereka memanfaatkan bijih nikel sebagai bahan baku utama. Kekurangan pasokan bijih berpotensi meningkatkan biaya produksi smelter, yang sebelumnya telah menghadapi tantangan besar.
Kondisi ini juga mendorong Indonesia untuk mengimpor bijih nikel dari Filipina dalam jumlah yang cukup besar. Pada tahun 2023, impor mencapai sekitar 374 ribu ton, meningkat drastis dibandingkan dengan tahun 2021 dan 2022 yang nyaris tanpa impor.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.