KABARBURSA.COM – Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyoroti langkah Presiden Prabowo Subianto di sektor energi selama 100 hari masa kerjanya. Fahmy menilai belum ada capaian konkret yang diraih dalam sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) selama periode tersebut.
“Prabowo baru sebatas menyatakan komitmen untuk mencapai swasembada energi dalam 4-5 tahun mendatang melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT),” ujar Fahmy dalam keterangan yang dikutip Kabarbursa.com, Senin, 27 Januari 2025.
Namun, Fahmy mengkritisi bahwa kebijakan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan visi swasembada energi yang diusung Prabowo.
Ia menyoroti kebijakan Bahlil yang fokus pada peningkatan lifting minyak dan produksi batu bara sebagai langkah yang mencederai komitmen pengembangan EBT.
“Strategi Bahlil untuk menggenjot lifting minyak dan produksi batu bara ini bertolak belakang dengan tujuan Prabowo dalam mendorong transisi ke energi bersih,” imbuh Fahmy.
Selain itu, Fahmy juga mengkritik inisiatif DPR yang memberikan konsesi pertambangan kepada perguruan tinggi, yang dinilai justru mempercepat eksploitasi batu bara, alih-alih mendorong pengembangan EBT.
“Kalau Prabowo membiarkan kebijakan Bahlil dan DPR berlanjut, maka komitmennya soal energi tidak lebih dari sekadar omong kosong,” tegas Fahmy.
Fahmy mengingatkan, tanpa sinkronisasi kebijakan antara kementerian terkait dan komitmen nyata untuk mendukung transisi energi, cita-cita swasembada energi yang digadang-gadang Prabowo hanya akan menjadi wacana tanpa realisasi.
Prospek Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia diprediksi tetap cerah. Meski demikian, sektor ini diperkirakan masih akan menghadapi beberapa tantangan besar pada 2025. Analis pasar modal Stocknow.id, Abdul Haq Alfaruqy, mengatakan salah satu hambatan terbesar yang akan dihadapi adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap potensi besar yang dimiliki sektor EBT di tanah air.
“Saat ini kesadaran masyarakat masih minim terhadap potensi EBT terhadap dampak positif jangka panjang yang akan dirasakan,” kata Abdul kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 25 Januari 2025.
Selain soal kesadaran publik, Abdul mengatakan keberlanjutan subsidi untuk bahan bakar fosil yang diberikan pemerintah menjadi salah satu penghalang utama dalam pengembangan energi terbarukan. Alih-alih mempercepat transisi energi, subsidi ini justru malah meningkatkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
Soal pendanaan, Abdul menilai masih ada kesenjangan yang jauh untuk EBT dibanding energi fosil. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam merealisasikan target net zero emission pada 2060.
Sebelumnya, energi baru terbarukan diproyeksikan akan terus mengalami pertumbuhan signifikan hingga kuartal pertama 2025. Abdul mengatakan perkembangan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menarik investasi sebesar Rp1.900 triliun hingga Rp2.200 triliun pada tahun ini.
“Di mana sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menjadi salah satu prioritas utama,” katanya.
Abdul menjelaskan optimalisasi sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, angin, panas bumi, dan bioenergi direncanakan untuk mendorong peningkatan investasi sekaligus membuka peluang baru di sektor energi bersih. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, juga memperluas portofolio energi baru terbarukan dengan memasukkan hidrogen, amonia, dan nuklir ke dalam daftar energi yang dikembangkan.
Menurut Abdul, langkah ini selaras dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. Sebab itu, ia menilai sektor energi terbarukan masih memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan di tahun 2025.
Selain itu, ia juga mencatat investasi di sektor ini menunjukkan pertumbuhan menjanjikan hingga akhir 2024. Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi di subsektor EBTKE pada 2024 mencapai Rp24,03 triliun. “Tetapi, angka ini masih berada di bawah target yang ditetapkan sebesar USD2,6 miliar,” kata Abdul.
Abdul mengatakan pemerintah Indonesia aktif masih cukup aktif menarik investasi asing di sektor energi terbarukan. Pada November 2024, misalnya, Indonesia dan China menandatangani kesepakatan senilai USD10 miliar yang berfokus pada energi hijau dan teknologi.
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, investasi di sektor EBTKE di Indonesia mencapai USD1,5 miliar, atau sekitar Rp23,3 triliun, atau tumbuh sebesar +3,1 persen Year on Year.
Perubahan iklim telah menjadi pendorong utama bagi banyak negara di dunia untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential mencatat tahun 2023 sebagai tonggak penting, di mana investasi global di sektor energi terbarukan melampaui energi fosil. Kapasitas pertumbuhan energi terbarukan mencapai hampir 50 persen atau sekitar 510 GW sehingga menjadikannya laju tercepat dalam dua dekade terakhir.
Namun, laporan tersebut menyimpulkan Indonesia belum mampu mengikuti tren ini. Selama tujuh tahun terakhir, investasi energi terbarukan di Tanah Air cenderung stagnan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, investasi energi terbarukan pada 2023 hanya mencapai USD1,5 miliar (sekitar Rp22,8 triliun) dengan tambahan kapasitas baru sebesar 574 MW.
Jika menilik data, Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil. Dari 2018 hingga 2023, tambahan kapasitas listrik nasional mencapai 21 GW, di mana 18,4 GW berasal dari energi fosil dan hanya 3,2 GW dari energi terbarukan. Investasi untuk sektor minyak, gas, serta batu bara masih mendominasi, sementara energi baru dan terbarukan belum menjadi prioritas.
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, potensi energi terbarukan Indonesia, khususnya tenaga surya dan angin, sangat besar. Sayangnya, potensi tersebut belum termanfaatkan optimal. Pada 2023, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya Indonesia hanya bertambah 574 MW dari total potensi 3.293 GW—setara 0,017 persen.(*)