KABARBURSA.COM - Dolar dan pasar keuangan global mengalami gejolak setelah pidato Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Kamis, 23 Januari 2025. Dalam pidatonya, Trump menyerukan penurunan suku bunga global dan memberikan peringatan terkait tarif impor.
Namun, ketidakjelasan mengenai langkah-langkah tarif yang akan diambil, menimbulkan volatilitas yang signifikan pada dolar AS.
Dolar AS, yang telah mengalami tekanan selama seminggu terakhir, kembali melemah pada perdagangan kemarin. Penurunan ini didorong oleh kekecewaan pasar terhadap absennya pengumuman tarif konkret dari Trump setelah pelantikannya.
Dolar turun lebih dari 1 persen selama sepekan, sebagian besar akibat penurunan tajam pada hari Senin, 20 Januari 2025.Meski demikian, greenback sempat mengalami pergerakan fluktuatif sepanjang Kamis kemarin. Hal ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga lebih lanjut.
Komentar Trump yang menuntut dunia menurunkan suku bunga, menjadi perhatian utama para pelaku pasar. Meski kerap menyinggung tarif dalam pidatonya, Trump enggan memberikan rincian, sehingga menciptakan ketidakpastian di pasar valuta asing.
Para analis menyebut ketidakpastian ini sebagai pemicu volatilitas, terutama di tengah ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter oleh beberapa bank sentral utama.
Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan memangkas suku bunga dalam pertemuan pekan depan, dengan probabilitas mencapai 96 persen. Begitu pula dengan Federal Reserve dan Bank of Japan yang dijadwalkan untuk mengumumkan kebijakan mereka dalam waktu dekat.
Fokus utama pasar adalah arah kebijakan suku bunga global, yang dipandang sebagai indikator utama kondisi ekonomi dan nilai mata uang di pasar internasional.
Pada Kamis, Indeks Dolar (DXY), yang mengukur performa dolar terhadap sekeranjang enam mata uang utama, turun 0,19 persen menjadi 108,06. Euro mengalami penguatan tipis 0,14 persen terhadap dolar.
Sementara, yen Jepang naik 0,33 persen. Peso Meksiko dan poundsterling juga mencatat kenaikan masing-masing 0,92 persen dan 0,31 persen, mencerminkan pelemahan greenback yang meluas.
Di sisi lain, ekonomi Amerika menunjukkan sinyal stabilitas. Data terbaru menunjukkan peningkatan ringan pada aplikasi tunjangan pengangguran, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan lapangan kerja tetap kuat.
Meski demikian, pasar tetap waspada terhadap potensi dampak kebijakan perdagangan Trump, termasuk ancaman tarif 10 persen pada barang impor dari China yang rencananya akan diberlakukan pada Februari.
Pemerintah China juga merespons dinamika global dengan rencana untuk menyalurkan investasi besar dari perusahaan asuransi negara ke pasar saham domestik, yang diproyeksikan memperkuat yuan dan pasar keuangan mereka.
Ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan perdagangan AS dan prospek pelonggaran moneter global diperkirakan akan terus memengaruhi pasar dalam beberapa waktu ke depan. Investor akan mencermati keputusan kebijakan dari Bank of Japan, Federal Reserve, dan ECB, yang masing-masing dapat memberikan arah baru bagi pasar keuangan.
Meskipun dolar tengah melemah, namun rupiah menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan nilainya di tengah dominasi dolar Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden ke-47 Donald Trump.
Direktur Riset Bidang Keuangan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Etika Karyani, menilai perjalanan mata uang Garuda di tahun-tahun mendatang akan diwarnai ketidakpastian, terutama dengan kebijakan ekonomi proteksionisme yang terus menjadi fokus utama Trump.
Dalam paparan ekonomi sektoral CORE Indonesia, Kamis, 23 Januari 2025, Etika mengungkapkan bahwa performa rupiah kemungkinan besar akan tetap melemah selama tahun 2025. Memori periode kepresidenan pertama Trump, dari 2017 hingga 2021, menjadi pelajaran penting di mana mata uang Indonesia mengalami penurunan signifikan.
Meski Indonesia memiliki cadangan devisa yang memadai, langkah tersebut tidak cukup kuat untuk menahan tekanan eksternal yang dipicu oleh kekuatan dolar AS sebagai safe haven global.
Trump dikenal dengan pendekatan ekonomi "America First", yang mengedepankan proteksionisme perdagangan dan kebijakan agresif terhadap negara-negara lain. Kebijakan ini, menurut CORE Indonesia, menjadi ancaman langsung bagi stabilitas ekonomi global, terutama negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor.
Dengan dolar terus menjadi aset yang aman bagi investor, rupiah pun menghadapi kesulitan untuk keluar dari bayang-bayang kekuatan mata uang AS.
Meskipun Bank Indonesia telah melakukan upaya untuk mendorong ekspansi investasi melalui penurunan suku bunga, langkah ini diperkirakan tidak akan cukup untuk menahan arus penguatan dolar. Selain itu, ketidakpastian di pasar global juga turut membebani rupiah, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap mata uang lokal.
Etika menyebutkan bahwa target penguatan rupiah hingga mencapai Rp10.000 per dolar AS adalah sebuah ambisi yang sulit terwujud dalam waktu dekat. Perlu upaya strategis yang lebih mendalam, baik dari kebijakan fiskal maupun moneter, untuk memperkuat daya tahan rupiah.
Namun, dengan risiko global yang terus meningkat akibat proteksionisme AS dan ketergantungan pasar pada dolar, pelemahan nilai tukar Indonesia diprediksi akan terus membayangi hingga tahun 2025.
Dalam skenario ini, CORE Indonesia menekankan perlunya langkah mitigasi yang lebih proaktif dari pemerintah untuk melindungi ekonomi domestik dari dampak goncangan eksternal. Penguatan kerjasama internasional, diversifikasi pasar ekspor, dan peningkatan daya saing di tingkat global menjadi elemen kunci yang harus diupayakan untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah tantangan global.(*)