KABARBURSA.COM - Lebih dari setengah perusahaan Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di China mengungkapkan kekhawatiran mereka akan potensi memburuknya hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia. Hal ini terungkap dalam hasil survei tahunan yang dirilis Kamar Dagang Amerika (AmCham) di China pada Kamis, 23 Januari 2025.
Sebanyak 51 persen responden survei menyatakan kekhawatiran terhadap kemungkinan penurunan hubungan antara AS dan China di masa depan. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Survei ini muncul hanya beberapa hari setelah Presiden Donald Trump resmi memulai masa jabatan keduanya. Meski tak menyebut nama China dalam pidatonya, ancaman peningkatan tarif perdagangan terhadap impor China yang ia gaungkan sebelum-sebelumnya tetap menjadi kekhawatiran banyak pihak.
"Hubungan yang stabil dan konstruktif, berbasis pada ikatan ekonomi dan perdagangan, sangat penting tidak hanya untuk kemakmuran kedua negara tetapi juga untuk stabilitas ekonomi global," kata Ketua AmCham China, Alvin Liu, dikutip dari Reuters di Jakarta, Kamis, 23 Januari 2025.
Menurut laporan AmCham. ketegangan geopolitik, ketidakpastian kebijakan, dan perselisihan perdagangan menjadi kekhawatiran utama bisnis Amerika di China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, turut menanggapi hasil survei ini. "Saya rasa ini menunjukkan pentingnya menjaga hubungan China-AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan," ujarnya dalam konferensi pers rutin, hari ini.
Ia pun berharap AS dapat bertemu China di tengah jalan dan mendorong hubungan bilateral kembali ke jalur pembangunan yang sehat dan stabil.
Survei ini melibatkan 368 perusahaan anggota AmCham China dan dilakukan antara Oktober dan November tahun lalu. Sebagiannya dilakukan setelah Trump menang dalam pemilu presiden pada 5 November.
Masa jabatan Trump sebelumnya ditandai dengan perang dagang AS-China serta memburuknya hubungan diplomatik yang juga tidak banyak membaik selama empat tahun kepemimpinan Presiden Joe Biden.
Pada Selasa lalu, Trump mengatakan pemerintahannya tengah mempertimbangkan penerapan tarif hukuman sebesar 10 persen pada impor China mulai 1 Februari perihal peran China dalam rantai pasokan global fentanyl.
Meski demikian, hampir separuh responden masih menempatkan China sebagai salah satu dari tiga prioritas investasi global utama, serupa dengan tahun lalu. Namun, proporsi perusahaan yang tidak lagi menjadikan China sebagai tujuan investasi utama meningkat tiga poin persentase menjadi 21 persen dari survei tahun lalu—lebih dari dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.
Sekitar sepertiga bisnis juga melaporkan perlakuan tidak adil di China dibandingkan dengan perusahaan lokal, terutama soal akses pasar dan pengadaan publik. Angka ini tetap sama seperti tahun lalu.
[caption id="attachment_111815" align="alignnone" width="1600"] Tarif Donald Trump ancam pabrik mobil global. (Foto: Reuters)[/caption]
Kekhawatiran akan dampak kebijakan Donald Trump terhadap hubungan bilateral AS-China ternyata tidak hanya dirasakan oleh pelaku bisnis di sektor umum, tetapi juga mulai merambah ke sektor spesifik seperti otomotif. Ketegangan geopolitik yang terus memanas, disertai dengan ancaman perang dagang, memunculkan berbagai spekulasi tentang bagaimana industri otomotif global—terutama antara AS dan China—akan terpengaruh oleh kebijakan proteksionis Trump.
Hal ini menjadi perhatian utama oleh pengamat otomotif, Yannes Martinus Pasaribu. Ia menyoroti potensi perubahan signifikan dalam prioritas teknologi kendaraan di kedua negara.
Yannes menjelaskan terpilihnya Trump cenderung mendorong AS untuk lebih memprioritaskan kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE), mengingat Presiden AS ke-47 tersebut dikenal sebagai pendukung energi fosil. Di sisi lain, China semakin berfokus pada transisi ke kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) dengan target ambisius mencapai 45 persen dari total penjualan kendaraan baru pada tahun 2025.
Yannes pun memperkirakan produsen otomotif asal China akan mengalihkan perhatian mereka ke pasar Asia Tenggara. Langkah ini akan dibarengi dengan pemindahan investasi otomotif China ke Indonesia sebagai pusat produksi di pasar ASEAN. “Hal ini meningkatkan persaingan bagi produsen otomotif Jepang yang sangat mendominasi pasar mobil di Indonesia selama puluhan tahun,” ujarnya kepada KabarBursa.com, Rabu, 22 Januari 2025.
Yannes mengatakan Indonesia bisa mengambil peluang dari perang dagang antara China dan AS melalui kebijakan yang tepat. Peluang tersebut, kata dia, dapat memperkuat industri otomotif nasional jangka panjang. Ia pun menyarankan agar pemerintah tetap konsisten menjalankan kebijakan BEV yang telah ditetapkan.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.