KABARBURSA.COM – Upaya pemerintah untuk menarik aliran dana ke dalam negeri semakin intensif. Terutama menghadapi derasnya capital outflow yang terus menghantui pasar keuangan domestik. Pasar ekuitas yang menjadi cerminan kekuatan ekonomi Indonesia, mencatat Foreign Net Sell sebesar Rp26 triliun sepanjang tahun lalu. Tren negatif ini berlanjut di 16 hari pertama tahun 2025, dengan aliran keluar tambahan sekitar Rp2-3 triliun dari pasar saham.
Tekanan likuiditas juga diperburuk oleh penerimaan pajak 2024 yang berada di bawah target. Dalam merespons situasi ini, pemerintah mulai menggulirkan wacana Tax Amnesty jilid 3. Kebijakan ini dirancang sebagai langkah strategis untuk menarik kembali dana besar yang terdeteksi “diparkir” di luar negeri. Menurut laporan PPATK, sebanyak Rp7.000 triliun uang asal Indonesia tercatat mengalir ke negara lain sepanjang 2024.
Head of Research NH Korindo Liza Camelia mengungkapkan bahwa fenomena ini mencerminkan lemahnya daya tarik pasar dalam negeri bagi investor. “Pemerintah harus menciptakan kebijakan yang mampu menahan arus modal keluar, baik melalui peningkatan insentif maupun reformasi struktural yang lebih konkret,” tuturnya seperti dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 16 Januari 2025.
Ia menambahkan, pemanfaatan Tax Amnesty menjadi langkah potensial untuk mengembalikan kepercayaan dan membawa dana besar kembali ke dalam negeri.
Singapura tercatat sebagai destinasi utama aliran dana tersebut, menyerap Rp4.800 triliun, disusul Amerika Serikat sebesar Rp1.400 triliun, sementara sebagian lainnya mengalir ke China. Liza menilai, keanggotaan Indonesia di kelompok BRICS dapat menjadi katalis penting. "Langkah ini diharapkan memperluas jaringan perdagangan dan meningkatkan peringkat kredit, yang pada akhirnya dapat mendorong investasi asing masuk," jelasnya.
Keputusan bergabungnya Indonesia dalam BRICS juga menjadi strategi untuk menciptakan ekosistem investasi yang lebih stabil dan memperkuat posisi Indonesia di kancah global. “Namun, pemerintah perlu memastikan bahwa berbagai kebijakan yang diambil tidak hanya memperbesar kolam investasi, tetapi juga memberikan kepastian hukum yang lebih kuat untuk investor,” tambah Liza.
Pemerintah optimis langkah-langkah ini dapat mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi domestik, meski tantangan besar masih membayangi stabilitas perekonomian.
Langkah mengejutkan Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga acuan BI7DRR kemarin menjadi cerminan perlambatan nyata ekonomi domestik. Pemangkasan ini dianggap wajar dalam kondisi saat ini, meskipun menimbulkan pertanyaan terkait waktu pelaksanaannya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengambil langkah pre-emptive sebelum data CPI Amerika Serikat dirilis secara resmi. Beruntung, angka Core CPI yang keluar di bawah konsensus membuka peluang Federal Reserve untuk kembali ke kebijakan dovish. Namun, dampaknya pada rupiah tak bisa diabaikan. Mata uang domestik terpuruk di level Rp16.300, jauh lebih lemah dibanding September 2024 ketika langkah serupa diambil saat rupiah berada di kisaran Rp15.300-Rp15.200.
Menurut, Head of Research NH Korindo Liza Camelia, keputusan ini menunjukkan bahwa BI mencoba mengantisipasi tekanan ekonomi yang kian berat. "Penurunan suku bunga ini adalah langkah untuk meringankan beban ekonomi, terutama di tengah lesunya permintaan domestik dan tekanan global yang makin kuat. Namun, risiko pada stabilitas nilai tukar rupiah harus menjadi perhatian serius," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis 16 Januari 2025.
Pemangkasan suku bunga tampak seperti langkah terpaksa demi mendorong likuiditas dan memacu aktivitas ekonomi. Suku bunga rendah diharapkan dapat menurunkan biaya pinjaman, mendorong korporasi dan masyarakat untuk meningkatkan pengajuan kredit, baik untuk ekspansi bisnis maupun konsumsi pribadi.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertahan di level 5 persen ditopang oleh belanja konsumen dan pemerintah. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen serta paket insentif di awal tahun menjadi langkah nyata pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Namun, perbankan menghadapi tantangan besar. Penyaluran kredit terancam terganggu oleh penyusutan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan kewajiban menyerap obligasi negara yang diproyeksikan membanjiri pasar demi mendukung berbagai program ambisius pemerintah. Salah satu program yang menjadi perhatian adalah “Makan Bergizi Gratis” dari Kementerian Pangan. Program ini membutuhkan tambahan anggaran hingga Rp140 triliun agar dapat berjalan hingga akhir tahun, mengingat alokasi awal Rp70 triliun diperkirakan habis pada Juli.
Liza menjelaskan tekanan likuiditas di perbankan juga semakin terlihat. "Bank kini menghadapi dilema antara memenuhi kewajiban pendanaan pemerintah dan memperluas kredit. Ini menjadi tantangan besar untuk memastikan stabilitas sektor keuangan tetap terjaga," jelasnya.
Di sisi lain, proyek pembangunan tiga juta rumah semakin tidak jelas arah dan pelaksanaannya. Ketidakpastian skema dan tujuan proyek ini menambah daftar pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah.
Kondisi ekonomi yang penuh tantangan ini, menurut Liza, membutuhkan sinergi kuat antara kebijakan moneter dan fiskal. "Jika tidak ada koordinasi yang baik, risiko pada stabilitas ekonomi akan semakin besar," pungkasnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.