KABARBURSA.COM - Langkah mengejutkan Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga acuan BI7DRR kemarin menjadi cerminan perlambatan nyata ekonomi domestik. Pemangkasan ini dianggap wajar dalam kondisi saat ini, meskipun menimbulkan pertanyaan terkait waktu pelaksanaannya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengambil langkah pre-emptive sebelum data CPI Amerika Serikat dirilis secara resmi. Beruntung, angka Core CPI yang keluar di bawah konsensus membuka peluang Federal Reserve untuk kembali ke kebijakan dovish. Namun, dampaknya pada rupiah tak bisa diabaikan. Mata uang domestik terpuruk di level Rp16.300, jauh lebih lemah dibanding September 2024 ketika langkah serupa diambil saat rupiah berada di kisaran Rp15.300-Rp15.200.
Menurut, Head of Research NH Korindo Liza Camelia, keputusan ini menunjukkan bahwa BI mencoba mengantisipasi tekanan ekonomi yang kian berat. "Penurunan suku bunga ini adalah langkah untuk meringankan beban ekonomi, terutama di tengah lesunya permintaan domestik dan tekanan global yang makin kuat. Namun, risiko pada stabilitas nilai tukar rupiah harus menjadi perhatian serius," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis 16 Januari 2025.
Pemangkasan suku bunga tampak seperti langkah terpaksa demi mendorong likuiditas dan memacu aktivitas ekonomi. Suku bunga rendah diharapkan dapat menurunkan biaya pinjaman, mendorong korporasi dan masyarakat untuk meningkatkan pengajuan kredit, baik untuk ekspansi bisnis maupun konsumsi pribadi.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertahan di level 5 persen ditopang oleh belanja konsumen dan pemerintah. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen serta paket insentif di awal tahun menjadi langkah nyata pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Namun, perbankan menghadapi tantangan besar. Penyaluran kredit terancam terganggu oleh penyusutan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan kewajiban menyerap obligasi negara yang diproyeksikan membanjiri pasar demi mendukung berbagai program ambisius pemerintah. Salah satu program yang menjadi perhatian adalah “Makan Bergizi Gratis” dari Kementerian Pangan. Program ini membutuhkan tambahan anggaran hingga Rp140 triliun agar dapat berjalan hingga akhir tahun, mengingat alokasi awal Rp70 triliun diperkirakan habis pada Juli.
Liza menjelaskan tekanan likuiditas di perbankan juga semakin terlihat. "Bank kini menghadapi dilema antara memenuhi kewajiban pendanaan pemerintah dan memperluas kredit. Ini menjadi tantangan besar untuk memastikan stabilitas sektor keuangan tetap terjaga," jelasnya.
Di sisi lain, proyek pembangunan tiga juta rumah semakin tidak jelas arah dan pelaksanaannya. Ketidakpastian skema dan tujuan proyek ini menambah daftar pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah.
Kondisi ekonomi yang penuh tantangan ini, menurut Liza, membutuhkan sinergi kuat antara kebijakan moneter dan fiskal. "Jika tidak ada koordinasi yang baik, risiko pada stabilitas ekonomi akan semakin besar," pungkasnya.
Bank Indonesia kembali mengambil langkah strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi dengan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 5,75 persen. Keputusan ini diumumkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 14-15 Januari 2025.
Penurunan sebesar 25 basis poin ini, menurut Perry, sejalan dengan upaya memastikan inflasi tetap terkendali sesuai target dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam pengumumannya, BI juga menyesuaikan suku bunga untuk fasilitas perbankan lainnya.
Suku bunga Deposit Facility diturunkan menjadi 5,00 persen, sementara Lending Facility kini berada di level 6,50 persen. Langkah ini diambil sebagai bentuk konsistensi kebijakan moneter yang bertujuan menjaga inflasi di sasaran 2,5±1 persen pada tahun 2025 dan 2026.
Perry menjelaskan, keputusan tersebut didukung oleh proyeksi inflasi yang tetap rendah, nilai tukar rupiah yang stabil sesuai dengan fundamental ekonomi, serta kebutuhan untuk meningkatkan momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi salah satu fokus utama dalam kebijakan ini. Perry menekankan bahwa BI akan terus mencermati dinamika yang berkembang di pasar valuta asing untuk memastikan nilai tukar tetap terkendali, guna mendukung pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan mempertahankan fokus pada fundamental ekonomi, BI mengupayakan agar kebijakan yang diambil dapat merespons perubahan kondisi global maupun nasional secara adaptif.
Langkah BI ini mencerminkan sikap optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia ke depan. Selain memberikan ruang tambahan bagi sektor ekonomi untuk bergerak lebih dinamis, kebijakan ini juga menunjukkan kepercayaan BI terhadap kestabilan ekonomi domestik meskipun tantangan global terus membayangi.
Perry menegaskan, BI akan terus mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar sambil tetap membuka peluang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.(*)