KABARBURSA.COM – Nilai tukar rupiah kembali menghadapi tekanan signifikan akibat revisi ekspektasi penurunan suku bunga The Fed.
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan, meski The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25 persen hingga 4,5 persen pada Desember 2024, arus keluar modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, tetap terjadi.
“Ini disebabkan oleh penyesuaian ekspektasi bahwa The Fed hanya akan menurunkan suku bunga dua kali pada 2025, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya empat kali. Penyesuaian ini dipicu oleh inflasi AS yang masih tinggi di level 2,7 persen pada November 2024,” ungkap Riefky dalam keterangan resmi, Rabu, 15 Januari 2025
Tekanan terhadap inflasi AS juga diperkirakan meningkat seiring dengan kebijakan pemerintahan Donald Trump yang akan datang. Rencana penerapan tarif yang lebih luas serta kebijakan imigrasi yang lebih ketat menjadi faktor yang mendorong The Fed bersikap lebih hati-hati beberapa bulan mendatang.
Kehati-hatian tersebut terlihat dari notulen Federal Opte Market Committee (FOMC) yang dirilis pada awal Januari menunjukkan sikap antisipatif terhadap risiko inflasi.
Hal ini turut memperkuat posisi dolar AS, tercermin dari kenaikan Indeks DXY menjadi 109,17 pada 10 Januari 2025, naik 2,6 persen dibandingkan pada sebelumnya.
Riefky menekankan bahwa penguatan dolar AS memberikan tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah.
“Dalam kondisi ini, Indonesia harus lebih waspada terhadap potensi pelemahan mata uang yang bisa memengaruhi stabilitas ekonomi makro, khususnya dalam hal impor dan utang luar negeri,” ujarnya.
Rupiah Sempat Menguat
Mata uang rupiah menunjukkan performa kuat dengan kenaikan 55 poin ke level Rp16.142 pada penutupan perdagangan sore ini, setelah sebelumnya sempat menguat hingga 65 poin.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menjelaskan, penguatan ini didorong oleh faktor eksternal dan internal yang memberikan sentimen positif bagi pasar.
Salah satu faktor eksternal yang mendukung penguatan rupiah adalah pelemahan dolar AS. Ibrahim menyoroti pernyataan Gubernur Federal Reserve (The Fed), Lisa Cook, yang menyebutkan bahwa The Fed akan berhati-hati dalam mengambil langkah untuk memangkas suku bunga lebih jauh. Cook juga menegaskan bahwa ekonomi AS tetap stabil dengan inflasi yang lebih kuat dari perkiraan.
“Berbagai pembuat kebijakan Fed dijadwalkan untuk berbicara minggu ini, dan kemungkinan akan menggemakan komentar terbaru dari pejabat Fed lainnya bahwa masih ada kebutuhan untuk memerangi tingkat inflasi yang membandel,” jelas Ibrahim dalam keterangannya, Selasa 7 Januari 2024.
Selain pernyataan The Fed, volatilitas pasar juga dipengaruhi oleh laporan dari Washington Post. Laporan tersebut menyebutkan bahwa para pembantu Donald Trump sedang mempertimbangkan rencana tarif yang hanya akan diterapkan pada sektor-sektor tertentu yang dianggap penting untuk keamanan nasional atau ekonomi AS. Hal ini sedikit meredakan kekhawatiran pasar terhadap penerapan tarif yang lebih luas.
“Hanya pada sektor-sektor yang dianggap penting bagi keamanan nasional atau ekonomi AS, meredakan kekhawatiran tentang pungutan yang lebih keras dan lebih luas,” ungkap dia.
Namun, laporan tersebut dibantah oleh Donald Trump. Presiden terpilih AS itu menegaskan komitmennya untuk memberlakukan tarif impor tinggi sebagai langkah memperkuat dominasi perdagangan AS, terutama terhadap Tiongkok.
Ibrahim juga mencatat bahwa ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan global Trump sempat membuat dolar melemah ke level terendah dalam satu minggu sebelum akhirnya mampu menutup sebagian besar kerugiannya.
“Dolar merosot ke level terendah dalam satu minggu setelah laporan tersebut, tetapi berhasil menutup sebagian besar kerugian internal,” jelas dia.
Di sisi lain, faktor internal yang mendukung penguatan rupiah adalah masuknya Indonesia ke dalam BRICS, yang memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Menurut Ibrahim, keputusan bergabung dengan BRICS akan memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi global, terutama di hadapan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
“Pasar merespon positif bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi ekonomi besar di Asia, yang perlu dimanfaatkan dengan mengambil langkah-langkah strategis. Keputusan untuk bergabung dengan BRICS juga disebut meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata OECD, yang selama ini sering memposisikan Indonesia kurang setara dengan negara lain.
Ibrahim menambahkan bahwa tren dedolarisasi yang digaungkan oleh BRICS akan berlangsung secara alami seiring melemahnya dominasi ekonomi AS. Namun, ia menilai dedolarisasi ini lebih mungkin terjadi dalam lingkup perdagangan antar anggota BRICS, daripada menggantikan sepenuhnya sistem keuangan global seperti SWIFT.
“Peran ekonomi AS di dunia, meskipun akan tetap penting, cenderung menurun akibat munculnya kekuatan baru seperti China, India, Rusia, Brasil, Meksiko, atau bahkan Indonesia,” tambahnya. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.