KABARBURSA.COM - Baru lima hari melantai di Bursa Efek Indonesia atau BEI melalui Initial Publik Offering (IPO), saham properti KSIX (Kentanix Supra International Tbk) terjun bebas. Dari paparan data Stockbit, hingga 10 Januari 2025 harga saham anjlok hingga 35,69 persen.
Meskipun di awal pekan ini, 13 Januari 2025, harga saham KSIX naik 1,23 persen atau setara dengan 4 poin, namun penurunan harga saham yang signifikan pasca penawaran umum perdana (IPO) menjadi perhatian BEI.
Sebagai emiten properti dan real estate yang baru mencatatkan sahamnya pada 8 Januari 2025, KSIX langsung menarik minat pasar. Namun, pergerakan sahamnya yang tak terduga menimbulkan pertanyaan besar mengenai prospek bisnis dan pengelolaan keuangan perusahaan.
Pada debut perdana, saham KSIX sempat menyentuh batas auto reject atas (ARA) dengan kenaikan harga 25 persen, dari harga IPO Rp452 menjadi Rp565 per saham. Sayangnya, tren tersebut tidak bertahan lama.
Di hari kedua perdagangan, saham KSIX justru mengalami penurunan tajam hingga batas auto reject bawah (ARB), merosot ke level Rp424 per saham. Kondisi semakin memburuk hingga hari ini, di mana harga saham hanya bertahan di Rp330, turun lebih dari 28 persen dari harga IPO.
Untuk investor yang membeli pada puncak harga Rp565, kerugian yang dirasakan telah mencapai 42 persen.
Kondisi ini menjadi perhatian khusus BEI, agar tidak menimbulkan kerugian bagi investor.
Saat IPO kemarin, KSIX berhasil meraih dana segar sebesar Rp144,9 miliar dengan melepas 15 persen dari total saham perusahaan. Sebagian besar dana, yakni sekitar 59,42 persen, digunakan sebagai modal kerja untuk mendukung operasional perusahaan.
Sementara itu, sekitar 27,84 persen dana dialokasikan untuk menyetor modal kepada anak perusahaan, PT SPB, yang akan digunakan untuk proyek infrastruktur seperti perataan tanah (cut and fill) serta pembangunan rumah. Namun, alokasi dana ini tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan sejauh ini.
Dalam laporan keuangan per Juni 2024, KSIX mencatatkan kerugian sebesar Rp4,20 miliar. Angka ini mengalami peningkatan dari kerugian Rp3,25 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa perusahaan masih berjuang untuk mencapai profitabilitas.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran, terutama di tengah tantangan dalam industri properti yang menghadapi tekanan akibat kondisi ekonomi makro.
Struktur kepemilikan saham KSIX memperlihatkan dominasi oleh PT Badra Arta yang memegang 69,22 persen saham, diikuti oleh PT Panca Muara Jaya (13,86 persen), PT Batu Kencana Indah (12,55 persen), dan PT Kalindo Land (4,37 persen).
Adapun pihak pengendali utama perusahaan mencakup Franciscus Bing Aryanto, Gerda Veronica, Khouw Lip Swan, Maria Karmila, Poppy Hadiman S, dan Theresia Harsini. Menariknya, beberapa dari nama ini juga merupakan penerima manfaat utama dari PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), emiten terkemuka di sektor farmasi.
Menghadapi kondisi yang tidak stabil ini, BEI mengeluarkan status Unusual Market Activity (UMA) untuk saham KSIX. Hal ini menjadi peringatan bagi investor agar lebih waspada, terutama dalam memperhatikan kinerja, keterbukaan informasi, dan rencana aksi korporasi perusahaan yang masih menunggu persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Situasi ini memberikan pelajaran penting bagi investor untuk tidak hanya terfokus pada momentum debut di pasar modal, tetapi juga mendalami fundamental dan prospek bisnis emiten secara keseluruhan. Keputusan investasi perlu didasarkan pada analisis menyeluruh serta mempertimbangkan berbagai risiko yang mungkin muncul di masa mendatang.
Untuk saham KSIX, pemantauan lebih lanjut terhadap perkembangan perusahaan dan respons manajemen terhadap tantangan yang ada akan menjadi kunci dalam menilai potensi investasi jangka panjang.
Saat ini, sektor properti memang diperkirakan belum bisa bangkit. Seperti disampaikan Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas, sektor ini masih tergerus sentimen negatif kenaikan PPN sebesar 1 persen, menjadi 12 persen.
Kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025, Sukarno melihat kondisi suku bunga belum akan turun dan hal ini akan menjadi faktor penghambat bisnis sektor properti.
“Kondisi suku bunga yang diperkirakan masih membutuhkan waktu untuk bisa turun dengan pertimbangan dampak kebijakan Trump dapat membuat the Fed bersikap hawkish dan diikuti oleh BI (Bank Indonesia). Inilah yang membuat konsumen lebih menahan diri untuk sektor properti,” jelas Sukarno.
Akan tetapi, Sukarno memandang bisnis ini masih berpeluang terdorong oleh insentif PPN DTP yang diperpanjang hingga 2025.
“Rekomendasi jangka panjang cenderung wait and see, untuk jangka menengah bisa hold untuk CTRA 1050 dan BSDE 960,” ujar dia.(*)
Disclaimer: Artikel ini bukan untuk mengajak, membeli, atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisa saham berasal dari analisis atau sekuritas yang bersangkutan, dan Kabarbursa.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian investasi yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.