KABARBURSA.COM - Sektor properti diperkirakan belum akan mengalami penguatan di awal tahun 2025. Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas, memperkirakan sektor ini masih tergerus oleh sentimen negatif kenaikan PPN sebesar 1 persen, menjadi 12 persen.
Kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025, Sukarno melihat kondisi suku bunga belum akan turun dan hal ini akan menjadi faktor penghambat bisnis sektor properti.
"Kondisi suku bunga yang diperkirakan masih membutuhkan waktu untuk bisa turun dengan pertimbangan dampak kebijakan Trump dapat membuat the Fed bersikap hawkish dan diikuti oleh BI (Bank Indonesia). Inilah yang membuat konsumen lebih menahan diri untuk sektor properti," jelas Sukarno.
Akan tetapi, Sukarno memandang bisnis ini masih berpeluang terdorong oleh insentif PPN DTP yang diperpanjang hingga 2025. Dia juga mengatakan, terdapat emiten properti yang bisa menjadi rekomendasi para investor di tengah sentimen negatif, salah satunya adalah PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
"Rekomendasi jangka panjang cenderung wait and see, untuk jangka menengah bisa hold untuk CTRA 1050 dan BSDE 960," ujar dia.
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suratno, mengapresiasi kebijakan pemerintah yang memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Kebijakan ini merupakan bagian dari paket stimulus ekonomi menjelang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025.
Joko mengungkapkan bahwa pemberian diskon PPN DTP 100 persen yang telah diterapkan sebelumnya terbukti efektif meningkatkan penjualan properti hingga 40 persen. Ia menilai kebijakan ini sangat relevan dalam mendukung program pembangunan 3 juta rumah yang diusung pasangan Prabowo-Gibran.
“Ini langkah yang sangat positif, terutama untuk mendukung program 3 juta rumah dari Pak Prabowo. Saat ini, sektor properti masih menghadapi tantangan besar dibandingkan sektor lain yang sudah mulai pulih,” ujar Joko usai menghadiri Dialog Program 3 Juta Rumah bersama BP Tapera di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Ia optimistis stimulus ini dapat memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan industri properti pada 2025, terutama mengingat adanya kenaikan tarif PPN serta daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
“Perpanjangan diskon PPN ini adalah angin segar yang sangat diperlukan. Kebijakan ini tidak hanya memberikan keringanan bagi masyarakat, tetapi juga berkontribusi dalam mengurangi backlog perumahan yang saat ini masih mencapai 9,9 juta unit,” ujarnya.
Joko mengungkapkan bahwa pada tahun sebelumnya, diskon PPN DTP berhasil mendorong penjualan rumah hingga 35-40 persen.
“Dengan kondisi daya beli yang masih rendah, insentif ini sangat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli rumah baru,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan perpanjangan insentif PPN DTP sebagai bagian dari stimulus ekonomi pemerintah. Insentif ini berlaku untuk pembelian rumah dengan harga jual hingga Rp5 miliar.
Menurut Airlangga, skema PPN DTP 100 persen akan diberlakukan untuk pembelian rumah dengan nilai sampai Rp2 miliar, sementara untuk pembelian hingga Rp5 miliar, insentif berlaku sebesar Rp2 miliar pertama. Kebijakan ini berlaku mulai Januari hingga Juni 2025, kemudian diskon 50 persen akan diberlakukan untuk periode Juli hingga Desember 2025.
“Kebijakan ini ditujukan bagi masyarakat kelas menengah, dengan harapan dapat meningkatkan daya beli di sektor properti,” ujar Airlangga, Senin, 16 Desember 2024.
Di sisi lain, Head of Research Colliers Indonesia Ferry Salanto, menilai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang mewah tidak akan berdampak signifikan pada penjualan properti di Indonesia.
Menurutnya, jumlah properti yang masuk dalam kategori barang mewah dengan harga di atas Rp30 miliar masih terbatas. Segmen pasarnya pun, kata Ferry, juga masih kecil. Karakteristik konsumen rumah di atas Rp30 miliar juga berbeda jauh dari konsumen kelas menengah ke bawah.
“Kalau kita lihat, objek PPN 12 persen ini hanya untuk hunian mewah, secara umum tidak terlalu banyak dampak. Karena pertama, kalau kita bicara hunian mewah itu jumlahnya sangat sedikit sekali,” ujarnya dalam Media Briefing virtual, Rabu, 8 Januari 2025.
Ferry menyebut rumah dengan harga di atas Rp30 miliar masuk dalam kategori “very luxury”. Sementara rumah yang tergolong “luxury” biasanya berada di kisaran harga Rp10-15 miliar untuk kategori real estate.
“Kalau di atas Rp30 miliar itu biasanya individual houses. Pasarnya memang sangat sedikit. Jadi, kalau kita bicara pengaruh ke serapan, tidak ada, karena memang beda market,” tambahnya.
Menurut Ferry, segmen pasar ini sebenarnya tidak menjadi masalah besar. Pasalnya, bagi orang yang memiliki kemampuan finansial, keterbatasan stok justru membuat properti tersebut semakin eksklusif.
“Segmen market ini sebetulnya tidak terlalu jadi issue karena kalau bagi orang yang punya duit dengan ini stok sedikit sehingga jadi barang yang eksklusif, kalau mereka mau beli, mereka akan beli,” tambahnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.