KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kepesertaan Indonesia dalam kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) dapat memperkuat hubungan Indonesia tidak hanya dengan China, tetapi juga dengan negara-negara besar lain seperti Brasil, Afrika Selatan, serta negara-negara di Timur Tengah. Menurutnya, Indonesia sebaiknya tidak hanya melihat BRICS sebagai platform untuk mempererat hubungan dengan China semata.
“Pemerintah harus melihat potensi besar dalam hubungan Indonesia dengan Brasil terkait ekonomi restoratif dan dengan Afrika Selatan yang fokus pada pengembangan transisi energi bersih. Jika terlalu pro-China, keanggotaan Indonesia di BRICS akan sia-sia karena kita sudah terlalu dominan dalam hubungan ekonomi dengan China,” ujar Bhima, saat dihubungi Kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 9 Januari 2025.
Bhima menambahkan bahwa aliansi BRICS sendiri belum tentu memberikan keuntungan signifikan bagi Indonesia. Ia mengingatkan bahwa ekonomi China, yang merupakan anggota terbesar dalam BRICS, diproyeksikan akan melambat, terlebih dengan kemungkinan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS yang berpotensi memicu kebijakan proteksionisme perdagangan. Hal ini bisa mengurangi dampak positif dari keterlibatan Indonesia dalam BRICS.
“China sedang menghadapi tantangan besar dalam perekonomiannya, dan jika tren ini berlanjut, Indonesia bisa merasakan dampaknya. Terlebih jika kebijakan proteksionisme dagang kembali diberlakukan setelah pemilu AS, ekonomi Indonesia bisa tertekan,” lanjutnya.
Namun, di sisi lain, Bhima juga menyoroti bahwa bergabungnya Indonesia dengan BRICS berpotensi memberikan Indonesia peran penting dalam menciptakan keseimbangan kekuatan global. Beberapa pengamat berpendapat bahwa BRICS bisa menjadi alternatif untuk menyeimbangkan dominasi negara-negara G7 yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang.
Sebagai anggota baru BRICS, Indonesia memiliki peluang untuk memperkuat solidaritas negara-negara Global South dalam menghadapi hegemoni Barat yang kerap mendominasi hubungan internasional. Bhima berpendapat bahwa Indonesia bisa mengambil manfaat dari keberadaannya dalam BRICS untuk memperjuangkan posisi negara-negara berkembang dalam agenda ekonomi dan politik global.
“Sebagai bagian dari kelompok BRICS, Indonesia bisa menjadi kekuatan penyeimbang bagi negara-negara G7, terutama dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara Global South. Ini adalah kesempatan untuk mengurangi pengaruh Barat dan mendorong kebijakan yang lebih inklusif,” tandas Bhima.
Meski demikian, Bhima menekankan pentingnya evaluasi yang matang mengenai potensi dampak ekonomi dan politik bagi Indonesia dari keanggotaan BRICS. Pemerintah harus mempertimbangkan semua kemungkinan dan memilih strategi yang dapat memberikan manfaat maksimal bagi kepentingan nasional Indonesia.
Keputusan Indonesia bergabung dalam kelompok ekonomi BRICS mendatangkan keuntungan dan kerugian yang datang bersamaan, baik dari sisi geopolitik dan ekonomi.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, meskipun pemerintah memiliki harapan besar terhadap peluang yang ada, keputusan untuk menjadi anggota BRICS juga memiliki konsekuensi besar.
“Jika dibandingkan dengan risikonya, keputusan ini memperlebar jarak Indonesia secara geopolitik dan mempersempit potensi kerja sama ekonomi dengan negara-negara OECD,” jelas Andri kepada kabarbursa.com, Kamis, 9 Januari 2025.
Meski Indonesia berkomitmen untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara yang masuk ke dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tapi pada kenyataannya, hubungan Indonesia dengan China semakin erat.
“Walaupun Indonesia mengatakan tetap akan bermain dua kaki, dengan perjanjian yang ditandatangani Prabowo sebelumnya, Indonesia sebenarnya sudah semakin melunak dan memberikan berbagai konsesi politik kepada China,” ujar Andri.
Indonesia Tersandera China
Terkait hubungan Indonesia dengan China, Andri menyoroti sikap Indonesia yang mulai melunak terhadap Negeri Tirai Bambu tersebut. Indonesia bahkan mengakui posisi China dalam sengketa maritim di Laut China Selatan. Bahkan, lebih jauh lagi, Indonesia terlibat dalam pengembangan industri perikanan dan gas di wilayah tersebut yang sebelumnya justru dihindari.
“Indonesia juga menandatangani pernyataan untuk membangun komunitas masa depan bersama dengan China, yang membuat Indonesia semakin tersandera dalam kontestasi geopolitik dengan negara-negara Barat dan OECD,” tambahnya.
Di sisi lain, ancaman serius dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan mengusulkan pemberlakuan tarif 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS ketika berani meninggalkan dolar untuk perdagangan internasional.
Meskipun banyak yang meragukan kebijakan ini, Andri menilai langkah tersebut bisa menjadi sinyal kuat dari AS tentang potensi dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.
“Ancaman tarif ini menunjukkan indikasi jelas dari Amerika Serikat bahwa menjadi anggota BRICS dapat berdampak serius terhadap kelangsungan kerja sama ekonomi Indonesia,” jelas Andri.
Implementasi tarif 100 persen tersebut berdampak serius bagi ekonomi Indonesia. Dampak tersebut tidak hanya soal hubungan bilateral dengan AS, tapi juga dampak multilateral yang berpotensi menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.
“Jika tarif ini benar-benar diterapkan, struktur perdagangan Indonesia akan terkompromi, dengan nilai lebih rendah ke pasar alternatif, dan ini pada akhirnya akan semakin memperkuat daya tawar China dalam ekonomi Indonesia,” jelasnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.