KABARBURSA.COM – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan defisit Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mencapai Rp507,8 triliun. Kendati demikian, pemerintah mengklaim kinerja APBN 2024 tetap sehat dan sesuai harapan.
Menaggapi klaim pemerintah terkait APBN 2024, Bright Institute menilai realisasi APBN 2024 justru menunjukkan hasil yang mengecewakan. Capaian APBN 2024 disebut menghambat realisasi target APBN 2025.
“Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan pemerintah dalam pengelolaan APBN 2025 yang sedang berjalan ini,” kata ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky dalam webinar, Rabu, 8 Januari 2025.
Awalil menjelaskan, APBN 2025 menargetkan pendapatan sebesar Rp3.005 triliun. Jika dibandingkan dengan realisasi sementara 2024, target ini memerlukan kenaikan sebesar 5,72 persen.
“Meski bukan mustahil, kenaikan ini membutuhkan kinerja lebih dari dua kali lipat dari kenaikan tahun 2024 yang hanya 2,10 persen,” kata Awalil.
Realisasi penerimaan pajak juga menjadi sorotan. Pada 2024, penerimaan pajak hanya mencapai Rp1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari target. Sementara itu, target pajak dalam APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun, sehingga diperlukan kenaikan hingga 13,29 persen.
“Target kenaikan 13,29 persen ini sangat tinggi berdasarkan data historis dan kondisi perekonomian yang belum membaik pada 2025,” lanjutnya.
Jenis pajak tertentu, seperti Pajak Penghasilan (PPh), mengalami shortfall terdalam, hanya mencapai 93,2 persen dari target APBN 2024. Untuk memenuhi target 2025, penerimaan PPh harus meningkat hingga 13,79 persen. Menurutnya, target ini tidak realistis jika melihat data historis dan situasi ekonomi terkini.
Ia menambahkan, shortfall penerimaan pajak mencerminkan kondisi perekonomian yang lesu. Hal ini sejalan dengan laporan Kemenkeu yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, lebih rendah dari asumsi awal 5,2 persen.
“Ini mengindikasikan transaksi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tidak sesuai harapan,” tambahnya.
Awalil juga menyoroti klaim pemerintah yang menyatakan bahwa defisit APBN 2024 lebih rendah dari target secara nominal. Namun, jika dilihat dari rasio terhadap PDB, nilai defisit justru sesuai target, yakni 2,29 persen.
“Dengan kata lain, nilai PDB dan pertumbuhan ekonomi di 2024 lebih rendah dari yang diasumsikan,” katanya.
Selain pertumbuhan ekonomi, hampir seluruh asumsi pemerintah untuk 2024 meleset dari realisasinya. Inflasi menjadi satu-satunya indikator yang lebih rendah dari target, tetapi hal ini lebih mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat.
“Inflasi rendah tidak selalu positif. Faktor menurunnya daya beli masyarakat sangat menahan tingkat inflasi karena permintaan yang rendah,” jelas Awalil.
Ia menilai bahwa untuk menghadapi tantangan APBN 2025, pemerintah perlu segera menyusun APBN Perubahan dengan fokus pada efisiensi belanja dan prioritas kebijakan yang jelas.
“Diperlukan penyusunan APBN Perubahan yang lebih mencerminkan arah kebijakan pemerintahan Prabowo,” ujarnya.
Dahulukan Kebijakan Fiskal Kontroversial
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mendesak agar pemerintah perlu memprioritaskan efisiensi anggaran APBN 2025 ketimbang mengandalkan kebijakan fiskal yang kontroversial demi mengejar target penerimaan yang ambisius.
Realisasi APBN 2024 yang meleset dari ekspektasi, kata Andri, memperumit peluang mencapai target penerimaan pada tahun 2025. Oleh karena itu, ia menilai pemerintah butuh langkah strategis yang signifikan agar realisasi APBN tahun ini tidak meleset seperti sebelumnya.
“Target kenaikan penerimaan di 2025 menjadi lebih tinggi dan sulit dicapai tanpa ada tindakan radikal,” ujar Andri.
Ia menyoroti bahwa keterdesakan pemerintah dalam mengejar target penerimaan telah memunculkan berbagai wacana kebijakan fiskal kontroversial, seperti kenaikan PPN, pengalihan subsidi BBM, hingga Program Tax Amnesty jilid III. Namun, langkah tersebut dianggap bukan solusi ideal.
“Keterdesakan inilah yang membuat pemerintah banyak mewacanakan berbagai kebijakan fiskal kontroversial,” katanya.
Andri justru menyarankan agar pemerintah mengalihkan fokus dalam efisiensi belanja negara dengan memangkas program-program yang tidak mendesak atau kurang berdampak langsung bagi masyarakat.
Pendekatan efisiensi belanja negara, kata dia, adalah langkah yang lebih bijak untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kredibilitas APBN tanpa menambah beban masyarakat melalui kebijakan yang tidak populer.
Dengan demikian, pemerintah dapat lebih efektif dalam menghadapi tantangan fiskal tahun ini tanpa menciptakan tekanan tambahan pada ekonomi nasional.
“Padahal akan jauh lebih bijak jika yang dilakukan adalah efisiensi dari program-program yang tidak prioritas bagi masyarakat saat ini,” katanya.
APBN 2024 Lebih Baik
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit APBN 2024 tercatat mencapai Rp507,8 triliun, atau setara 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurutnya, angka ini lebih tinggi dibanding defisit pada 2023 yang hanya sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB.
“Betapa kita melihat tadi, 2,29 persen desain awal, memburuk ke 2,7 persen, dan kita mengembalikan lagi pada kondisi yang baik, yaitu APBN 2024 dijaga defisitnya di 2,29 persen,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Senin 6 Januari 2025.
Menurutnya, defisit APBN 2024 memang dirancang berada di level 2,29 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan pemerintah telah memperkirakan defisit akan lebih besar dibanding tahun sebelumnya.
Sempat ada kekhawatiran defisit akan melebar hingga 2,7 persen karena tekanan makro ekonomi sepanjang semester I 2024 cukup berat.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.