Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wall Street Ditutup Mendatar karena Aksi Investor, Bagaimana S&P dan Nasdaq?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 09 January 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Wall Street Ditutup Mendatar karena Aksi Investor, Bagaimana S&P dan Nasdaq?

KABARBURSA.COM - Wall Street ditutup mendatar pada perdagangan Rabu waktu setempat, 8 Januari 2025, atau Kamis dinihari WIB, 9 Januari 2025. Penyebabnya adalah aksi para investor yang sedang  mencerna risiko inflasi di tengah ketidakpastian kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh Presiden AS terpilih, Donald Trump.

Saham-saham utama gagal bergerak jauh dari posisi awal, karena pelaku pasar berfokus pada data ketenagakerjaan yang saling bertentangan serta laporan bahwa Trump sedang mempertimbangkan deklarasi darurat ekonomi nasional terkait inflasi.

Inflasi menjadi perhatian utama bagi pasar pada 2025. Menurut Charlie Ripley, ahli strategi investasi senior di Allianz Investment Management, terdapat berbagai faktor yang berpotensi mendorong inflasi naik kembali. Pada risalah rapat Federal Reserve Desember lalu, terungkap kekhawatiran meningkatnya tekanan harga yang kemungkinan tetap tinggi, di tengah kebijakan yang akan digulirkan oleh pemerintahan Trump.

Sentimen pasar semakin rapuh setelah laporan CNN menyebutkan, Trump berencana menerapkan tarif baru menggunakan Undang-Undang Kekuatan Darurat Ekonomi Internasional. Undang-undang ini memungkinkan presiden mengatur impor dalam situasi darurat nasional. Kekhawatiran terhadap kebijakan tarif dan langkah-langkah ekonomi lain seperti deportasi massal, menimbulkan risiko inflasi baru.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun mencapai level tertinggi sejak April di angka 4,73 persen sebelum turun sedikit ke 4,681 persen pada sore hari. Lonjakan ini mencerminkan ketegangan pasar jelang pelantikan Trump, dengan pelaku pasar terus memantau apakah tarif yang lebih luas akan benar-benar diterapkan dan berdampak besar terhadap inflasi.

Indeks S&P 500 mencatatkan kenaikan tipis sebesar 0,13 persen ke posisi 5.917,52. Sementara Nasdaq Composite turun 0,06 peraen ke level 19.478,72.

Indeks Dow Jones menguat 0,22 perseb menjadi 42.622,11. Dari 11 sektor di S&P 500, sektor kesehatan mencatatkan penguatan tertinggi, sedangkan saham-saham perusahaan kecil yang tergabung dalam indeks Russell 200 turun.

Performa saham perusahaan teknologi raksasa beragam; Microsoft naik, sedangkan Alphabet dan Meta mengalami penurunan. Di sisi lain, eBay mencatatkan lonjakan setelah Meta mengumumkan rencana menguji menampilkan daftar produk eBay di Facebook Marketplace.

Namun, saham Edison International anjlok akibat pemadaman listrik oleh anak perusahaannya di California, untuk mencegah kebakaran hutan.

Sektor teknologi tertekan setelah CEO Nvidia Jensen Huang, menyatakan teknologi komputasi kuantum masih membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk menjadi nyata. Pernyataan ini memicu penurunan tajam pada saham Rigetti Computing, IonQ, dan Quantum Computing.

Laporan pekerjaan nasional ADP menunjukkan perlambatan pertumbuhan tenaga kerja sektor swasta pada Desember, meskipun data Departemen Tenaga Kerja menunjukkan klaim pengangguran turun. Federal Reserve masih mempertahankan suku bunga saat ini, dan pelaku pasar memperkirakan pemotongan pertama akan dilakukan pada Mei atau Juni mendatang.

Gubernur Fed Christopher Waller, optimistis inflasi akan terus menurun pada 2025. Jika demikian, makasih memungkinkan bank sentral melanjutkan pemangkasan suku bunga meskipun laju penurunan ini masih belum pasti.

Pasar saham akan ditutup pada Jumat dinihari WIB, 10 Januari 2015, sebagai penghormatan untuk mengenang mantan Presiden Jimmy Carter yang wafat.

Wall Street Terperosok

Pada penutupan perdagangan Wall Street dinihari kemarin, 8 Januari 2025, Wall Street terperosok setelah serangkaian data ekonomi positif malah memunculkan kekhawatiran baru. Investor cemas jika lonjakan inflasi AS bisa memperlambat langkah Federal Reserve atau The Fed dalam melonggarkan kebijakan moneternya.

Padahal, sesi perdagangan sempat dibuka dengan hijau. Namun laporan dari Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan pembukaan lapangan kerja justru naik secara tak terduga pada November 2024. Belum cukup, laporan lain mencatat aktivitas sektor jasa pada Desember meningkat, sementara harga bahan baku melonjak ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir.

“Pasar tadinya mengira kita sudah masuk babak akhir dalam pertarungan melawan inflasi. Ternyata malah harus siap berlama-lama,” kata kepala strategi perdagangan di Charles Schwab, Joe Mazzola, dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, 8 Januari 2025.

Dampaknya jelas terasa di indeks utama. Dow Jones Industrial Average turun 178,20 poin atau 0,42 persen ke 42.528,36. S&P 500 anjlok 66,35 poin atau 1,11 persen ke 5.909,03. Nasdaq Composite paling parah, terjun 375,30 poin atau 1,89 persen ke 19.489,68.

Saham sektor teknologi ikut terhantam, terpangkas 2,39 persen setelah kenaikan imbal hasil obligasi membuat sektor ini tertekan. Saham Nvidia, yang menjadi patokan sektor AI, bahkan jatuh 6,22 persen. Dari 11 sektor di S&P 500, hanya sektor kesehatan dan energi yang selamat dari penurunan.

Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun pun naik ke level 4,699 persen–tertinggi sejak April–sebagai respons atas data ekonomi yang dinilai terlalu kuat. “Data ini jelas memberi tekanan inflasi tambahan, dan itulah alasan imbal hasil naik,” kata kepala riset Horizon Investments, Mike Dickson.

Data ini juga memundurkan ekspektasi soal kapan The Fed bakal memangkas suku bunga pertama kali di 2025. Pelaku pasar kini memprediksi pemangkasan suku bunga baru terjadi pada Juni 2025. The Fed pun diyakini akan lebih berhati-hati dalam membuat keputusan di sisa tahun.

Investor mencemaskan kebijakan tarif impor era pemerintahan Trump yang baru bisa memicu inflasi barang konsumsi. “Perpaduan antara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan tekanan inflasi baru dari tarif ini mungkin membuat The Fed tidak lagi memangkas suku bunga di setiap pertemuan, melainkan selang-seling,” jelas kepala ekonom Comerica Bank, Bill Adams.(*)