KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia melemah pada perdagangan Senin, 6 Januari 2025, didorong oleh kombinasi faktor negatif dari Amerika Serikat dan Jerman yang menekan sentimen pasar. Penurunan ini terjadi meskipun ada beberapa sentimen positif, seperti pelemahan dolar AS dan peningkatan permintaan energi akibat badai musim dingin.
Pada penutupan, berdasarkan data Reuters, minyak mentah Brent turun 21 sen atau 0,3 persen menjadi USD76,30 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) melemah 40 sen atau 0,5 persen menjadi USD73,56 per barel. Kedua patokan harga ini tetap berada di wilayah teknis overbought selama tiga hari berturut-turut, setelah mengalami reli lima hari berturut-turut.
Data ekonomi terbaru menunjukkan perlambatan di dua ekonomi utama dunia. Di Amerika Serikat, pesanan baru barang-barang manufaktur pada November turun akibat lemahnya permintaan pesawat komersial.
Selain itu, belanja bisnis untuk peralatan juga menunjukkan tanda-tanda melambat di kuartal keempat, berdasarkan data dari Biro Sensus AS. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya aktivitas ekonomi di negara konsumen energi terbesar dunia.
Di sisi lain, inflasi tahunan di Jerman, ekonomi terbesar Eropa, naik lebih tinggi dari perkiraan pada Desember. Kenaikan ini dipicu oleh lonjakan harga makanan dan penurunan harga energi yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya. Inflasi yang tinggi memicu ekspektasi kenaikan suku bunga oleh bank sentral, langkah yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Meski terdapat tekanan dari data ekonomi, pelemahan dolar AS sempat memberikan dorongan positif bagi pasar minyak. Dolar yang lebih lemah, turun hingga 1,1 persen terhadap sekeranjang mata uang utama, membuat komoditas yang dihargai dalam dolar, seperti minyak, lebih terjangkau bagi pembeli internasional. Namun, penguatan dolar kembali terjadi setelah Presiden terpilih Donald Trump membantah laporan tentang kemungkinan pengenaan tarif impor yang lebih selektif.
Selain itu, badai musim dingin yang melanda Amerika Serikat mendorong permintaan bahan bakar pemanas, dengan harga gas alam melonjak 10 persen pada hari yang sama.
Harga kontrak berjangka solar juga mencapai level tertinggi sejak Oktober. Namun, dampak positif dari cuaca ekstrem ini tidak cukup untuk menopang harga minyak mentah di tengah sentimen global yang negatif.
Presiden Joe Biden secara resmi melarang pengeboran minyak dan gas lepas pantai di sebagian besar wilayah pantai Amerika Serikat pada Senin, 6 Januari 2025.
Keputusan ini mencakup zona laut yang luas, lebih besar daripada gabungan negara bagian Alaska dan Texas, serta lebih dari enam kali luas negara bagian California. Dengan ukuran sebesar ini, kebijakan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap aktivitas pengeboran minyak dan gas di wilayah pesisir Amerika Serikat.
“Saya mengambil tindakan untuk melindungi pantai Timur dan Barat, Teluk Meksiko bagian timur, dan Laut Bering Utara di Alaska dari pengeboran minyak dan gas serta kerusakan yang dapat ditimbulkannya,” kata Biden dalam pernyataan resminya.
Ia menegaskan bahwa keputusan ini mencerminkan pandangan komunitas pesisir, pelaku bisnis, dan pengunjung pantai yang telah lama menyadari potensi kerusakan tak terpulihkan dari pengeboran minyak di wilayah ini.
“Pengeboran di wilayah-wilayah ini tidak hanya berisiko tinggi tetapi juga tidak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi negara kita. Risiko ini tidak sebanding dengan manfaatnya,” tambah Biden.
Reli harga minyak dalam beberapa pekan terakhir didukung oleh ekspektasi pemulihan ekonomi global, terutama di China. Pada Jumat, 3 Januari 2025 sebelumnya, harga Brent mencapai level tertinggi sejak Oktober 2024, sementara WTI mencatatkan penutupan tertinggi dalam hampir tiga bulan. Kenaikan ini dipicu oleh spekulasi bahwa China, sebagai konsumen energi terbesar kedua dunia, akan meluncurkan stimulus fiskal untuk memperkuat ekonominya.
Minat terhadap kontrak berjangka WTI juga meningkat. Data dari New York Mercantile Exchange menunjukkan minat terbuka mencapai 1,933 juta kontrak pada Jumat, tertinggi sejak Juni 2023. Namun, analis Eurasia Group mencatat bahwa pasar minyak saat ini berada dalam kondisi pasokan dan permintaan yang relatif seimbang.
“Ketegangan geopolitik terus mendukung harga, tetapi pertumbuhan permintaan energi yang rendah dapat kalah cepat dibandingkan peningkatan pasokan baru, terutama dari AS dan OPEC,” ujar mereka dalam laporan terbaru.
Sentimen pasar juga dipengaruhi oleh langkah Saudi Aramco, eksportir minyak terbesar dunia, yang menaikkan harga minyak mentah untuk pembeli Asia pada Februari. Langkah ini menjadi sinyal peningkatan ekspektasi permintaan di kawasan tersebut.
Sementara itu, di Afrika, Sudan mencabut force majeure yang telah berlangsung hampir setahun pada transportasi minyak mentah dari Sudan Selatan ke pelabuhan Laut Merah, setelah kondisi keamanan di wilayah tersebut membaik.
Secara keseluruhan, pasar minyak masih menghadapi tantangan dari ketidakpastian ekonomi global dan dinamika geopolitik. Meski terdapat beberapa sentimen positif, risiko perlambatan permintaan energi tetap menjadi perhatian utama para pelaku pasar di awal 2025. (*)