Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Perlambatan Ekonomi RI: Daya Beli Masyarakat Turun-Kebijakan Pajak Dipertanyakan

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 28 December 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Perlambatan Ekonomi RI: Daya Beli Masyarakat Turun-Kebijakan Pajak Dipertanyakan

KABARBURSA.COM - Perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga 2024 menunjukkan tanda-tanda perlambatan serius dengan pertumbuhan hanya mencapai 4,95 persen. Peneliti Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bakhrul Fikri, mengungkapkan bahwa perlambatan ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga, yang tercatat minus 0,48 persen. Hal ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat Indonesia terus melemah.

"Sektor konsumsi rumah tangga menyumbang 53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Penurunan signifikan di sektor ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat berada dalam tekanan berat," ujar Fikri dalam penjelasannya kepada Kabarbursa.com, di Jakarta, Sabtu, 28 Desember 2024.

Konsumsi Rumah Tangga: Pilar Perekonomian yang Melemah

Fikri menjelaskan bahwa meskipun perekonomian Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor-impor atau dinamika pasar global, sektor konsumsi rumah tangga memainkan peran kunci dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga justru menjadi bukti bahwa daya beli masyarakat sedang berada dalam kondisi kritis.

"Daya beli masyarakat adalah tulang punggung perekonomian kita. Ketika konsumsi rumah tangga melemah, dampaknya meluas ke seluruh sektor ekonomi," tegasnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama perekonomian Indonesia, dengan kontribusi mencapai 50 persen. Ia optimistis konsumsi dapat tumbuh di atas 5 persen, karena didukung oleh daya beli masyarakat yang stabil.

“Indeks Keyakinan Konsumen pada November 2024 mencapai 125,9, menunjukkan optimisme masyarakat,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertajuk ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.

Airlangga memaparkan, belanja konsumen meningkat 1,7 persen pada November 2024, dengan total nilai mencapai Rp256,5 triliun. Pertumbuhan tertinggi dicatat oleh segmen barang teknologi dan barang tahan lama yang tumbuh 4,3 persen, sementara produk kebutuhan harian (FMCG) naik 1,1 persen.

“Barang digital, seperti ponsel, menjadi pendorong utama dengan pertumbuhan 4,3 persen. Produk FMCG juga mencatat pertumbuhan 1,1 persen,” jelasnya.

Dalam rangka menjaga daya beli, Airlangga menjelaskan, maka pengenaan tarif PPN sebesar 12 persen hanya akan diterapkan pada barang mewah. Untuk barang seperti rumah dan kendaraan bermotor, pemerintah tetap memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).

“Fasilitas PPN DTP juga diberikan pada gula industri guna mendukung sektor makanan dan minuman, yang berkontribusi 36 persen terhadap industri pengolahan. Tarifnya tetap di angka 11 persen,” ucap Airlangga menerangkan.

Kebijakan PPN dan Dampaknya terhadap Perekonomian

Salah satu faktor yang dianggap memperburuk situasi adalah kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.

Airlangga Hartarto memastikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diterapkan sesuai jadwal yang diatur dalam UU HPP, mulai 1 Januari 2025,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertema ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.

Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Airlangga menegaskan, barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN dengan fasilitas PPN 0 persen.

Menurut Fikri, kebijakan ini berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat dan memberikan dampak negatif pada dunia usaha, terutama sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

"Kenaikan PPN akan menambah beban konsumen. Bagi produsen, khususnya UMKM yang menyumbang sekitar 60 persen terhadap PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja, kebijakan ini adalah pukulan telak," jelasnya.

Fikri menilai bahwa UMKM, yang sudah rentan terhadap tekanan ekonomi, akan menghadapi kesulitan lebih besar dalam menyesuaikan harga tanpa kehilangan pelanggan. Hal ini pada akhirnya dapat mengurangi kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Proyeksi Ekonomi 2025: Risiko Resesi

Fikri memperkirakan bahwa jika kebijakan kenaikan PPN tetap diberlakukan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan mencapai 4,09 persen. Angka ini jauh di bawah target pertumbuhan yang ideal untuk negara berkembang seperti Indonesia.

"Kondisi ini dapat membawa Indonesia menuju resesi bahkan krisis ekonomi, memperburuk daya beli masyarakat, dan memperlambat pemulihan ekonomi," ungkap Fikri.

Ia juga menyoroti kurangnya respons pemerintah terhadap analisis dan data yang telah disampaikan berbagai pihak. Menurutnya, pemerintah perlu segera meninjau kembali kebijakan kenaikan PPN untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar terhadap stabilitas ekonomi.

Solusi: Fokus pada Penguatan Daya Beli

Sebagai langkah mitigasi, Fikri menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada kebijakan yang dapat merangsang daya beli masyarakat. Ia menekankan pentingnya program subsidi langsung, insentif pajak untuk UMKM, dan pengendalian inflasi sebagai langkah-langkah strategis yang dapat membantu memperkuat perekonomian nasional.

"Stabilitas daya beli masyarakat adalah kunci untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Tanpa itu, upaya pemulihan ekonomi akan terus terhambat," pungkasnya.

Dengan dinamika ekonomi yang semakin kompleks, pemerintah diharapkan dapat mengambil keputusan yang tepat guna mencegah dampak lebih buruk terhadap masyarakat dan dunia usaha. (*)