KABARBURSA.COM - Di tengah perdagangan yang sepi karena libur panjang, harga minyak dunia perlahan naik pada Kamis, 26 Desember 2024. Sentimen positif datang dari harapan stimulus fiskal tambahan di China, importir minyak terbesar dunia, serta prediksi penurunan stok minyak mentah AS yang memperkuat pasar.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Kamis, harga minyak Brent naik 11 sen (sekitar Rp1.650) atau 0,2 persen menjadi USD73,69 (sekitar Rp1,14 juta) per barel pada pukul 08.48 WIB. Minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) berada di angka USD70,25 (sekitar Rp1,08 juta) per barel, naik 15 sen (sekitar Rp2.250) atau 0,2 persen dari penutupan sebelum Natal.
China yang ekonominya sedang terseok-seok, mengumumkan rencana untuk meningkatkan dukungan fiskal demi merangsang konsumsi pada 2025. Langkah ini mencakup peningkatan subsidi pensiun dan asuransi kesehatan untuk penduduk, serta memperluas program trade-in barang konsumsi.
Selain itu, pemerintah China juga akan menerbitkan obligasi khusus senilai 3 triliun yuan (sekitar Rp6.54 kuadriliun) untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
“Harga minyak didorong oleh harapan atas stimulus besar dari China,” ujar analis komoditas dari Rakuten Securities, Satoru Yoshida.
“Selain itu, ekspektasi meningkatnya produksi dan permintaan bahan bakar fosil setelah Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS bulan depan juga mendukung harga minyak,” imbuhnya.
Dari sisi lain dunia, pasar minyak juga mendapat angin segar dari prediksi penurunan stok minyak mentah dan bahan bakar di AS. Survei yang diperpanjang oleh Reuters menunjukkan stok minyak mentah AS kemungkinan turun sekitar 1,9 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 20 Desember. Stok bensin diperkirakan turun 1,1 juta barel, sementara stok distilat berkurang 0,3 juta barel.
Sumber pasar yang mengutip data American Petroleum Institute pada Selasa malam menyebutkan adanya penurunan stok minyak mentah AS. Namun, angka resmi dari Energy Information Administration (EIA), lembaga statistik Departemen Energi AS, baru akan dirilis pada Jumat, 27 Desember 2024, pukul 01.00 WIB.
Dari sisi pasokan, Libya juga menyumbang kabar positif. National Oil Corporation (NOC) Libya melaporkan produksi minyak mentah negara itu pada 2024 melampaui target harian sebesar 1,4 juta barel.
Dengan sentimen yang terus positif dari berbagai belahan dunia, pasar minyak terlihat cukup stabil memasuki akhir tahun. Meski demikian, faktor geopolitik dan dinamika pasar tetap menjadi hal yang perlu diwaspadai, terutama saat 2025 mulai berjalan dengan berbagai tantangan baru.
Harga minyak dunia sebelumnya mencatat penurunan tipis sehari sebelum Natal karena volume transaksi yang melemah menjelang libur. Pelemahan ini dipicu oleh sentimen kelebihan pasokan minyak pada 2024 dan penguatan dolar AS yang terus membebani pasar energi global.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent turun 31 sen, atau 0,43 persen, menjadi USD72,63 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga melemah 22 sen, atau 0,32 persen, menjadi USD69,24 per barel. Seperti dikutip di Jakarta, Selasa 24 Desember 2024.
Analis Macquarie memproyeksikan potensi kelebihan pasokan minyak yang semakin parah pada 2024. Dalam laporan Desember, mereka memperkirakan harga rata-rata Brent akan merosot ke USD70,50 per barel, dibandingkan rata-rata tahun ini yang mencapai USD79,64 per barel.
Di Eropa, kekhawatiran terkait pasokan sedikit mereda setelah pipa Druzhba kembali beroperasi. Pipa utama yang mengalirkan minyak Rusia dan Kazakhstan ke sejumlah negara Eropa, seperti Hungaria, Slovakia, Republik Ceko, dan Jerman, sempat dihentikan karena gangguan teknis pada stasiun pompa di Rusia.
Sementara itu, dolar AS mencapai level tertinggi dalam dua tahun pada Jumat dan tetap mendekati posisi tersebut pada Senin pagi. Penguatan ini membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga mengurangi daya beli global.
“Perubahan arah dolar AS dari melemah menjadi menguat telah menghapus kenaikan harga minyak sebelumnya,” ujar Giovanni Staunovo, analis UBS.
Sentimen pasar juga terpengaruh oleh data inflasi AS yang menunjukkan pelonggaran tekanan harga. Namun, sinyal bercampur dari Federal Reserve tentang prospek kebijakan moneter ke depan terus menahan pergerakan pasar energi.
Harga Brent melemah 2,1 persen pada pekan lalu, sementara WTI turun 2,6 persen. Hal ini didorong oleh kekhawatiran atas perlambatan ekonomi global dan penurunan permintaan energi setelah bank sentral AS memberikan isyarat kehati-hatian terhadap pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.(*)