Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Rupiah Rp16.185 per Dolar, Terdepresiasi 5,1 Persen YoY

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 24 December 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Rupiah Rp16.185 per Dolar, Terdepresiasi 5,1 Persen YoY

KABARBURSA.COM - Rupiah Selasa, 24 Desember 2024, kembali melemah signifikan, memposisikan diri di level Rp16.185 per dolar AS. Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah faktor eksternal, utamanya rilis data ekonomi Amerika Serikat yang mempengaruhi ekspektasi terhadap kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed).

Sejak pembukaan perdagangan, rupiah berfluktuasi antara Rp16.150 per dolar AS hingga menyentuh level terlemahnya di Rp16.215 per dolar AS.

Pada saat yang sama, Indeks Dolar AS (DXY) mengalami penguatan sebesar 0,11 persen menjadi 108,15. Kondisi ini memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Penguatan DXY ini menjadi salah satu faktor utama yang menekan nilai rupiah, mengingat posisinya yang lebih kuat terhadap sebagian besar mata uang dunia. Dampak tersebut semakin diperburuk dengan serangkaian data ekonomi AS yang keluar pada hari itu, yang memberikan indikasi terhadap arah kebijakan moneter The Fed.

Salah satu data yang mempengaruhi adalah penurunan signifikan dalam indeks kepercayaan konsumen AS untuk bulan Desember yang turun menjadi 104,7, lebih rendah dari ekspektasi para ekonom yang memprediksi kenaikan.

Penurunan ini menciptakan ketidakpastian dalam perekonomian global dan menyebabkan investor cenderung lebih berhati-hati, mengurangi minat mereka terhadap aset berisiko, termasuk mata uang rupiah.

Selain itu, sentimen negatif yang ditimbulkan oleh ketegangan perdagangan global juga turut memperburuk prospek bagi mata uang negara berkembang, dengan kekhawatiran mengenai kebijakan perdagangan yang lebih ketat dan potensi tarif impor yang lebih tinggi dari AS.

Pelemahan rupiah ini datang di tengah upaya keras Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar, yang mana BI telah mengambil serangkaian langkah strategis untuk meredam dampak negatif dari fluktuasi pasar.

BI mempertahankan suku bunga acuan atau policy rate pada angka 6 persen, langkah yang dimaksudkan untuk menekan inflasi dan menarik minat investor terhadap instrumen-instrumen yang tersedia di pasar Indonesia.

Selain itu, BI juga berusaha untuk menarik modal asing ke Indonesia melalui instrumen investasi seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), yang diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian ini.

Dalam menghadapi gejolak pasar, BI turut melakukan intervensi langsung baik di pasar spot maupun di pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dengan tujuan menjaga pasar tetap kondusif dan menghindari kepanikan.

Bank Indonesia juga memastikan ketersediaan likuiditas rupiah menjelang akhir tahun agar sektor perbankan dan perdagangan tetap stabil. BI terus bekerja sama dengan otoritas lainnya dan berkomunikasi dengan pelaku pasar untuk memberikan keyakinan yang dibutuhkan agar pasar tetap berjalan dengan tenang.

Meskipun proyeksi menunjukkan bahwa pelemahan rupiah mungkin akan berlanjut dalam waktu dekat, langkah-langkah stabilisasi yang diambil oleh BI diharapkan dapat memperkecil fluktuasi yang tajam dan memperkuat kembali kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.

Pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya memberikan kebijakan yang memastikan perekonomian domestik tetap berada pada jalur pertumbuhan meskipun terimbas ketidakpastian ekonomi global.

Depresiasi Rupiah Sentuh 5,1 Persen

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami penurunan signifikan sepanjang tahun ini, dengan depresiasi mencapai 5,1 persen pada penutupan perdagangan Selasa, 24 Desember 2024.

Data menunjukkan bahwa sejak awal tahun hingga saat ini, kurs rupiah tergerus dari Rp15.399 per dolar AS menjadi Rp16.185 per dolar AS, mencatatkan penurunan sebanyak 786 poin. Tren depresiasi rupiah juga terlihat lebih jelas dalam periode tiga bulan terakhir, yang mana nilainya turun sebesar 6,8 persen dari Rp15.150 ke Rp16.185 per dolar AS.

Dalam sebulan terakhir saja, rupiah mengalami penurunan sebesar 2{9aa1bb259712806fa89468ca095aa3419cf9105023fc9dc50e5829db57ca82d5}, bergerak dari Rp15.875 menjadi Rp16.185 per dolar AS, dan dalam satu minggu terakhir melemah 1,1{9aa1bb259712806fa89468ca095aa3419cf9105023fc9dc50e5829db57ca82d5} dari Rp16.009 ke Rp16.185 per dolar AS.

Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, tekanan terhadap nilai tukar rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal ketimbang masalah domestik. Gejolak geopolitik, khususnya di Timur Tengah dan Eropa, antara Rusia dan Ukraina, telah berkontribusi pada ketidakstabilan pasar global, yang secara langsung mempengaruhi posisi mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ditambah lagi dengan perlambatan ekonomi di Tiongkok, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia, serta faktor politik di Amerika Serikat, di mana kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Semua faktor ini memperburuk kondisi yang sudah ada dan semakin memberi tekanan terhadap kurs rupiah.

Namun, meskipun rupiah terus melemah, Ibrahim menilai kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan masih relatif lebih kuat dibandingkan banyak negara lainnya. Dalam konteks ini, dia mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki beberapa indikator ekonomi yang lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya, terutama negara di Amerika Latin seperti Brasil.

Misalnya, Indonesia tercatat memiliki defisit anggaran yang lebih rendah, yakni 2,7 persen, sementara Brasil mencatatkan angka yang lebih besar, yakni 8,7 persen. Selain itu, defisit transaksi berjalan Indonesia yang berada pada angka 0,7 persen jauh lebih terkendali jika dibandingkan dengan Brasil yang mencapai 2,9 persen.

Angka-angka ini menjadi indikator bahwa meski rupiah melemah, kondisi ekonomi domestik masih cukup stabil.

Dari sisi positif, pelemahan rupiah dapat meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, khususnya pada sektor sumber daya alam, yang menjadi salah satu pilar utama ekonomi Indonesia.

Dalam hal ini, Indonesia beruntung karena neraca perdagangan negara masih menunjukkan angka positif, bahkan surplusnya semakin melebar pada bulan November 2024. Dengan demikian, meskipun rupiah tertekan, sektor ekspor Indonesia berpeluang berkembang lebih pesat berkat nilai tukar yang lebih kompetitif.

Meskipun perjalanan rupiah sepanjang tahun ini kurang menggembirakan, banyak yang melihat situasi ini sebagai tantangan yang dapat dihadapi, mengingat fundamental ekonomi Indonesia yang tetap solid.

Daya tahan ekonomi domestik, terutama pada sektor perdagangan dan fiskal, menjadi aspek yang diyakini bisa menyokong Indonesia untuk bertahan menghadapi volatilitas global yang tidak menentu.(*)