KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah mencatat penurunan tipis pada perdagangan, di tengah volume transaksi yang melemah menjelang libur Natal. Pelemahan ini dipicu oleh sentimen kelebihan pasokan minyak pada 2024 dan penguatan dolar AS yang terus membebani pasar energi global.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent turun 31 sen, atau 0,43 persen, menjadi USD72,63 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga melemah 22 sen, atau 0,32 persen, menjadi USD69,24 per barel. Seperti dikutip di Jakarta, Selasa 24 Desember 2024.
Analis Macquarie memproyeksikan potensi kelebihan pasokan minyak yang semakin parah pada 2024. Dalam laporan Desember, mereka memperkirakan harga rata-rata Brent akan merosot ke USD70,50 per barel, dibandingkan rata-rata tahun ini yang mencapai USD79,64 per barel.
Di Eropa, kekhawatiran terkait pasokan sedikit mereda setelah pipa Druzhba kembali beroperasi. Pipa utama yang mengalirkan minyak Rusia dan Kazakhstan ke sejumlah negara Eropa, seperti Hungaria, Slovakia, Republik Ceko, dan Jerman, sempat dihentikan karena gangguan teknis pada stasiun pompa di Rusia.
Sementara itu, dolar AS mencapai level tertinggi dalam dua tahun pada Jumat dan tetap mendekati posisi tersebut pada Senin pagi. Penguatan ini membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga mengurangi daya beli global.
“Perubahan arah dolar AS dari melemah menjadi menguat telah menghapus kenaikan harga minyak sebelumnya,” ujar Giovanni Staunovo, analis UBS.
Sentimen pasar juga terpengaruh oleh data inflasi AS yang menunjukkan pelonggaran tekanan harga. Namun, sinyal bercampur dari Federal Reserve tentang prospek kebijakan moneter ke depan terus menahan pergerakan pasar energi.
Harga Brent melemah 2,1 persen pada pekan lalu, sementara WTI turun 2,6 persen. Hal ini didorong oleh kekhawatiran atas perlambatan ekonomi global dan penurunan permintaan energi setelah bank sentral AS memberikan isyarat kehati-hatian terhadap pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.
Tekanan tambahan datang dari laporan Sinopec, penyuling minyak terbesar di Asia, yang memproyeksikan konsumsi minyak China akan mencapai puncaknya pada 2027.
Di sisi lain, Presiden terpilih AS Donald Trump kembali menciptakan ketegangan geopolitik dengan meminta Uni Eropa meningkatkan impor minyak dan gas dari AS. Trump juga mengancam untuk merebut kembali kendali AS atas Terusan Panama, menuduh Panama mengenakan tarif berlebihan untuk penggunaan jalur strategis tersebut. Pernyataan ini langsung menuai respons keras dari Presiden Panama, Jose Raul Mulino.
Dengan ketidakpastian geopolitik dan kebijakan moneter yang terus membayangi, pasar minyak diperkirakan akan tetap berada dalam tekanan menuju tahun depan.
Harga minyak dunia hampir tidak berubah pada perdagangan Sabtu, 21 Desember 2024 dini hari WIB, setelah pasar mempertimbangkan permintaan dari China dan ekspektasi pemotongan suku bunga The Fed.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Minyak mentah Brent ditutup naik tipis 6 sen atau 0,08 persen di USD72,94 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 8 sen atau 0,12 persen menjadi USD69,46 per barel. Meskipun stabil pada perdagangan hari itu, kedua patokan harga minyak mencatat penurunan mingguan sekitar 2,5 persen.
Dolar AS melemah dari posisi tertingginya dalam dua tahun setelah data inflasi AS menunjukkan perlambatan, meskipun mata uang ini masih berada dalam jalur kenaikan mingguan ketiga berturut-turut.
Pelemahan dolar ini membuat minyak lebih murah bagi pembeli dengan mata uang lain, sementara pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve berpotensi meningkatkan permintaan minyak.
“Ketakutan bahwa The Fed akan menghentikan dukungan bagi pasar melalui kebijakan suku bunganya kini mulai mereda,” kata mitra di Again Capital, New York, John Kilduff.
Menurutnya, kekhawatiran ganda mengenai prospek permintaan, terutama perihal China, dan hilangnya dukungan moneter dari The Fed sempat memukul pasar minyak.
Sementara itu, proyeksi dari China menambah tekanan. Sinopec, perusahaan penyulingan milik negara, dalam laporan prospek energinya menyebutkan impor minyak mentah China diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2025. Konsumsi minyak di negara tersebut diperkirakan memuncak pada 2027 karena permintaan diesel dan bensin yang melemah.
OPEC+ dihadapkan pada tantangan menjaga disiplin pasokan untuk mengatasi fluktuasi harga dan ketidakpastian pasar. “OPEC+ membutuhkan pengendalian pasokan untuk menstabilkan harga di tengah revisi berulang terhadap prospek permintaan,” kata Emril Jamil, peneliti senior di LSEG.
Kelompok produsen minyak ini baru saja memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak global untuk 2024. Ini menjadikannya revisi kelima berturut-turut. JPMorgan memproyeksikan pasar minyak akan beralih dari kondisi seimbang pada 2024 ke surplus sebesar 1,2 juta barel per hari pada 2025, seiring peningkatan pasokan dari negara non-OPEC+ sebesar 1,8 juta barel per hari dan produksi OPEC yang tetap stabil.
Faktor geopolitik juga turut memengaruhi pasar minyak. Presiden AS terpilih Donald Trump menyatakan Uni Eropa mungkin menghadapi tarif jika tidak mengurangi defisit perdagangan dengan AS melalui peningkatan pembelian minyak dan gas.
Selain itu, negara-negara G7 sedang mempertimbangkan langkah untuk memperketat batas harga minyak Rusia, seperti pelarangan total atau penurunan ambang batas harga.
Rusia sendiri telah mengakali batas harga USD60 per barel yang diberlakukan pada 2022 dengan menggunakan armada “bayangan” kapal-kapalnya. Baru-baru ini kapal milik Rusia itu menjadi target sanksi tambahan dari Uni Eropa dan Inggris. Langkah ini bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap ekspor minyak Rusia.(*)