KABARBURSA.COM - Pasar Eropa diperkirakan akan membuka perdagangan dengan catatan positif pada hari Senin, meskipun volume transaksi diperkirakan lebih rendah mengingat minggu perdagangan yang dipersingkat akibat liburan Natal.
Indeks FTSE 100 di Inggris diprediksi akan naik 8 poin ke level 8.098, sementara DAX Jerman diperkirakan akan menguat 12 poin menjadi 19.919. Di sisi lain, indeks CAC Prancis diprediksi akan meningkat 7 poin menjadi 7.291, dan FTSE MIB Italia diperkirakan naik 76 poin menuju angka 34.031, menurut data dari IG. Seperti dilansir cnbc di Jakarta, Senin 23 Desember 2024.
Pasar diperkirakan akan lebih sepi menjelang Natal, dengan sebagian besar pasar Eropa tutup lebih awal pada Malam Natal dan tetap tutup pada Hari Natal.
Sementara itu, pasar Asia-Pasifik membuka minggu ini dengan sentimen positif, didorong oleh spekulasi terkait pengumuman resmi mengenai rencana penggabungan antara produsen mobil Jepang, Honda dan Nissan.
Sentimen di Asia semakin membaik setelah munculnya data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan, yang turut mendongkrak indeks saham AS pada hari Jumat. Pada saat yang sama, saham berjangka AS sedikit menguat dalam perdagangan semalam pada hari Minggu.
Pasar saham Eropa diperkirakan akan dibuka dengan pelemahan, karena para investor tengah memantau ketegangan politik di Amerika Serikat serta keputusan-keputusan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh sejumlah negara ekonomi utama.
Menurut data yang dirilis oleh IG, indeks FTSE 100 diperkirakan akan turun 110 poin, bergerak ke level 8.088. Sementara itu, DAX Jerman diprediksi akan merosot sekitar 400 poin, menjadi 19.835, dan CAC 40 Prancis diperkirakan akan turun 140 poin ke angka 7.244. Seperti dinukil dari cnbc di Jakarta, Jumat 20 Desember 2024.
Ketidakpastian politik di AS semakin memuncak pada Kamis malam, setelah kegagalan RUU belanja yang didukung oleh mantan Presiden Donald Trump. RUU ini sangat krusial untuk mencegah penutupan pemerintahan. Puluhan anggota parlemen dari Partai Republik menentang kesepakatan yang bertujuan mendanai pemerintah selama tiga bulan serta menangguhkan batasan utang AS selama dua tahun. Jika tidak ada kesepakatan, penutupan sebagian pemerintahan AS akan dimulai pada Jumat malam.
Sementara itu, Tiongkok memilih untuk mempertahankan suku bunga utama mereka pada hari Jumat, sesuai dengan ekspektasi pasar. Langkah ini dilakukan di tengah-upaya pelonggaran kebijakan yang sebelumnya dijanjikan oleh pejabat tinggi Beijing pada bulan yang sama.
Keputusan Bank Rakyat Tiongkok ini datang bersamaan dengan pembaruan kebijakan moneter dari Federal Reserve dan Bank of England. Pada Rabu, The Fed mengumumkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin, sedangkan Bank of England mempertahankan suku bunga tanpa perubahan pada pertemuannya pada Kamis.
Keputusan Bank of England, meskipun sudah diperkirakan sebelumnya, tetap memicu reaksi pasar. Perpecahan suara dalam keputusan kebijakan dan komentar Gubernur Andrew Bailey terkait dampak ekonomi dari anggaran pemerintah Buruh yang baru terpilih, mengguncang pasar. Hal ini menyebabkan pelemahan nilai tukar pound Inggris, serta peningkatan imbal hasil obligasi pemerintah Inggris 10 tahun.
Di sisi lain, Rusia juga dijadwalkan untuk memperbarui kebijakan moneternya pada hari Jumat ini.
Selain itu, pasar juga akan mencermati rilis sejumlah data ekonomi, seperti penjualan ritel Inggris untuk bulan November, Indeks Harga Produsen (PPI) Prancis untuk bulan yang sama, serta kondisi keyakinan konsumen terbaru di Italia. Semua informasi tersebut diperkirakan akan memberi dampak signifikan terhadap pergerakan pasar di akhir pekan ini.
Dengan defisit fiskal yang lebih lebar dan kebijakan moneter yang lebih longgar, China diprediksi akan mengandalkan stimulus fiskal sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi tahun depan. Namun, tekanan dari kebijakan perdagangan AS dan tantangan internal seperti utang dan konsumsi lemah masih menjadi ujian besar bagi pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Paket kebijakan ini mencerminkan keseriusan Beijing dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global yang semakin tidak pasti, meskipun risiko dari utang yang meningkat tetap menjadi bayang-bayang besar.
Rencana China untuk meningkatkan defisit anggaran hingga 4 persen dari PDB dan menggencarkan stimulus fiskal memberi sinyal positif bagi mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Meskipun kebijakan tersebut baru akan diimplementasikan pada 2025, tren nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok menunjukkan pemulihan yang kuat sepanjang tahun ini.(*)