KABARBURSA.COM - Investor dari China Daratan telah mencatatkan pembelian saham Hong Kong dalam jumlah rekor, meningkatkan eksposur mereka terhadap aset berisiko di tengah kebangkitan optimisme pasar dan pelemahan nilai yuan.
Hingga 20 Desember 2024, para pedagang dari Shanghai dan Shenzhen telah membeli saham dengan total nilai HKD778 miliar di pusat keuangan tersebut. Angka ini mencatatkan rekor tertinggi tahunan sejak dimulainya hubungan perdagangan dengan Hong Kong pada 2016, menurut data yang dihimpun oleh Bloomberg. Saham-saham besar seperti Alibaba Group Holding, Bank of China, dan China Mobile menjadi pilihan utama para investor. Seperti dilansir bloomberg di Jakarta, Senin 23 Desember 2024.
Peningkatan partisipasi investor domestik di pasar Hong Kong terlihat signifikan, dengan pangsa perdagangan mereka melonjak menjadi 45 persen pada kuartal keempat, didorong oleh stimulus fiskal dari Beijing yang memperkuat tolok ukur pasar. Selain itu, depresiasi yuan turut mempengaruhi sentimen pasar, dengan investor cenderung mencari aset yang denominasi dalam dolar AS, ujar Zeng Wenkai, Direktur Pelaksana di Shengqi Asset Management.
Namun, Zeng menekankan bahwa arah pergerakan pasar Hong Kong akan sangat bergantung pada keseimbangan antara permintaan investor domestik dan potensi arus keluar dana yang dipicu oleh pengaruh dana global. Meskipun demikian, dalam jangka pendek, peluang bagi investor China untuk menjadi pemegang saham terbesar di kota itu masih tergolong kecil.
Sejak hubungan perdagangan dimulai, pedagang domestik telah membeli saham Hong Kong dengan total nilai mencapai HKD3,3 triliun.
Pemerintah China berencana meningkatkan defisit anggaran hingga empat persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025. Defisit kali ini merupakan level tertinggi dalam sejarah. Langkah ini diambil untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen di tengah ancaman peningkatan tarif impor dari AS setelah Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih pada Januari mendatang.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024, meski belum diumumkan, rencana defisit ini disepakati dalam pertemuan Central Economic Work Conference (CEWC) pekan lalu. Defisit ini lebih besar dibanding target awal 3 persen dari PDB untuk 2024.
Kenaikan 1 poin persentase dalam anggaran ini setara dengan 1,3 triliun yuan atau sekitar USD179,4 miliar (Rp2.870triliun dengan kurs Rp16.000). Menurut dua sumber yang mengetahui rencana ini, dana tambahan akan diperoleh melalui penerbitan obligasi khusus di luar anggaran.
Dorongan fiskal yang lebih kuat ini menjadi bagian dari strategi China untuk mengantisipasi lonjakan tarif AS yang diprediksi melebihi 60 persen terhadap impor China. Jika janji kampanye Trump direalisasikan, tarif ini akan menekan industri China yang mengekspor barang senilai lebih dari USD400 miliar (Rp6.400 triliun) per tahun ke AS.
Para eksportir memperingatkan tarif tersebut akan memangkas margin keuntungan, mengganggu lapangan kerja, serta menahan laju investasi dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, langkah ini juga berpotensi memperburuk masalah kelebihan kapasitas industri dan tekanan deflasi yang saat ini membayangi perekonomian China.
Sumber resmi menyebutkan China akan mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen pada 2025. Ringkasan hasil CEWC menegaskan perlunya menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, meningkatkan rasio defisit fiskal, dan menerbitkan lebih banyak utang pemerintah.
Dalam waktu yang sama, bank sentral China atau PBOC juga diperkirakan akan mengadopsi kebijakan moneter yang lebih longgar. Upaya ini membuka peluang pemangkasan suku bunga dan injeksi likuiditas tambahan. Ini menandai perubahan dari kebijakan prudent alias hati-hati yang dipegang selama 14 tahun terakhir, di mana utang pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan melonjak lebih dari 5 kali lipat, sementara ekonomi hanya tumbuh sekitar 3 kali lipat dalam periode yang sama.
Perekonomian China saat ini masih terseok akibat krisis properti, tingginya utang pemerintah daerah, dan lemahnya permintaan domestik. Sementara ekspor yang selama ini menjadi salah satu penopang utama ekonomi, kini dihadapkan pada ketidakpastian tarif perdagangan AS.
Sebagai langkah mitigasi, sumber menyebutkan para pemimpin China tengah mempertimbangkan opsi untuk melemahkan yuan demi meredam dampak tarif perdagangan. Namun, dalam pernyataan resmi CEWC, Beijing menegaskan komitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam level yang wajar dan seimbang.(*)