KABARBURSA.COM - Pasar saham Indonesia tengah menghadapi tekanan yang cukup besar seiring dengan aliran keluar dana asing. Dalam catatan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dikutip di Jakarta, Minggu, 22 Desember 2024, asing sudah menjual sahamnya dengan total mencapai Rp4,08 triliun di seluruh pasar selama pekan terakhir, yaitu periode 16-20 Desember 2024.
Angka ini menggambarkan situasi yang sulit bagi pasar saham domestik, yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor negatif, salah satunya penurunan harga saham-saham perbankan blue chip yang berkapitalisasi besar.
Beberapa saham perbankan mengalami penurunan harga yang signifikan adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI). Saham BBRI tercatat mengalami net sell asing yang sangat besar, yakni mencapai Rp2,16 triliun dalam periode tersebut. Akibatnya, harga saham BBRI anjlok hingga 4,47 persen, berakhir di level Rp4.060 pada penutupan perdagangan Jumat, 20 Desember 2024.
Kondisi ini semakin parah karena dalam tiga bulan terakhir, saham BBRI telah merosot hingga 26 persen, mencerminkan kelesuan yang terjadi pada emiten milik negara tersebut.
Selain BBRI, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga tak luput dari aksi jual yang dilakukan investor asing. Selama pekan yang sama, saham BBCA mengalami net sell asing sebesar Rp1,42 triliun, dengan harga sahamnya terkoreksi hingga 4,46 persen, berakhir pada level Rp9.650.
Tekanan jual asing juga dirasakan oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), yang mencatatkan net sell asing sebesar Rp356,2 miliar. Saham BMRI bahkan terperosok lebih dalam, turun tajam 6,58 persen menjadi Rp5.675.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) pun ikut merasakan dampak yang sama, dengan aliran keluar dana asing yang tercatat senilai Rp305,0 miliar. Saham BBNI tercatat mengalami penurunan yang paling tajam di antara emiten perbankan besar lainnya, dengan koreksi hingga 8,19 persen dalam satu pekan, terendah dalam setahun terakhir, dan berakhir di level Rp4.260.
Selain sektor perbankan, sektor digital juga tidak kebal dari aksi jual asing. Saham PT Global Digital Niaga Tbk atau Blibli (BELI) tercatat mengalami net sell asing senilai Rp327,2 miliar dan terdepresiasi 1,71 persen, berakhir pada harga Rp460.
Koreksi harga saham yang tajam ini turut mendorong penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tercatat mengalami penurunan signifikan sebesar 4,65 persen dalam sepekan.
IHSG, yang sebelumnya berada pada level 7.324,789, jatuh ke posisi 6.983,865 pada akhir pekan. Tren penurunan ini mencerminkan ketidakpastian pasar saham Indonesia yang tengah mengalami tekanan baik dari faktor eksternal maupun internal.
Dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh pasar saham Indonesia, investor disarankan untuk lebih berhati-hati dalam melakukan langkah investasi mereka, mengingat adanya ketidakstabilan dan aliran keluar dana asing yang mungkin berlanjut dalam waktu dekat.
Pada perdagangan saham sesi pertama, Jumat, 20 Desember 2024, dari sisi nilai transaksi, lima emiten perbankan mencatatkan aktivitas perdagangan paling tinggi selama sesi pertama. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) berada di urutan teratas dengan nilai transaksi mencapai Rp423,35 miliar, disusul oleh PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang mencatat transaksi senilai Rp304,23 miliar.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) berada di posisi ketiga dengan nilai transaksi Rp245,48 miliar. Sementara itu, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing mencatat transaksi sebesar Rp149,93 miliar dan Rp137,75 miliar.
Di sisi lain, sejumlah bank besar di Indonesia berhasil mencatatkan kinerja yang positif sepanjang kuartal ketiga 2024 atau hingga periode sembilan bulan pertama tahun 2024. Hasil ini menunjukkan ketahanan para big banks di tengah tantangan pertumbuhan kredit dan kualitas aset.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan bank-bank di Indonesia perlu memperkuat cadangan sebagai bentuk langkah antisipasi terhadap potensi risiko kredit yang meningkat.
"Langkah peningkatan pencadangan merupakan upaya mitigasi dalam menghadapi risiko kredit jika ada potensi peningkatan eksposur terhadap risiko kredit,” ujar Dian melalui keterangan resminya, pada Jumat, 11 Oktober 2024.
Adapun data per Agustus 2024 menunjukkan bahwa rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) berada di level 2,26 persen, dengan NPL Coverage mencapai 191,75 persen. Angka ini menunjukkan kemampuan bank dalam menutupi kerugian dari kredit bermasalah melalui pencadangan yang lebih kuat.
Salah satu instrumen penting dalam pencadangan ini adalah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). CKPN merupakan alokasi dana yang disisihkan oleh bank untuk mengantisipasi kerugian potensial akibat penurunan nilai aset keuangan, sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Dian menegaskan bahwa OJK akan terus mendorong perbankan untuk memperkuat manajemen risiko serta menerapkan prinsip kehati-hatian, atau prudential banking, demi menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan.
“Kami akan terus memastikan bank-bank di Indonesia memperkuat manajemen risiko mereka dan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam setiap keputusan bisnisnya,” jelasnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.