KABARBURSA.COM - PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) tengah mempercepat kontruksi dua proyek di Kukusan, Lampung (5,4 MW) dan Proyek Tomoni, Sulawesi Selatan (10 MW).
Presiden Direktur Perseroan Aldo Artoko, mengatakan Perseroan optimistis dengan pengembangan sektor energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Untuk itu, ARKO terus melanjutkan proses konstruksi kedua proyek agar dapat berkontribusi bagi mempercepat Indonesia mewujudkan cita-cita swasembada energi.
"Kami terus mengakselerasi konstruksi proyek pembangkit listrik yang tengah berjalan yakni Proyek Kukusan dan Proyek Tomoni yang masing-masing progress konstruksinya sudah mencapai 49,9 persen dan 12,2 persen pada November 2024 dan diperkirakan selesai pada semester dua 2025 dan 2026," jelas Aldo dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
Selain dua proyek yang sedang dalam proses kontruksi, ARKO juga memiliki tiga proyek yang telah beroperasi yakni Proyek Cikopo, Jawa Barat (7,4 MW), Proyek Tomasa, Sulawesi Tengah (10 MW), Proyek Yaentu, Sulawesi Tengah (10 MW).
Direktur ARKO Boy Gemino Kalauserang, menuturkan peran Perseroan dalam aspek environmental, social, and governance (ESG) hingga mencapai target NZE pada 2060.
Sejak tahun 2017 hingga 3Q24, ARKO berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak ±237,168 ton CO₂eq alias terdapat peningkatan reduksi emisi sebesar 34.534 ton CO₂eq (17,1 persen YTD) sepanjang 9M24.
"Ke depannya, kami perkirakan bahwa ARKO mampu melakukan reduksi emisi gas rumah kaca sebesar ±99.937 ton CO₂eq per tahunnya setelah Proyek Kukusan dan Proyek Tomoni beroperasi," ungkap Boy.
Sementara itu Direktur ARKO lainnya Ricky Hartono, menyatakan bahwa dari segi finansial, di tengah anomali cuaca, Perseroan masih mampu membukukan peningkatan pendapatan sebesar 16.1 persen YoY menjadi Rp153,5 miliar pada periode 9M24.
"Harapannya, dengan terus mengejar konstruksi proyek yang tengah berjalan serta terus merealisasikan proyek yang ada di dalam pipeline kami sebanyak lebih dari 260 MW, Perseroan mampu untuk terus meningkatkan financial asset-nya guna meningkatkan kapasitas serta kapabilitas Perseroan guna mencetak pertumbuhan secara berkelanjutan," tutup Ricky.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai pasar modal dapat menjadi pilihan pembiayaan bagi perusahaan energi terbarukan. Menurutnya, pendanaan ini krusial dalam mereformasi kebijakan ketenagalistrikan dan mendukung pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mempercepat transisi energi bersih.
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia umumnya dimulai dari tenaga air dan panas bumi. Namun, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) memerlukan dana besar yang sebagian besar berasal dari investasi asing.
Namun, menurut Fabby, energi terbarukan kini juga berkembang di sektor lain, seperti biogas, biomassa, surya, dan bayu. Ia mencatat banyak perusahaan dalam negeri yang mulai mengembangkan pembangkit energi terbarukan skala kecil, termasuk surya, mikrohidro, minihidro, biogas, dan biomassa.
Fabby menambahkan, perusahaan dalam negeri kini juga berinvestasi dalam pembangkit energi terbarukan berskala besar, seperti PLTP dan PLTA, baik melalui perbankan maupun pasar modal. Menurutnya, investasi ini memiliki tingkat modal dan pendanaan yang beragam sesuai dengan skala pembangkit.
“Perusahaan dalam negeri sebetulnya juga sudah banyak yang menjadi pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP),” tutur Fabby dalam keterangannya, Sabtu, 9 November 2024.
IESR bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) telah memberikan lima rekomendasi jangka pendek terkait pendanaan transisi energi berkeadilan kepada pemerintah. Fabby menyebut, rekomendasi ini sesuai dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) serta mendorong pembiayaan JETP.
Fabby mengatakan kendala pendanaan energi hijau bisa diatasi lewat pasar modal dengan melaksanakan penawaran saham perdana (IPO). Namun, ia mengakui ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi sehingga tidak semua perusahaan bisa masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
Untuk dapat melantai di bursa, menurut Fabby, perusahaan energi terbarukan harus memiliki prospektus yang menarik dari sisi operasional dan finansial. Menurut Fabby, jika sebuah perusahaan energi terbarukan memiliki 3-4 proyek, maka perlu diperhatikan tingkat pengembalian investasinya (IRR). “Apakah memiliki kontrak jangka panjang, apakah proyeknya tidak bermasalah, bagaimana rekam jejak dan kredibilitasnya?,” kata dia.
Ernst and Young (EY) Indonesia sebelumnya memprediksi bahwa IPO sektor energi terbarukan akan menarik minat pasar. Dalam lima tahun terakhir, beberapa IPO berhasil dari perusahaan energi terbarukan, termasuk PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).(*)
Disclaimer: Artikel ini bukan untuk mengajak, membeli, atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisa saham berasal dari analisis atau sekuritas yang bersangkutan, dan Kabarbursa.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian investasi yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.