Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Rupiah Tertekan: Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal Memicu Kelemahan

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 19 December 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Rupiah Tertekan: Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal Memicu Kelemahan

KABARBURSA.COM - Pada perdagangan valuta asing Kamis, 19 Desember 2024, nilai tukar rupiah ditutup melemah tajam sebesar 215 poin ke level Rp16.312/USD, setelah sebelumnya sempat menyentuh titik pelemahan terendah di 220 poin. Pergerakan ini menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang yang mengalami penurunan terdalam di kawasan Asia.

Menanggapi ini, Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, dalam analisisnya di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024, memperkirakan bahwa untuk perdagangan esok hari, fluktuasi akan terus terjadi dengan potensi pelemahan yang bertahan dalam rentang Rp16.300 hingga Rp16.370/USD.

Salah satu faktor utama pelemahan rupiah adalah penguatan indeks dolar AS, yang saat ini berhasil menembus level 108. Penguatan dolar ini dipicu oleh kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang baru saja memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 4,25-4,50 persen.

Meskipun pemangkasan ini telah lama diantisipasi, The Fed mengindikasikan akan memperlambat laju siklus pelonggaran moneter ke depannya. Lebih lanjut, para pejabat The Fed mengisyaratkan bahwa pemangkasan suku bunga berikutnya mungkin akan dihentikan sementara waktu, mengingat stabilitas pasar tenaga kerja dan inflasi di Amerika Serikat.

Suku bunga AS diperkirakan tetap tinggi untuk periode yang cukup lama, meski telah dilakukan penyesuaian. Pasar bahkan telah menurunkan ekspektasi pemangkasan suku bunga pada awal 2025 dari empat kali menjadi dua kali saja.

Pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell, yang menegaskan bahwa kebijakan pemangkasan lebih lanjut akan sangat bergantung pada keberhasilan upaya menurunkan inflasi AS, semakin mempertegas pendekatan kehati-hatian yang diambil oleh bank sentral tersebut.

Faktor eksternal lainnya datang dari Bank of Japan (BoJ), yang mempertahankan kebijakan suku bunga tetap pada pertemuan terbarunya. Meski kebijakan ini mengecewakan sebagian investor yang berharap adanya kenaikan suku bunga pada Desember, stabilitas suku bunga BoJ memberikan sinyal positif bagi saham Jepang, terutama sektor ekspor.

Namun, keputusan tersebut juga mendorong pelemahan yen, menambah kompleksitas dalam dinamika valuta asing global.

Dari sisi domestik, tekanan terhadap nilai tukar rupiah diperparah oleh rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di tengah menurunnya daya beli masyarakat dan terbatasnya efektivitas insentif yang diberikan pemerintah.

Kenaikan PPN, yang langsung diberlakukan terhadap sejumlah layanan yang sebelumnya bebas PPN, dinilai dapat mengurangi tingkat konsumsi dalam negeri, khususnya di segmen kelas menengah yang menjadi penggerak utama perekonomian nasional.

Insentif Pemerintah tidak Cukup

Ibrahim menilai, insentif yang ditawarkan pemerintah saat ini, seperti diskon listrik dan bantuan untuk industri padat karya, tidak cukup untuk menyeimbangkan dampak kenaikan tarif PPN. Masalah utama yang dihadapi adalah melemahnya permintaan domestik akibat daya beli masyarakat yang terus tergerus.

Industri tekstil dan alas kaki, misalnya, sudah mengalami keterpurukan dalam beberapa waktu terakhir, dan kebijakan kenaikan PPN dikhawatirkan akan memperburuk keadaan, hingga berpotensi memicu peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

Lebih jauh, Ibrahim menyerukan pentingnya langkah pemerintah untuk melindungi produk-produk dalam negeri. Ia mencatat bahwa barang-barang impor, khususnya dari Tiongkok, sering kali memiliki harga yang jauh lebih rendah dibandingkan produk lokal, sehingga melemahkan daya saing industri nasional.

Oleh karena itu, pengawasan yang lebih ketat terhadap produk-produk impor, baik legal maupun ilegal, menjadi suatu keharusan.

Dalam situasi seperti ini, Ibrahim menekankan perlunya kebijakan yang tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga memiliki dampak strategis untuk menjaga keseimbangan ekonomi domestik. Peningkatan tarif PPN yang tidak diimbangi dengan penguatan daya beli masyarakat dan perlindungan terhadap produk lokal dapat berisiko memperparah tekanan terhadap perekonomian nasional, sekaligus membuat mata uang Garuda semakin rentan di pasar global.

Intervensi Bank Indonesia

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia mengimplementasikan sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah intervensi di pasar spot dengan menjual dolar AS dari cadangan devisa sekaligus membeli rupiah.

BI juga aktif di pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) untuk memberikan perlindungan terhadap risiko fluktuasi nilai tukar. Selain itu, BI melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder sebagai bagian dari upaya menjaga likuiditas pasar keuangan.

Hingga saat ini, BI telah membeli SBN senilai Rp169,5 triliun, dengan rincian Rp62 triliun dari pasar primer dan Rp107 triliun dari pasar sekunder. Perry juga mengungkapkan rencana pemerintah untuk menerbitkan SBN yang lebih menarik guna mendukung stabilitas keuangan.

Inovasi lainnya adalah penerbitan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), instrumen moneter baru yang dirancang untuk meningkatkan daya tarik investasi domestik. SRBI berhasil mencatat aliran dana masuk sebesar USD 1,3 miliar pada kuartal IV 2024, sebuah sinyal positif di tengah tekanan global.

Di sisi lain, meskipun terjadi arus keluar modal asing hingga USD 2,4 miliar, terdapat indikasi pemulihan di pasar surat utang dengan dana asing mulai kembali masuk sebesar USD 0,8 miliar.

Perry optimistis langkah-langkah yang telah dilakukan Bank Indonesia, seperti intervensi pasar, penerbitan SRBI, dan kerjasama dengan Kementerian Keuangan untuk menghadirkan instrumen investasi baru, mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memperkuat daya saing pasar keuangan domestik.(*)