KABARBURSA.COM - Bursa saham Eropa diperkirakan akan dibuka lebih rendah pada sesi perdana hari ini, seiring dengan penurunan pasar global setelah Federal Reserve (The Fed) AS memberikan petunjuk bahwa penurunan suku bunga kemungkinan akan segera dilaksanakan.
Indeks FTSE 100 Inggris diperkirakan akan turun 84 poin ke level 8.105, DAX Jerman tertekan 265 poin menjadi 19.993, CAC Prancis merosot 105 poin ke posisi 7.284, sementara FTSE MIB Italia diprediksi akan jatuh 507 poin, mencapai 33.876, menurut data dari IG.
Penurunan tajam ini mengikuti aksi jual besar-besaran pada Rabu lalu di Wall Street, setelah The Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, menjadi 4,25 persen hingga 4,5 persen. Lebih lanjut, The Fed memberikan sinyal bahwa hanya akan ada dua kali lagi penurunan suku bunga pada tahun 2025, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan empat pemotongan yang sempat diperkirakan sebelumnya.
"Kami bergerak cepat untuk sampai di titik ini, dan saya rasa ke depan kami akan lebih berhati-hati," kata Ketua The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers setelah pertemuan tersebut.
Pernyataan Powell tersebut memicu kekhawatiran di pasar saham AS, menyebabkan penurunan tajam pada indeks-indeks saham utama di Wall Street. Tak hanya itu, pasar dan mata uang Asia-Pasifik juga mencatatkan pelemahan yang signifikan.
Di Eropa, aksi bank sentral masih akan berlanjut hari ini dengan pengumuman kebijakan moneter dari Bank of England dan Norges Bank, bank sentral Norwegia. Selain itu, investor juga akan memantau sejumlah data ekonomi penting, seperti angka registrasi mobil baru di Eropa, tingkat kepercayaan konsumen Gfk di Jerman, serta data perdagangan dari Spanyol, yang diharapkan memberikan gambaran tentang kesehatan ekonomi kawasan ini.
Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) kembali memangkas suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen pada Rabu, 18 Desember 2024, yang menjadi penurunan ketiga sepanjang tahun ini.
Namun, langkah ini diiringi sinyal bahwa pemangkasan suku bunga di 2025 akan berlangsung lebih lambat dibandingkan prediksi sebelumnya. Penyebabnya adalah inflasi yang masih berada di tingkat tinggi.
Dilansir dari AP di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024, dalam proyeksi terbaru, para pejabat The Fed memperkirakan hanya akan ada dua kali penurunan suku bunga pada 2025, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya sebanyak empat kali. Hal ini berarti konsumen mungkin tidak akan merasakan penurunan besar pada suku bunga untuk kredit seperti KPR, pinjaman kendaraan, kartu kredit, dan lainnya di tahun mendatang.
Keputusan ini mengguncang Wall Street. Indeks Dow Jones Industrial Average merosot lebih dari 1.100 poin, setara 2,5 persen. Ini menjadikannya hari terburuk bagi pasar dalam empat bulan terakhir. Indeks Nasdaq bahkan anjlok hingga 3,5 persen. Tingginya suku bunga dikhawatirkan dapat menghambat ekspansi bisnis yang memengaruhi sentimen investor.
Dalam konferensi pers, Ketua The Fed Jerome Powell mengklaim perlambatan penurunan suku bunga ini mencerminkan pendekatan hati-hati. Ia mengatakan suku bunga acuan kini mendekati tingkat “netral,” yaitu tingkat yang tidak mendorong atau menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Saya pikir langkah yang lebih lambat ini mencerminkan tingginya inflasi yang terjadi sepanjang tahun ini, serta ekspektasi bahwa inflasi akan tetap tinggi pada 2025,” kata Powell. Ia menambahkan, posisi mendekati suku bunga netral membuat kebijakan lebih berhati-hati.
Namun, keputusan ini tidak sepenuhnya bulat. Empat dari 19 pejabat The Fed sebenarnya mendukung untuk mempertahankan suku bunga tanpa perubahan. Salah satu yang menolak adalah Beth Hammack, Ketua Bank Federal Reserve Cleveland, yang memilih agar suku bunga tetap tinggi.
Menurut Kepala Ekonom di T. Rowe Price, Blerina Uruci, keputusan ini mencerminkan adanya perpecahan di dalam komite kebijakan. “Sepertinya ada kelompok yang semakin hawkish (cenderung mempertahankan suku bunga tinggi),” ujarnya.
Powell juga mengakui beberapa pejabat mulai mempertimbangkan dampak kebijakan Presiden terpilih Donald Trump terhadap ekonomi dan inflasi. Rencana Trump untuk memberlakukan tarif impor besar-besaran dan deportasi massal dikhawatirkan dapat memicu lonjakan inflasi di tahun mendatang.
“Kita harus melangkah lebih hati-hati ketika jalannya tidak pasti,” ujar Powell. Ia mengibaratkan situasi ini seperti menyetir di malam yang berkabut, di mana kehati-hatian menjadi kunci.(*)