Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Jepang Janji Pangkas Setengah buat Energi Terbarukan pada 2040: Nuklir 20 Persen

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 17 December 2024 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
Jepang Janji Pangkas Setengah buat Energi Terbarukan pada 2040: Nuklir 20 Persen

KABARBURSA.COM - Jepang berencana untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan hingga mencapai 50 persen dari total bauran listrik pada tahun fiskal 2040.

Sementara tenaga nuklir akan menyumbang 20 persen lainnya, menurut rancangan revisi kebijakan energi dasar yang baru-baru ini diumumkan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya negara tersebut untuk mempercepat transisi menuju energi bersih, sekaligus memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat.

Sebagai negara pengimpor gas alam cair terbesar kedua di dunia dan konsumen utama minyak dari Timur Tengah, Jepang menarik perhatian global dengan rencana energi dasar ini, terutama di kalangan produsen minyak, gas, dan batu bara. Seperti dilansir reuters di Jakarta, Selasa 16 Desmber 2024.

Penggunaan pembangkit listrik tenaga termal, khususnya dari pembangkit berbahan bakar batu bara yang dinilai kurang efisien, diperkirakan akan menurun menjadi sekitar 30 persen hingga 40 persen pada tahun 2040, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 68,6 persen pada tahun 2023. Meskipun demikian, rancangan kebijakan ini tidak merinci lebih lanjut tentang penggunaan batu bara, gas, dan minyak.

Penting untuk memanfaatkan pembangkit listrik tenaga LNG sebagai langkah transisi yang realistis, dan untuk itu, pemerintah bersama sektor swasta perlu bekerja sama dalam mengamankan kontrak LNG jangka panjang yang krusial untuk mengantisipasi risiko seperti lonjakan harga dan gangguan pasokan, kata rancangan tersebut.

Rancangan kebijakan yang diluncurkan oleh kementerian industri pada hari Selasa ini mengusulkan agar energi terbarukan dapat menyuplai antara 40 persen hingga 50 persen dari total pasokan listrik pada tahun fiskal 2040. Ini hampir dua kali lipat dari pangsa 22,9 persen yang tercatat pada tahun fiskal 2023, serta melampaui target 2030 yang dipatok antara 36 persen hingga 38 persen.

Sementara itu, target untuk tenaga nuklir di Jepang pada 2040 tetap sejalan dengan target tahun 2030 yang berkisar antara 20 persen hingga 22 persen, meskipun industri nuklir masih menghadapi tantangan pasca-bencana Fukushima pada 2011. Pada 2023, tenaga nuklir hanya menyumbang 8,5 persen dari total pasokan listrik negara tersebut.

Rencana energi baru ini juga menghapuskan target sebelumnya yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga nuklir, dan menggantinya dengan rencana pembangunan reaktor generasi mendatang yang inovatif, yang akan dibangun di lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir yang telah memutuskan untuk menonaktifkan reaktor yang ada.

Perdagangan Karbon Bilateral

Indonesia dan Jepang baru saja mencapai kesepakatan penting terkait perdagangan karbon dalam ajang Konferensi Para Pihak (COP) 29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan.

Kesepakatan ini menjadikan Indonesia dan Jepang sebagai pelopor dalam kerja sama perdagangan karbon bilateral, yang pertama kali dilaksanakan di bawah kerangka Perjanjian Iklim Paris, khususnya Pasal 6,2 yang mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon antar negara.

Kesepakatan ini secara resmi ditandai dengan penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) yang mengatur pelaksanaan kerja sama perdagangan karbon bilateral antara kedua negara.

MRA ini diumumkan di Paviliun Indonesia di COP 29 pada Selasa, 12 November 2024. Penandatanganan dokumen MRA dilakukan oleh perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, yang bertindak sebagai otoritas pengelola sistem kredit karbon di masing-masing negara.

Penandatanganan berlangsung secara sirkular pada 18 Oktober 2024 dan diumumkan langsung oleh Ketua Delegasi Indonesia di COP 29, Hashim S Djojohadikusumo, bersama Matsuzawa, Wakil Menteri Urusan Lingkungan Global Kementerian Lingkungan Hidup Jepang.

Hashim dalam pengumuman tersebut menyampaikan bahwa Indonesia telah siap untuk melaksanakan perjanjian yang telah ditandatangani.

“Pemerintah Indonesia sudah siap mengerjakan setiap perjanjian yang telah ditandatangani. Saya juga memahami bahwa MRA telah ditandatangani antara kedua belah pihak dan siap untuk diimplementasikan,” ujar Hashim dengan penuh keyakinan.

MRA ini mulai berlaku pada 28 Oktober 2024, dan bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan karbon yang saling mengakui antara Indonesia dan Jepang.

Prinsip Kesetaraan dalam Sistem Kredit Karbon

MRA ini didasarkan pada prinsip kesetaraan antara sistem kredit karbon yang diterapkan di Indonesia dan Jepang.

Salah satu elemen penting dari MRA adalah pengakuan bersama terhadap komponen sistem kredit karbon kedua negara, termasuk metodologi mitigasi, perhitungan pengurangan emisi, serta sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Di Indonesia, sistem sertifikasi kredit karbon disebut dengan Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI). Dengan MRA ini, sistem kredit karbon Indonesia diakui oleh Jepang, yang diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam perdagangan karbon antara kedua negara.

Perjanjian ini juga mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diamanatkan oleh Perjanjian Paris. Dalam hal ini, perdagangan karbon antar negara menjadi salah satu instrumen penting untuk mencapai target kontribusi nasional Indonesia (NDC).

Pemerintah Indonesia telah mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan perdagangan karbon, termasuk melalui mekanisme MRA ini.

Salah satu prinsip yang diatur dalam Perjanjian Paris terkait perdagangan karbon adalah prinsip TACCC (Transparency, Accuracy, Completeness, Comparability, and Consistency), yang menjamin integritas dan transparansi tinggi dalam setiap transaksi perdagangan kredit karbon. Dengan adanya MRA ini, Indonesia dan Jepang memastikan bahwa sertifikat kredit karbon yang dihasilkan di Indonesia akan diakui secara internasional, khususnya oleh negara mitra yang terlibat dalam kerja sama tersebut.

Sistem ini juga mengatur bahwa proyek-proyek mitigasi yang dilakukan di Indonesia dengan dukungan dari negara mitra harus mematuhi peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia dan mengikuti sistem sertifikasi yang telah ditetapkan, yaitu SPEI. Pembagian kredit karbon yang dihasilkan dari proyek-proyek ini akan didasarkan pada kesepakatan bersama, dengan pengawasan langsung dari pemerintah kedua negara.(*)