KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang tercatat melemah pada penutupan perdagangan Jumat, 13 Desember 2024.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Bloomberg, nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp16.008 per dolar AS, mengalami penurunan sebesar 0,40 persen atau setara dengan 64 poin.
Sementara itu, data dari RTI Business menunjukkan posisi yang sedikit berbeda, dengan nilai tukar pupiah tercatat di level Rp15.990 per dolar AS.
Pelemahan rupiah juga turut memengaruhi harga jual dolar di sejumlah bank domestik.
Berdasarkan pada situs resmi beberapa perbankan, harga jual dolar AS pada Jumat kemarin rata-rata berada di kisaran Rp16.000. Berikut adalah rincian harga jual dolar AS di beberapa bank besar:
PT Bank Central Asia (BCA)
e-Rate: Rp16.020 (harga beli: Rp15.990)
TT Counter: Rp16.155 (harga beli: Rp15.855)
PT Bank Rakyat Indonesia (BRI)
e-Rate: Rp16.050 (harga beli: Rp15.960)
TT Counter: Rp16.155 (harga beli: Rp15.855)
PT Bank Negara Indonesia (BNI)
e-Rate: Rp16.065 (harga beli: Rp15.965)
TT Counter: Rp16.140 (harga beli: Rp15.860)
PT Bank Mandiri
e-Rate: Rp15.965 (harga beli: Rp15.945)
TT Counter: Rp16.050 (harga beli: Rp15.700)
Bank Tabungan Negara (BTN)
TT Counter: Rp16.095 (harga beli: Rp15.845)
PT Bank CIMB Niaga
Harga jual: Rp16.009 (harga beli: Rp15.998)
Pelemahan Rupiah ini mencerminkan tren yang telah berlangsung beberapa waktu terakhir, dengan tekanan dari faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga AS dan ketidakpastian pasar global.
Seiring dengan penguatan dolar AS, harga barang impor yang dipengaruhi oleh nilai tukar ini berpotensi mengalami kenaikan.
Dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap sejumlah mata uang global. Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa kinerja rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan mata uang negara lainnya.
Pernyataan tersebut diucapkan Perry di tengah tren pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Seperti dilaporkan Bloomberg, dolar AS sempat menyentuh level Rp16.008. Perry mengungkapkan, meski banyak negara mengalami depresiasi mata uang, pelemahan rupiah relatif lebih kecil dibandingkan negara-negara lain.
“Memang seluruh negara mengalami depresiasi, tapi depresiasi rupiah termasuk yang kecil,” kata Perry Warjiyo dalam seminar nasional KAFEGAMA di Menara BTN, Jakarta, Sabtu, 14 Desember 2024.
Perry menjelaskan, penguatan dolar AS terjadi setelah kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS.
Menurut dia, AS mengeluarkan surat utang negara dalam jumlah besar dan meningkatkan defisit fiskalnya hingga mencapai 7,7 persen. Hal ini mendorong banyak investor untuk memindahkan portofolio mereka ke pasar Amerika Serikat, suatu kondisi yang dikenal dengan istilah capital reversal.
“Amerika memiliki utang pemerintah yang sangat tinggi, dan itu membuat investor di seluruh dunia memindahkan portofolionya ke AS. Ini yang disebut dengan capital reversal,” ujar Perry.
Dengan tingkat utang yang besar dan suku bunga yang tinggi, dolar AS pun semakin menguat. Indeks dolar, yang sebelumnya berada di level 101, kini melonjak menjadi 107 setelah kemenangan Trump.
“Karena utangnya sangat besar dan suku bunga yang tinggi, dolar AS kini sedang sangat kuat. Sebelum Trump terpilih, indeks dolar berada di 101, sekarang sudah mencapai 107,” jelas Perry.
Dia juga mencatat bahwa penguatan dolar terjadi dalam waktu singkat, sekitar 1,5 bulan, dengan kenaikan hampir 6-7 persen.
Perry menyebutkan, fenomena ini dialami oleh hampir semua negara dan merupakan tantangan baru yang akan berlangsung selama lima tahun masa kepemimpinan Trump.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” pungkasnya.
Kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump, diperkirakan dapat mengurangi minat investasi di mata uang rupiah dan obligasi Indonesia. Investor cenderung lebih berhati-hati dan memilih untuk mengalihkan dananya ke instrumen investasi di AS.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana mengatakan bahwa ketidakpastian seputar kebijakan Trump menjadi perhatian utama bagi pasar keuangan global. Pasar masih menantikan langkah-langkah yang akan diambil oleh Trump setelah pelantikannya pada 20 Januari 2025 mendatang.
Salah satu kebijakan yang mungkin diambil adalah pemotongan tarif pajak perusahaan di AS, yang berpotensi memicu fluktuasi tinggi di pasar keuangan.
Fikri menilai, kebijakan Trump tersebut dapat membatasi penurunan inflasi di AS pada tahun 2025. Dengan inflasi yang tidak turun signifikan, pengurangan suku bunga oleh The Fed mungkin tidak sebesar yang diharapkan pasar. Jika Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) memotong suku bunga lebih agresif, dolar AS diperkirakan akan tetap kuat.
Fikri memperkirakan bahwa meskipun The Fed kemungkinan akan memangkas suku bunga pada tahun 2025, penurunan tersebut tidak akan sebesar ekspektasi pasar, yang sebesar 100 basis poin. Ia memperkirakan The Fed hanya akan memangkas sekitar 50-75 basis poin.
Hal ini berimbas pada kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI), yang diperkirakan juga akan lebih berhati-hati.
“BI mungkin akan mengikuti The Fed dan memangkas suku bunga sekitar 25 basis poin pada akhir tahun 2024, namun jika depresiasi rupiah berlanjut, BI bisa menahan suku bunga di level 6 persen,” kata Fikri, Minggu, 15 Desember2024.
Fikri juga mencatat bahwa ketidakpastian kebijakan AS, yang disertai dengan ekspektasi penguatan dolar AS, berpotensi menyebabkan aliran dana keluar (capital outflow) dari pasar keuangan Indonesia. Hal ini dapat mempengaruhi pasar saham dan obligasi domestik, dengan yield Surat Utang Negara (SUN) yang sudah bergerak di atas 7 persen. Selain itu, nilai tukar rupiah juga tercatat menguat tipis di atas Rp16.000 per dolar AS pada Jumat, 13 Desember kemarin.
Pelemahan yield obligasi dan mata uang domestik ini, menurut Fikri, juga bisa dipicu oleh penerbitan SUN dalam jumlah besar pada tahun depan.
“Jika penerbitan obligasi tidak terserap dengan baik di pasar, yield obligasi dapat meningkat, yang menunjukkan adanya tekanan pasar,” ujarnya.
Fikri menyarankan solusi untuk mengatasi hal tersebut dengan diversifikasi mata uang dalam penerbitan obligasi. Selain dolar AS dan euro, Bank Indonesia (BI) mungkin dapat mempertimbangkan penerbitan obligasi dalam mata uang lain, seperti riyal Arab Saudi, untuk membuka pasar baru.
“Diversifikasi mata uang dan pasar pembeli obligasi akan membantu memperkecil ketergantungan pada dolar AS dan meningkatkan daya tarik obligasi Indonesia di pasar internasional,” ujarnya. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.