Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tingkatkan Produksi, Emiten Cokelat Dirikan Pabrik Baru di Sumedang

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 12 December 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Tingkatkan Produksi, Emiten Cokelat Dirikan Pabrik Baru di Sumedang

KABARBURSA.COM - Perusahaan pengolahan biji kakao dan cokelat, PT Wahana Interfood Nusantara Tbk, baru saja meresmikan pabrik barunya di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Fasilitas ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi perusahaan secara signifikan.

Pabrik yang dibangun di atas lahan seluas 9.000 meter persegi tersebut akan mendukung ekspansi produksi perusahaan.

Sebelumnya, PT Wahana Interfood memiliki pabrik di Bandung, Jawa Barat, dengan kapasitas produksi sebesar 6.000 ton cokelat per tahun.

Dengan operasional pabrik baru di Sumedang, kapasitas produksi perusahaan diproyeksikan akan meningkat menjadi 20.000 ton per tahun.

“Pembukaan pabrik baru ini adalah langkah strategis untuk memenuhi permintaan pelanggan yang terus berkembang, sekaligus mendukung kemajuan industri cokelat di Indonesia," ungkap CEO Wahana Interfood Nusantara, Reinald Siswanto, dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis, 12 Desember 2024.

Reinald berharap, pabrik baru ini dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah, dengan membuka peluang bagi masyarakat sekitar.

“Kami berkomitmen untuk terus mendukung pemberdayaan komunitas lokal,” kata Reinald.

Dengan hadirnya pabrik baru di Sumedang, perusahaan optimis dapat memperluas kontribusinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan cokelat berkualitas tinggi di pasar domestik maupun internasional.

Sementara itu, Komisaris Utama Wahana Interfood Nusantara Gde Iswantara menekankan pembukaan pabrik ini tidak hanya akan memperkuat posisi perusahaan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar serta meningkatkan peran Sumedang sebagai salah satu pusat industri di Indonesia.

Petani Kakao Beralih ke Sawit

Pelaku industri kakao global menghadapi tantangan berat akibat penurunan produksi biji kakao, termasuk di Indonesia yang merupakan produsen kakao terbesar di Asia.

Berdasarkan data pasar keuangan LSEG, hasil panen kakao Indonesia mengalami penurunan drastis, yakni hingga 50 persen dari tahun 2015 hingga 2023.

Penurunan produksi ini menyebabkan lonjakan harga ekspor kakao Indonesia. Harga ekspor naik signifikan dari sekitar USD3.400 per ton pada Januari 2024 menjadi USD6.500 per ton pada akhir September 2024. Lonjakan harga ini dipengaruhi oleh permintaan yang tinggi, keterbatasan pasokan, dan dampak perubahan iklim yang semakin memperburuk situasi.

Perubahan iklim menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan produksi kakao. Suhu ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, dan bencana cuaca yang semakin sering terjadi, memperburuk kondisi pertanian kakao.

“Suhu yang ekstrem dan kejadian cuaca yang drastis membuat pertanian kakao semakin sulit,” kata Jon Trask, CEO Dimitra, penyedia teknologi pertanian untuk petani kakao.

Laporan dari Asosiasi Kakao Asia (CAA) mencatat bahwa Asia menggiling lebih dari 1,1 juta ton biji kakao setiap tahunnya. Namun, panen regional hanya mencapai sekitar 0,3 juta ton. Ketergantungan pada impor kakao dari Afrika Barat dan Amerika Latin semakin memperburuk tekanan terhadap harga dan logistik.

Menurut Lucrezia Cogliati, analis dari BMI, pohon kakao sangat sensitif terhadap perubahan iklim.

“Produksi kakao terancam oleh peningkatan suhu, banjir, kekeringan, dan perubahan kelembapan,” jelas Lucrezia.

Selain faktor iklim, kondisi ekonomi juga memengaruhi sektor pertanian kakao di Indonesia. Banyak petani beralih menanam minyak sawit atau karet, yang dianggap lebih menguntungkan dibandingkan kakao.

Makalah CAA menyebutkan bahwa tanpa insentif yang memadai bagi petani, produksi kakao di Indonesia akan terus mengalami penurunan, meningkatkan ketergantungan pada impor.

Perusahaan seperti Unigra, produsen bahan berbasis kakao asal Italia, turut merasakan dampak dari krisis ini.

Denis Cavrini, Direktur Komersial Internasional Unigra, menyebutkan bahwa biaya bahan baku melonjak tiga kali lipat tahun ini.

“Unigra harus menggandakan harga produk berbahan dasar kakao yang dijual ke pasar-pasar di Asia," ujar Denis.

Tanpa langkah cepat untuk mengatasi tantangan ini, prospek industri kakao, khususnya di Asia, akan semakin suram.

Francisco Martin-Rayo dari Helios memperingatkan bahwa harga kakao kemungkinan akan terus meningkat akibat persaingan ketat dengan pembeli dari Eropa dan Amerika.

Para ahli menekankan pentingnya inovasi dalam teknologi pertanian, pemberian insentif kepada petani, serta upaya mitigasi perubahan iklim untuk menyelamatkan sektor kakao yang merupakan tulang punggung industri cokelat global. (*)