KABARBURSA.COM - PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) mengumumkan aksi korporasi strategis berupa Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu II (PMHMETD II) atau rights issue.
Dalam aksi ini, LPCK menawarkan hingga 2,97 miliar saham baru dengan nilai nominal Rp500 per saham. Harga pelaksanaan juga ditetapkan sebesar Rp500 per saham, menjadikan potensi total dana yang dihimpun mencapai Rp1,49 triliun.
PMHMETD II akan meningkatkan modal ditempatkan dan disetor penuh LPCK hingga 52,61 persen. Setiap pemegang 100 saham yang tercatat pada Daftar Pemegang Saham (DPS) per 6 Februari 2025 pukul 16.15 WIB akan mendapatkan 111 Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Setiap satu HMETD memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli satu saham baru.
Saham baru ini berasal dari portepel perseroan dan akan dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). HMETD dapat diperdagangkan di BEI maupun di luar bursa pada periode 10-14 Februari 2025. Setelah masa berlaku berakhir, HMETD yang tidak digunakan akan hangus. Saham baru yang diterbitkan akan memiliki hak yang sama dengan saham lama, termasuk hak suara, dividen, dan sisa hasil likuidasi.
Dalam aksi korporasi ini, PT Kemuning Satiatama (KMST), pemegang saham utama LPCK, menunjukkan komitmennya dengan melaksanakan seluruh HMETD yang dimilikinya. KMST memiliki 2,4 miliar HMETD senilai Rp1,2 triliun. Sebagai bagian dari komitmen ini, KMST telah melakukan penyetoran modal lebih awal sebesar Rp750 miliar pada 21 November 2024. Dana tersebut akan digunakan sebagai bagian dari pelaksanaan HMETD.
Bagi pemegang saham yang memiliki HMETD dalam bentuk pecahan, pecahan tersebut akan dibulatkan ke bawah. Pecahan HMETD wajib dijual oleh perseroan, dan hasil penjualannya akan masuk ke rekening perusahaan sesuai dengan regulasi OJK. Jika setelah pelaksanaan HMETD masih ada saham baru yang tidak terjual, maka saham tersebut tidak akan diterbitkan dari portepel.
PMHMETD II ini diharapkan dapat memperkuat struktur permodalan LPCK untuk mendukung ekspansi usaha. Dengan partisipasi penuh dari KMST, LPCK memastikan kelancaran aksi ini tanpa melibatkan pembeli siaga.
Langkah strategis ini menunjukkan optimisme LPCK dalam mengembangkan bisnisnya di tengah tantangan ekonomi. Dengan pelaksanaan yang terencana dan dukungan kuat dari pemegang saham utama, PMHMETD II diharapkan menjadi motor penggerak pertumbuhan perseroan di masa depan.
Dengan potensi dana hingga Rp1,49 triliun, LPCK memperlihatkan komitmen untuk terus menciptakan nilai bagi para pemegang saham dan memperkuat daya saing di industri properti nasional.
Sebelumnya diberitakan, LPCK mencatatkan kerugian yang cukup besar. Sementara, penjualan tercatat mengalami kenaikan tinggi.
Perusahaan properti yang merupakan bagian dari grup Lippo ini sedang menghadapi tantangan besar dalam kinerja keuangannya sepanjang sembilan bulan pertama 2024. Hingga kuartal III-2024, LPCK melaporkan rugi bersih senilai Rp1,60 triliun, yang berbanding terbalik dengan laba Rp106,3 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Kondisi ini juga tercermin pada rugi per saham sebesar Rp601, dibandingkan laba Rp40 per saham pada triwulan ketiga 2023.
Pendapatan usaha LPCK sebenarnya menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, naik 22,52 persen year-on-year (yoy) menjadi Rp980,84 miliar dari Rp800,62 miliar pada tahun lalu.
Segmen-segmen utama seperti pengelolaan kota, penjualan rumah hunian, dan apartemen mencatatkan kenaikan pendapatan menjadi Rp299 miliar. Selain itu, kontribusi positif juga datang dari penjualan tanah industri, lahan komersial, dan rumah toko yang menghasilkan masing-masing Rp210,4 miliar dan Rp112,2 miliar.
Namun, peningkatan pendapatan ini ternyata tidak mampu menutupi tekanan yang datang dari sisi beban perusahaan. Beban pokok penjualan meningkat 24,06 persen yoy menjadi Rp194,78 miliar, meskipun perusahaan masih mencatatkan laba kotor sebesar Rp405,73 miliar.
Sementara itu, beban usaha berhasil ditekan dan bertahan di sekitar Rp180 miliar.
Sayangnya, tantangan utama yang menggerus laba LPCK adalah kerugian besar dari penyelesaian Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA) yang mencapai Rp1,7 triliun. Kerugian ini secara langsung menghapus laba operasional dan menghasilkan rugi sebelum pajak sebesar Rp1,5 triliun.
Dari sisi neraca keuangan, total aset perusahaan hingga akhir September 2024 tumbuh 38,18 persen year-to-date (ytd) menjadi Rp13,37 triliun dari Rp9,68 triliun pada akhir 2023. Namun, lonjakan liabilitas atau utang sebesar 182,23 persen ytd menjadi Rp8,15 triliun memberikan tekanan besar pada struktur keuangan perusahaan.
Pada saat yang sama, ekuitas LPCK menyusut 23,10 persen ytd menjadi Rp5,22 triliun, menurun dari posisi akhir 2023 sebesar Rp6,79 triliun.
Kondisi likuiditas LPCK juga mencerminkan tekanan yang dihadapi perusahaan. Kas dan setara kas pada akhir September turun 29,29 persen ytd menjadi Rp145,74 miliar, dibandingkan Rp206,11 miliar pada awal tahun.
Penurunan ini menunjukkan tantangan perusahaan dalam mempertahankan likuiditas di tengah tekanan beban finansial yang meningkat.
Secara keseluruhan, meskipun LPCK mampu mencatatkan peningkatan pendapatan di beberapa segmen utama, tekanan dari kerugian non-operasional dan lonjakan liabilitas menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi.
Strategi restrukturisasi dan pengelolaan keuangan yang lebih efektif menjadi krusial untuk memulihkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. (*)