KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia sedikit menguat pada awal pekan ini setelah mengalami penurunan dalam tiga hari perdagangan berturut-turut.
Pada Senin, 9 Desember 2024, pukul 07.30 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tercatat sebesar USD67,27 per barel, naik 0,10 persen dibandingkan dengan posisi akhir pekan lalu yang berada di USD67,20 per barel.
Sementara itu, harga minyak Brent kontrak Februari 2025 di ICE Futures tercatat naik tipis menjadi USD71,19 per barel, dibandingkan dengan USD71,12 per barel pada akhir pekan lalu.
Kenaikan ini terjadi setelah harga minyak acuan internasional tersebut melemah selama tiga hari berturut-turut.
Pekan lalu, Saudi Aramco memangkas harga minyak setelah OPEC+ memutuskan untuk menunda kembali dimulainya produksi yang sempat terhenti. Penurunan harga ini mencerminkan prospek pasar yang masih lemah.
Sementara itu, situasi politik di Suriah memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan Timur Tengah, menambah ketidakpastian pasar. Meskipun ada faktor pendukung dari ketegangan di Timur Tengah dan Ukraina, kenaikan harga minyak terbatas oleh potensi pelemahan permintaan di China.
Pasar minyak diperkirakan akan menghadapi kelebihan pasokan pada tahun depan, yang mengurangi ruang untuk peningkatan produksi yang signifikan dari OPEC+.
Sebelumnya diberitakan, harga minyak mentah global mengalami penurunan signifikan lebih dari 1 persen pada hari Jumat, 6 Desember 2024, waktu setempat. Kenaikan harga minyak mentah global kali ini sekaligus mencatatkan kerugian mingguan akibat proyeksi surplus pasokan tahun depan yang disebabkan oleh lemahnya permintaan.
Situasi ini terjadi di luar dugaaan. Padahal, OPEC+ memutuskan untuk menunda peningkatan produksi dan memperpanjang pemotongan produksi hingga akhir 2026.
Brent crude ditutup pada level USD71,12 per barel, turun 97 sen atau 1,4 persen. Sementara, West Texas Intermediate (WTI) berada pada USD67,20 per barel, merosot USD1,10 atau 1,6 persen. Secara mingguan, Brent mencatatkan penurunan lebih dari 2,5 persen, sedangkan WTI turun 1,2 persen.
Tekanan terhadap harga minyak juga dipicu oleh peningkatan jumlah rig minyak dan gas yang beroperasi di Amerika Serikat minggu ini. Peningkatan jumlah rig tersebut mengindikasikan potensi peningkatan produksi dari produsen minyak terbesar di dunia.
Data dari Baker Hughes, perusahaan jasa energi, menunjukkan bahwa jumlah rig minyak di AS naik lima menjadi 482, dan merupakan level tertinggi sejak pertengahan Oktober. Selain itu, rig gas naik dua menjadi 102, tertinggi sejak awal November. Meskipun ada kenaikan mingguan, total jumlah rig masih 6 persen lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Keputusan OPEC+ untuk menunda peningkatan produksi hingga April 2024 dan memperpanjang pemotongan hingga akhir 2026 dilakukan sebagai respons terhadap melemahnya permintaan global, terutama dari China, yang merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Sebelumnya, OPEC+ yang menyumbang hampir setengah dari produksi minyak global, berencana mulai meningkatkan produksi pada Oktober 2024. Namun, proyeksi permintaan yang lemah dan peningkatan pasokan dari wilayah lain memaksa rencana tersebut ditunda beberapa kali.
Meski demikian, HSBC dalam catatannya memperkirakan surplus pasar minyak akan terjadi lebih kecil, yakni 0,2 juta barel per hari (bpd). Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 0,5 juta bpd.
Harga Brent juga cenderung bertahan dalam kisaran sempit, yaitu di rentang USD70 hingga USD75 per barel selama sebulan terakhir. Hal ini didukung adanya kekhawatiran lemahnya permintaan dari China dan risiko geopolitik di Timur Tengah yang meningkat.
Analis energi Tamas Varga dari PVM, menilai pasar minyak saat ini terjebak dalam kisaran harga yang sempit, dengan narasi pesimistis untuk prospek jangka menengah. Ia menambahkan, meskipun ada perkembangan jangka pendek yang dapat mendorong harga naik, kekhawatiran mendasar terhadap lemahnya permintaan global tetap menjadi hambatan utama.
Selain itu, laporan ketenagakerjaan AS yang menunjukkan rebound kuat dalam perekrutan tenaga kerja, tetapi diiringi kenaikan tingkat pengangguran, juga menambah tekanan pada harga minyak. Hal ini mencerminkan campuran sentimen antara optimisme ekonomi yang dapat mendukung permintaan minyak dan kekhawatiran terhadap ketahanan pasar tenaga kerja.
Secara keseluruhan, dinamika pasar minyak menunjukkan keseimbangan yang rapuh. Di satu sisi, OPEC+ berusaha mempertahankan kestabilan harga melalui kebijakan produksi yang ketat.
Namun, di sisi lain, lemahnya permintaan global, terutama dari ekonomi besar seperti China, serta potensi peningkatan produksi di AS, terus membebani prospek jangka menengah hingga panjang.
Penurunan harga minyak mentah global yang terjadi hari ini, mengulang lemahnya harga pada penutupan perdagangan kemarin.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga minyak mentah turun pada Kamis, 5 Desember 2024, waktu setempat di tengah kekhawatiran investor terhadap potensi kelebihan pasokan minyak global pada 2025 dan keputusan OPEC+ untuk menunda peningkatan produksi hingga April 2025.
Seperti dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent turun 22 sen (0,3 persen) menjadi USD72,09 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 24 sen (0,35 persen) menjadi USD68,30 per barel.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, awalnya merencanakan untuk mulai mengurangi pemangkasan produksi pada Oktober 2024. Namun, permintaan minyak global yang melambat serta lonjakan produksi dari negara-negara di luar OPEC+ membuat rencana ini beberapa kali ditunda.
Dalam pertemuan terbaru, OPEC+ sepakat untuk memulai pengurangan bertahap dari pemangkasan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari (bpd) mulai April 2025.
Produksi akan ditingkatkan secara bertahap sebesar 138.000 bpd setiap bulan selama 18 bulan, hingga mencapai September 2026. Saat ini, OPEC+ bertanggung jawab atas sekitar setengah dari total produksi minyak dunia.
John Kilduff, mitra di Again Capital, New York, menyatakan bahwa keputusan ini menunjukkan kesatuan OPEC+ dalam menghadapi tantangan pasar.
“Ada keraguan tentang kesatuan OPEC+ sebelum pertemuan ini. Mereka menunjukkan solidaritas, tetapi ini juga mencerminkan tantangan besar yang mereka hadapi untuk menjaga kestabilan pasar,” ujarnya. (*)